Pagi hari Harsa yang baru selesai berkemas itu kembali uring-uringan sendiri.
"Memang lagi apes banget gue sekalinya ketemu istri malah nggak bisa buka puasa," gerutu Harsa. Ia kesal karena semalam saat sedang ingin mengambil haknya, sang istri menyatakan tengah PMS."Semua sudah masuk tas, Mas?" tanya Latifa. Ia baru selesai mandi dan hanya menggunakan handuk sebagai penutup tubuhnya yang putih dan mulus itu.Gluk ....Harsa menelan saliva. Ia menjadi gagal fokus ditanya istrinya itu."Kamu sengaja mancing aku, ya!" tuduh Harsa pada Latifa.Tuduhan itu reflek begitu saja keluar dari mulut Harsa melihat sang istri yang hanya menggunakan handuk kala keluar dari kamar mandi."Mancing apa sih, Mas? Memang kamu ikan, dipancing? Lihat aku mau ambil baju ganti juga bukan bawa pancing." Latifa kemudian menutup almari baju kembali membawa baju seragam kerjanya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar.Harsa nampak mengipasi wajah yang memanas akibat ulah istrinya itu."Sudah tahu gue lagi mode tegangan tinggi gini, ehh malah sengaja banget gak pakai baju sekalian," ungkap Harsa melihat ulah istrinya. Harsa kesal dan berfikir Latifa istrinya itu sangatlah tidak peka.Beberapa menit kemudian Latifa terlihat sudah rapi dengan seragam kerja di tubuhnya.'Kok malah tiduran lagi sih?' gumam Latifa saat melihat Harsa terdampar di pulau kapuk kembali."Mau sarapan dulu tidak, Mas?" tanya Latifa pada Harsa. Ia berinisiatif mengajaknya sarapan untuk membangunkan kembali suaminya itu."Sarapan kamu boleh." Harsa kemudian duduk sambil menaik turunkan alisnya."Mulai dech kamu, Mas. Sudah tahu aku lagi PMS juga," keluh Latifa."Kan bisa pake cara manual, Sayang," rengek Harsa lagi. Ia seolah tidak menyerah membujuk istrinya itu supaya mau memberikan bekal terlebih dahulu sebelum dirinya kembali pergi."Mas, jangan aneh-aneh, deh. Aku sudah rapi gini tidak mungkin keburu lah kalo harus mandi lagi," ucap Latifa. Sebenarnya dirinya juga tidak tega menolak permintaan suaminya itu. Namun, ia yang sudah rapi itu juga sangat tidak mungkin jika harus mandi lagi.Mendapatkan tolakan kembali, membuat Harsa memilih lekas pergi saja dari sana. "Kita langsung berangkat saja kali, ya." Harsa mengambil tas ranselnya untuk dibawa keluar dari kamar itu. 'Lah, ngambek apa dia tidak menerima tawaran sarapan dulu,' gerutu Latifa. Ia memilih ikut keluar dari kamar.Di ruang tamu, Harsa yang akan berpamitan itu kembali mendapat pertanyaan yang sama dari ibu mertuanya."Sarapan dulu, Harsa". "Tidak usah, Mak. Harsa takut ketinggalan pesawat. Ini nanti juga harus antar Latifa dulu ke tempat kerja." Harsa mencium punggung tangan ibu mertua dengan takzim."Kemana Bapak, Mak?" tanya Harsa."Tadi Bapak nitip salam buat kamu, dia pagi sekali tadi sudah ada yang mengajaknya pergi," jawab ibu mertua.Akhirnya pagi ini Harsa berangkat diantar Galih yang merupakan adik iparnya. "Aku tidak ikut antar kamu ke bandara, beneran tidak mengapa kan, Mas?" tanya Latifa. Ia merasa tidak enak pada suaminya itu.Mendapati pertanyaan yang kembali sama dari sang istri Harsa sengaja mengatakan keinginannya kembali."Kalo mau bolos kerja aku malah seneng kamu bisa antar aku," jawab Harsa jujur."Mana bisa bolos, Mas? Memang kerja di kantor sendiri yang bebas kapan kita mau bolos kerja," jawab Latifa ketus."Kalo seperti itu, tadi kenapa pake nanya!" ucap Harsa kesal. Ia gemas pada jawaban sang istri yang memang awalnya sudah bisa ia tebak itu."Ya, masak nanya saja tidak boleh," kesal Latifa. Jika Harsa berangkat waktu dirinya tengah libur bekerja, Latifa pasti memilih ikut mengantarnya."Tidak. Kecuali kamu memang mau antar," ucap Harsa asal. Entah mengapa Harsa yang biasanya sabar itu, pagi ini cukup menyebalkan di mata Latifa.Galih yang menjadi obat nyamuk dengan duduk di balik bangku kemudi memilih menjadi pendengar setia sambil sesekali menggelengkan kepala kala melihat perdebatan kecil antara kedua kakak dan iparnya itu.Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di kantor tempat Latifa bekerja.Setelah berpamitan Latifa keluar dari mobil galih.Di waktu yang bersamaan Fadil baru datang diantar oleh supirnya dan langsung menghampiri Latifa yang terlihat baru tiba juga di sana."Pagi," sapa Fadil ramah. Pesonanya bahkan berhasil mengalihkan fokus para karyawan yang sedang berlalu lalang tiba di kantor tempat mereka bekerja.Latifa yang sedang melambaikan tangan pada mobil adiknya itu langsung berpaling fokusnya kala ada yang menyapanya.Ia seolah lupa suaminya itu sangat tidak menyukai sosok Fadil yang kini sudah ada di hadapannya."Pagi juga, Pak," ucap Latifa membalas sapaan Fadil."Kamu baru datang juga? Naik taksi?" tanya Fadil basa basi.Padahal tadi Fadil menyadari saat menghampiri Latifa, wanita itu tengah melambaikan tangan pada mobil yang baru saja mengantarkannya."Ehh, iya Pak. Bukan taksi itu tadi mobil Galih, adik saya," jawab Latifa apa adanya.Di dalam mobil tempat Harsa berada kini ia tengah kebakaran jenggot menyadari laki laki yang sama menghampiri istrinya saat baru tiba di sana tadi.'Mau meminta Galih putar balik lagi sudah kepalang tanggung. Gue juga khawatir akan terlambat sampai bandara, huffft.' Akhirnya Harsa memilih menghubungi istrinya itu.Tuttt ... nuutt ....Telepon terhubung. Namun, si empunya ponsel tidak kunjung menjawabnya."Aish, kenapa tidak diangkat, sih!" cicit Harsa kesal sendiri."Kenapa, Mas?" tanya Galih yang melihat iparnya itu gelisah sendiri sedari meninggalkan kantor tempat kakaknya bekerja."Ini lho, Mbakmu tidak bisa dihubungi," ungkap Harsa."Memang ada yang lupa? Atau ada yang urgent?" tanya Galih lagi. Ia menanyakan itu bukan bermaksud ingin ikut campur masalah kakaknya. Namun, ia siap sedia jika diminta harus putar balik kembali ke kantor tempat kakaknya bekerja."Tidak, sih," jawab Harsa singkat. Ia enggan menceritakannya pada Galih perihal yang belum pasti kebenarannya."Tinggalkan pesan saja, Mas, nanti mbak Ifa pasti baca," usul Galih.Harsa akhirnya memilih mengikuti saran adik iparnya itu setelah berulang kali melakukan panggilan pada Latifa tak mendapat jawaban.Di kantin kantor saat ini Latifa berada bersama kedua sahabatnya yang kemarin sore gagal hang out bersama.Ia memilih menyempatkan diri sarapan pagi bersama kedua sahabatnya itu sebelum mulai bergulat kembali dengan pekerjaannya.Namun, ponsel Latifa memang di mode silent, sehingga wanita yang terlalu asik bercengkrama itu tidak menyadari banyak notifikasi masuk dari sang suami.Harsa yang sudah sampai di bandara saat ini hanya bisa pasrah mendapati notifikasinya yang sama sekali tidak mendapat respon dari sang istri. Demi mengubur kegelisahan Harsa memilih mematikan ponselnya.Beberapa jam telah berlalu sampai tiba saatnya jam makan siang. Latifa baru mengambil benda pipih miliknya dari dalam tas.'Sepuluh panggilan tak terjawab dari mas Harsa?' gumam Latifa. Tanpa menghiraukan terlebih dahulu isi notifikasi pesan dari orang yang sama Latifa memilih melakukan panggilan balik terlebih dahulu. Latifa sebenarnya juga sudah penasaran suaminya itu sudah sampai di rumah atau belum mengingat jarak penyebrangan Semarang Bali dengan pesawat hanya membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam saja."Loh, nomornya kok tidak aktif?" ucap Latifa. Karena penasaran kemudian ia ingin mengecek notifikasi pesan dari suaminya terlebih dahulu sebelum pergi istirahat. Namun, baru akan melihat isi notifikasi pesan itu dalam waktu yang bersamaan Hana sahabatnya kembali menghampiri Latifa untuk mengajaknya makan siang bersama.Latifa akhirnya memilih mengikuti ajakan sahabatnya itu. Dan melupakan rasa penasarannya sejenak.Sampai pada waktu mereka tengah berada di kantin kantor. Latifa melihat berita di tv kantin yang menyiarkan berita kecelakaan pesawat yang sama dengan maskapai yang suaminya naiki.Latifa mulai cemas dan kembali teringat Harsa. Ia kembali mencoba menghubungi nomor ponsel suaminya itu. Tuttt ... nutt ...."Mas, kenapa masih tidak aktif." Latifa yang cemas itu masih terus kembali mencoba menghubungi ponsel suaminya tanpa menghiraukan panggilan Hana padanya." Fa ... Ifa ... Latifa!""Ehh, iya. Sory gue lagi nggak fokus. Lo lanjutin makan siang sendiri nggak papa kan Hana? Ada yang harus gue pastiin dulu soalnya," ucap Latifa pada Hana. Wanita itu beranjak dari duduknya mengembalikan trai makan siang. Lalu bergegas mencari tempat untuk menenangkan pikirannya. Latifa adalah tipikal orang yang cepat over thinking dan sulit melupakan setiap kejadian penting dalam hidupnya. 'Ok, Ifa. Sekarang lo nggak boleh over thinking dulu. Mas Harsa pasti segera kasih kabar baik ke lo,' cicit Latifa. Ia memilih pergi ke mushola kantor untuk sholat supaya hati dan pikirannya lebih tenang. Bali di waktu yang sama saat berita kecelakaan pesawat dengan maskapai penerbangan yang sama dengan yang Harsa naiki sedang disiarkan. Pria itu baru saja tiba di rumah orang tuanya. Adik dan papa Harsa yang menonton berita itu ikut gelisah. Mereka sempat Harsa beri kabar kala dirinya pagi tadi akan melakukan penerbangan. Mereka sangat bersyukur Harsa sampai di rumah dengan selamat. Meski kemud
"Jadi kamu menolak?" tanya Fadil pada Latifa."Bu-bukan seperti itu, Pak," jawab Latifa. Ia merasa tidak nyaman dengan permintaan Fadil yang lebih terasa seperti keharusan untuk dipenuhinya."Jika kamu tidak mau, tidak mengapa. Banyak yang mengantri posisi yang saya tawarkan ke kamu, kok. Nanti biar saya lempar ke yang lain saja." Fadil beranjak dari kursi kebesarannya menuju pintu keluar.Latifa yang mengira Fadil marah karena jawabannya itu, reflek mengiyakan permintaanya," baik, Pak saya akan coba."Fadil menghentikan langkah kaki kala mendengar jawaban Latifa yang sesuai dengan keinginannya. 'Yes,' gumam Fadil.Laki laki itu kembali menguasai diri saat memutar tubuhnya yang kini telah berhadapan langsung dengan Latifa. Wanita yang sama yang pernah mengisi sebagian hatinya kala mereka masih menjadi teman sekelas di bangku sekolah menengah atas dulu."Keputusan tepat, nanti sore tugas pertama kamu untuk belajar jadi sekretaris saya," ucap Fadil, yang kembali terdengar seperti perin
Hari ini kala jam makan siang kantor berlangsung Fadil iseng mengecek cctv kantor. Pria itu mendapati Latifa yang meninggalkan kantin tanpa menyentuh makanan di trai makan miliknya.Fadil yang khawatir Latifa akan jatuh sakit itu akhirnya memesan secara online beberapa buah roti untuk Latifa. Lalu mengantarkan langsung ke meja kerjanya.*Sore hari Fadil bersama Latifa sudah berada di resto mewah hotel bintang lima. Di tempat ini client Fadil mengatur jadual pertemuan mereka.'Ini restaurant memang sepi tidak ada pengunjung atau gimana, sih? Ehh, tapi harusnya kan jam segini ramai pengunjung.' Kaki Latifa mengekor langkah Fadil sambil pandangannya mengedar ke seluruh penjuru resto."Anda sudah tiba?" sapa wanita cantik yang ada di hadapan Fadil. Sedang Latifa fokus dengan isi pikirannya sendiri. 'Serius ini client yang akan pak Fadil temui sore ini?' gumam Latifa.Latifa mengernyit lalu memindai penampilan wanita cantik nan sexi yang hendak menyosor pipi Fadil namun, Fadil langsung m
_"Gimana, Fa?"_ tanya Hana._"Gue terlalu lama deh kayaknya ini ngerem di toilet bareng kalian. Gue duluan, ya. Pak Fadil minta gue menghadap soalnya."_Kembali tanpa menunggu persetujuan kedua sahabatnya itu. Latifa menekan tombol mengakhiri panggilan vidio call mereka bertiga._"Kayaknya jabatan mbak Ifa bakalan bikin doi sibuk banget itu, ya BaHan? Eh, maksudnya mbak Han, mbak Hana, hehehe,"_ ucap Neta pada Hana.Neta yang baru mendapatkan pengalaman pertama kali bekerja itu berfikir bagian pekerjaan baru Latifa cukup menguras waktu pribadinya. Bahkan saat ini sudah masuk waktu Isyak namun, wanita itu belum juga pulang ke rumah untuk istirahat sedang besok pagi sudah harus kembali lagi ke kantor untuk bekerja._"Sepertinya tetep dihitung lembur, deh,"_ ungkap Hana. Ia sama-samq tidak tahu.*Di waktu yang hampir sama dengan tempat Latifa berada. Harsa sedang berbicara serius dengan adik kandungnya."Mas kenapa mbak Latifa kemarin tidak ikut pulang bersama, Mas Harsa?" tanya Dewi p
Harsa yang kebetulan sedang online itu memilih melakukan panggilan vidio namun, Latifa langsung menekan tombol merah kala mendapati panggilan itu.Latifa yang tidak ingin Harsa salah paham illekas mengirim notifikasi pesan kembali yang ternyata bersamaan dengan Harsa yang juga langsung mengirimkan notifikasi pesan untuk Latifa kala panggilan vidio darinya di tolak._"Kamu sudah mau tidur, Sayang?"_ Harsa mengira Latifa menolak panggilan vidio call darinya karena sudah akan pergi tidur._"Maaf, Mas. Anak-anak sudah tidur semua, kita berbalas pesan saja, ya."_ Latifa beralibi. Ia memang sedang tidak ingin mengobrol secara langsung dengan siapapun. Pengalaman pertama menjadi seorang sekretaris bos nyatanya cukup membuatnya kelelahan. Terlebih saat ini waktu juga sudah cukup larut Latifa tidak ingin mengganggu penghuni rumah lainya yang pasti akan terganggu nantinya karena kebetulan kamarnya memang tidak kedap suara._"Iya, Sayang. Kamu kalo capek lekas ikut tidur juga, ya. Mas bisa tele
Tok ... tokk ... took ...."Mas Harsa! Nanang mas, tolong!"Dewi terus menggedor pintu kamar kakaknya khawatir sang kakak sudah tidur karena tidak kunjung membukakan pintu untuknya.Ceklek ...."Kenapa kamu mengetuk pintu kamar mas seperti orang di kejar setan, Dewi?" tanya Harsa pada Dewi. Napas adiknya itu nampak kembang kempis kala akan menjelaskan sesuatu padanya."Nanang, Mas. Nanang!" ucap Dewi. Wanita itu terus menyebut nanangnya sambil menunjuk ke bawah dimana kamar nanangnya berada.Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari adiknya itu Harsa lekas berlari menuruni anak tangga. Pikiran pria itu saat ini sedang berkelana tidak jelas," semoga tidak terjadi hal buruk pada, nanang hamba ya Rob."Sampai di kamar sang Nanang, Harsa mendapati papanya itu tengah menangis terisak dalam mata yang terpejam. Dewi yang lebih tahu kondisi awal nanangnya itu tentu langsung bercerita tanpa diminta di sela kepanikan Harsa membangu
"Ada apa, Mbak?" tanya Galih pada Latifa. "Ini nanang mbak, masuk rumah sakit lagi. Padahal kemarin kata mas Harsa sudah habis kontrol dan sua kondisinya baik."Perempuan itu memang kadang memanggil papa mertuanya nanang kadang papa."Apa sebenarnya sakitnya, mbak?" tanya Galih.Emak Rodiah yang melihat kedua anaknya belum juga memulai sarapan mereka itu langsung menegurnya."Sudah ... sudah. Lebih baik kita doakan saja semoga, pak Yusuf lekas sehat seperti sedia kala.""Aamiinn," ucap Adam, Latifa dan Galih kompak"Sekarang lebih baik kalian sarapan dan lekas berangkat supaya tidak terlambat" saran emak Latifa.Kedua anak dan cucunya itu pun menurut untuk memulai santap pagi mereka."Bunda, besok minggu malam kata bu guru Adam mau tampil, lho," ungkap Adam. Anak sulung Harsa dan Latifa itu ternyata cukup aktif di taman kanak kanak sehingga sering terpilih mewakili sekolah mengikuti berbagai perlombaan."Oya? Memang akan lomba apa, Sayang?" tanya Latifa, menanggapi ungkapan anakny
Tidak banyak berkomentar Latifa lekas berkemas. 'Semenjak menjadi Bos dia jadi nyebelin, sih! Dulu saat di kelas perasaan dia paling damai, tidak banyak berulah.' Latifa menggerutu sambil tanganya bergerak terus mengemas barang pribadi miliknya yang memang tidak seberapa banyak.Entah apa pemicunya Latifa tiba-tiba membedakan kondisi Fadil dahulu saat masih menjadi teman sekelas dan saat ini sebagai CEO di tempatnya bekerja.Yang pasti saat ini Fadil di mata Latifa terlihat pemaksa dan tidak pernah mau dibantah keinginannya.Di ruangan Fadil saat ini tengah menerima telepon dari sang mama yang tinggal di luar negeri. Sang mama berniat ingin berkunjung ke apartemen Fadil membicarakan perjodohan dirinya yang terlampau betah menjomblo itu."Mamah kalo mau jodohkan Fadil lagi mending tidak usah datang, ya. Fadil mau pilih pasangan Fadil sendiri, Mah. Fadil sudah ada target calonya, kok. Nanti jika semua sudah siap Fadil janji secepatnya kabari mamah. Tidak-tidak Fadil akan kenalkan di
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok