Sampai hari berganti Queen belum mendapat kabar tentang Ageng. Ingin rasanya menghubungi Cyrus lagi untuk menanyakan kabar terbaru Ageng, tetapi malu. Sudah pasti sahabat Ageng itu akan menggodanya habis-habisan seperti waktu itu.Queen duduk di dekat jendela, memandang keluar. Pagi itu tenang, cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menghangatkan ruangan. Pikiran Queen melayang-layang, penuh dengan kegelisahan.“Belum ada kabar dari Ageng?” Suara Kartika berhasil membuyarkan lamunan Queen. Wanita sepuh itu menghampiri cucunya yang sedang melamun di dekat jendela.Queen menggeleng pelan, terlihat tidak bersemangat. “Belum,” jawab singkat Queen terdengar sedih.“Benar-benar sedang ngganggur kamu?”Queen menatap wajah sang nenek dengan tatap mata seolah bertanya balik ‘apa maksudnya Nenek bertanya demikian?’“Kalau ada pekerjaan, kamu tidak akan suntuk waktu menunggu kabar dari Ageng. Kamu bisa seharian di depan laptop lupa dengan semuanya. Lupa makan, lupa istirahat, lupa punya masa
Mike bergeming di posisinya, berhadapan dengan sang ayah, yang menatapnya begitu tajam hingga terasa mampu menembus dinding kebohongan. Mike merasakan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, tangannya gemetar memegang berkas yang baru saja diambilnya dari laci meja kerja Surya Wijaya.“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Mike?” tanya Surya Wijaya sekali lagi, menunjukkan jika dia menginginkan jawaban yang secepatnya dari putranya tersebut.Gugup, Mike merasa semua kosakata yang ada di otaknya raib dengan tiba-tiba. Hingga membuatnya tidak mampu untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh sang papa.Saat tatap matanya tertuju pada berkas yang berada di tangannya, Mike merasa telah menemukan alasan yang tepat.“Sa saya, sedang mencari draft kontrak terbaru, saya akan mempelajarinya,” ucap Mike dengan terpatah-patah dan tanpa berani menatap mata Surya Wijaya.Surya Wijaya bergeming, dia memandangi putranya dengan tatap mata yang sulit untu dimengerti.“Ta
Rania membimbing Queen dengan antusias memasuki rumah mewah keluarga Wijaya. Rumah besar itu penuh dengan keindahan, namun ada keheningan yang aneh menyelimuti. Rania berharap Queen bisa merasa nyaman dan tidak canggung selama berada di rumah tersebut.Queen dan Rania melewati ruang tamu yang luas, dihiasi dengan perabotan elegan dan lukisan mahal. Setiap detail dalam rumah keluarga Wijaya mencerminkan keindahan dan kemewahan gaya klasik, menciptakan suasana yang elegan dan penuh kehangatan.“Ada yang ingin bertemu denganmu.” Senyum menghiasi wajah pucat Rania yang sampai saat ini masih harus rutin melakukan pengobatan.Queen hanya mengangguk dan mengikuti langkah Rania. Dia sudah memutuskan untuk datang, jadi harus bersikap sebagai tamu yang baik, meskipun merasa ada yang masih mengganjal di benaknya. Ia mencoba mengabaikan perasaan aneh itu, meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang tepat.Rania membawanya menuju ke taman, tempat yang dia anggap paling nyaman untuk berbinca
Keheningan menyelimuti gazebo. Victoria memandang Rania dengan mata yang membeliak lebar, menunjukkan jika tidak percaya dengan apa yang baru saja didenganya. “Apa? Apa aku tidak salah dengar?” cecar Victoria dengan air mata yang mulai menetes di pipinya. “Ya, kamu tidak salah dengar. Queen adalah anak mama juga, dia saudaramu.” Rania mengulang kembali ucapannya. Kenapa Mama tidak pernah bilang sebelumnya?” Nada suara Victoria terdengar penuh kekecewaan. Rania mencoba meraih tangan Victoria, tetapi gadis itu menarik diri. “Maafkan mama! Mama ingin menunggu waktu yang tepat.” Tentu Rania tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya, jika dahulu Surya Wijaya melarangnya untuk bertemu dengan kedua anaknya yang lahir dari pernikahan dengan Eddy. Victoria berdiri, tatapannya penuh dengan kemarahan. “Dan Mama pikir sekarang adalah waktu yang tepat? Setelah bertahun-tahun? Bagaimana bisa Mama menyembunyikan ini dari aku?” Surya mencoba menenangkan situasi. “Victoria! Tolong … pahami
Setelah sempat mengalami penundaan penerbangan akhirnya, sampai juga Ageng di tanah air. Tampak Arya Suta langsung yang menjemput kedatangannya di bandara. Dengan pelukan hangat Arya Suta langsung memeluk putranya.“Pa!” Suara Ageng terdengar serak. Perjalanan panjang dari London, ditambah dengan penundaan penerbangan karena cuaca buruk, membuatnya sangat lelah.“Sudah dapat kabar dari Cyrus?” tanya Arya Suta saat mengurai pelukan.Ageng menganggukkan kepala dengan seulas senyum di bibirnya. Terlihat rona kebahagiaan di wajah lelah Ageng.“Aku ingin langsung menemui Queen, Pa.” Ageng sudah tidak sabar untuk bertemu dengan istrinya. Ada banyak hal yang ingin dia bicarakan untuk masa depan rumah tangga mereka, ada banyak hal yang ingin dia lakukan untuk melepas rindu.Arya Suta tersenyum sambil menggelengkan kepalanya saat menatap wajah putranya. Gejolak jiwa muda memang sulit untuk dilawan. Arya Suta bisa memahami jika putranya sudah sangat merindukan Queen, dan dia juga tahu apa yang
Arya Suta tidak salah duga, mungkin ini juga yang dia alami saat masih muda. Saat ini Ageng dan Queen sudah bergumul panas di ranjang mereka. Rasa lelah yang sempat mendera seakan telah menemukan obatnya. Pasangan suami istri yang baru saja melewati prahara dalam rumah tangganya kini dengan begitu rakus meraup kenikmatan.Tampaknya bagi Ageng dan Queen, aktifitas ini untuk merayakan rekonsiliasi mereka yang akhirnya memutuskan untuk tetap mempertahankan pernikahan. Tidak bisa dipungkiri jika cinta masih begitu besar di hati keduanya.Di bawah selimut tebal yang menutup tubuh polos mereka, Queen merasakan telapak tangan Ageng yang dengan lembut mengusap perutnya. Dalam ingatannya kebiasaan ini Ageng lakukan sejak dia tidak pernah lagi menggunakan pengaman saat bercinta. Queen baru menyadari jika sudah cukup lama suaminya mengharap hadirnya malaikat kecil dalam pernikahan mereka.“Terima kasih, karena mau memaafkan aku dan kembali kepadaku.” Ageng melabuhkan kecupan hangat di punggung p
Setelah melalui malam panjang penuh gairah, Queen membuka mata perlahan saat merasakan sinar matahari yang mulai memasuki apartemen. Bukan hanya merasa lelah, tetapi Queen juga merasa sulit untuk menggerakkan tubuhnya. Hingga membuatnya malas bangun dan tetap berbaring di dada bidang Ageng sambil memandangi wajah tampan suaminya.Sebenarnya bukan hanya Queen yang merasakan kelelahan akibat pergumulan panas semalam. Sama seperti Queen, Ageng pun merasakan lemas hingga akhirnya tertidur dengan pulas. Apalagi sebelumnya Ageng baru saja dari perjalanan jauh.Tubuh masih lemah, tetapi mata enggan untuk terpejam. Tidak tahu harus melakukan apa, Queen pun memainkan jemarinya di dada Ageng dengan gerakan yang random. Dan tentu saja hal itu membangunkan Ageng karena merasa geli.“Pagi!” sapa singkat Ageng dengan mata yang masih terpejam. Tangannya merengkuh tubuh Queen semakin erat dalam pelukan, seolah jika renggang sedikit saja Queen akan lepas selamanya.“Sudah pagi, kau tidak kerja?” Hanya
Meskipun Arya Suta dan Laras tampak kompak saat menyambut kedatangan anak dan menantunya, tetapi wajah masam yang mereka tunjukkan memiliki penyebab dan alasan yang berbeda. Jika Laras sudah tentu karena rasa kecewanya terhadap Queen belum bisa hilang, sedangkan Arya Suta merasa kesal terhadap Ageng yang tidak bisa menahan hasratnya bersama Queen.“Masuk!”Perintah yang keluar dari mulut Arya Suta terdengar dingin bagi Queen, hingga membuatnya hampir tampak ragu untuk melangkah lebih jauh memasuki rumah mewah tersebut. Seandainya Ageng tidak memegangi tangannya dengan erat, mungkin Queen sudah balik badan langsung pulang ke rumah Kartika.Rumah yang dahulu pernah menyambutnya dengan hangat kini berubah dan terasa sangat asing. Tak ayal hal itu membuat Queen merasa telah salah mengambil keputusan. Karena sebuah pernikahan, bukan hanya menyatukan dua hati tetapi juga dua keluarga. Queen bisa tetap menggenggam hati Ageng, tetapi sepertinya tidak dengan keluarganya.“Papa sudah menunggu k
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l