"Aku nggak papa, Ma. Aku cuma kecapean aja!" Anindya menjawab pertanyaan Kanaya tak sepenuhnya berbohong. Selain perasaannya yang mendadak buruk, dia juga merasakan tubuhnya yang lemas. Padahal sejak tadi dia juga hanya duduk saja, tapi mengingat dirinya yang baru saja mengalami keguguran dan kuretase. Anindya sering kali merasakan nyeri pada perutnya, bahkan kemarin-kemarin Anindya sering mengalami pendarahan ringan. Itu juga yang mempengaruhi kondisi tubuhnya tidak seperti biasanya. Mudah sekali lelah, dan juga sering kali merasakan lemas. "Ya, udah sayang. Mama panggilkan Ivander dulu ya, biar dia anter kamu istirahat." Kanaya bersiap untuk pergi memanggil Ivander, tapi Anindya dengan segera menahan wanita itu. "Nggak usah, Ma! Acara juga belum selesai, aku nggak mau nimbulin pertanyaan dari para tamu kalo aku pergi sebelum acara selesai." Anindya menggeleng menyuruh Kanaya untuk tetap berada di dekatnya. "Aku mau mocktails, Ma." Kanaya mengangguk dan bergerak mengamb
"Sayang, ayo kita istirahat! Kamu kecapean kenapa diem aja nggak ngomong sama aku?" Ivander menatap penuh kekhawatiran pada Anindya yang kini membalas tatapan pria itu dengan datar. Pria itu mengambil duduk di sisi istrinya, dan memeriksa dahi Anindya. Udara di sini sangat dingin, waktu terus bergerak cepat. Desiran angin laut semakin malam semakin kencang dan dingin. Ivander lupa bahwa keadaan Anindya sedang tidak baik-baik aja. Wanita itu kondisinya sedang lemah, dia takut Anindya akan sakit. Keasikan ngobrol membuat Ivander melupakan kondisi Anindnya saat ini. Beruntung Kanaya mengirim pesan singkat memberitahu keadaan Anindya yang kelelahan, sehingga Ivander segera pamit undur diri meninggalkan obrolan seputar bisnis. Anindya yang kini wajahnya memucat, karena semilir angin malam yang menerpa wajah dan kulitnya membuat dirinya sedikit mengigil. Padahal beberapa menit yang lalu dia masih baik-baik saja, sekarang kondisinya sudah semakin lemah. "Aku baik-baik aja!" Anindya beg
"Maaf, aku keasikan ngobrol sampe lupa sama kamu!" Ivander meletakan Anindya di atas ranjang king size kamar utama yang sudah dihias dengan indah untuk malam pertama kedua pengantin itu. Namun, meskipun kamar mereka telah didekor sebegini rupanya, malam pertama pernikahan mereka tidak akan terjadi. Melihat kondisi Anindya yang baru saja mengalami keguguran satu Minggu yang lalu, tidak memungkinkan untuk mereka melakukan hubungan intim di malam sakral ini. Ivander tidak mempermasalahkan itu, dia mengerti kondisi Anindya saat ini. Ivander sangat mengutamakan kondisi Anindya agar segera membaik. Anindya hanya mengangguk sebagai respon, dia bergerak ingin melepaskan high hills yang membungkus kedua kakinya."Biar aku aja!" Ivander mencegah pergerakan Anindya, dia yang kini melepaskan high hills yang melekat pada kedua kaki istrinya. Ivander terkejut saat melihat kaki Anindya yang memerah. Dia mengusap luka itu dengan lembut."Shh, perih!" Anindya meringis saat Ivander menyentuh kakin
"Nggak mungkin Anindya menikah dengan Ivander!" Kedua kaki Melani begitu lemas saat membaca berita yang tersebar di media sosial tentang pernikahan Anindya dan juga Ivander. "Seharusnya Anindya itu udah mati. Dia nggak mungkin bisa berdiri di samping Ivander untuk melangsungkan pernikahan hari ini!" Melani meremas ponsel di tangannya. Dia yang berdiri di dekat lorong club' malam itu tampak seperti orang gila. Dia baru saja melayani pelanggan Madam Angell sejak tiga jam yang lalu, rasa senang yang sempat hadir tadi kini terganti dengan perasaan marah, kecewa, dan juga panik. "Kalo Anindya selamat nggak mati. Di mana keberadaan Lingga?" Ya, itu yang membuat Melani ketakutan saat ini. Seharusnya jika Anindya baik-baik saja, tidak mati seperti apa yang dia harapkan. Berarti Lingga tidak melakukan apapun pada Anindya, suaminya itu justru melepaskan Anindya begitu saja tanpa melakukan apapun. "Lingga, kamu sekarang di mana?" Melani merosotkan tubuhnya di lantai dengan perasaan
"Aku boleh masuk?"Ivander bertanya setelah mengetuk pintu kamar utama di villa ini. Sudah lima belas menit Ivander berdiri di depan pintu kamar utama mereka, menunggu Anindya berganti pakaian. Bodohnya, sejak tadi Ivander hanya diam saja berdiri di tempat. Seharusnya pria itu bisa duduk di sofa yang berada tidak jauh dari kamar mereka. Lima detik tidak ada sahutan dari dalam kamar. Ivander ingin mengetuk kembali pintu tersebut. "Masuk! Aku udah selesai!" Tangan kekar Ivander menggantung di udara saat mendengar suara lembut Anindya di dalam kamar. Dengan segera Ivander membuka kamar itu, alangkah terkejutnya saat melihat rambut Anindya basah. "Sayang, kamu mandi?" Ivander menutup pintu kamar mereka, tidak lupa menguncinya dari dalam. Dia melangkah mendekati wanitanya yang sedang berdiri di depan meja rias sambil mengeringkan rambutnya. "Iya, tubuhku terasa sangat lengket."Anindya tidak akan bisa tidur dengan kondisi tubuhnya terasa lengket karena keringat. Sehingga dia melawan
"Jadi, alasan kamu pergi tanpa ngasih kabar itu. Karena, kamu selingkuh dibelakang aku, Lingga?" Mengingat ucapan Radja di dalam mobil dua jam yang lalu, membuat Melani uring-uringan memikirkan Lingga yang sampai hari ini tak ada kabar. Melani terpengaruh oleh ucapan Radja yang mengatakan jika alasan Lingga pergi tanpa memberi kabar itu, karena pria itu menjalin sebuah hubungan dengan wanita lain di belakang Melani. Bukan hal yang tidak mungkin Lingga bermain api di belakangnya. Pasalnya, beberapa bulan setelah pria itu resmi menikah dengan Anindya. Lingga justru melamar Melani dan mengajak dirinya untuk menikah secara agama tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya Bima selalu sahabat Lingga dan juga asisten pribadi Melani yang menjadi saksi atas pernikahan Melani dengan Lingga saat itu. Dan mungkin, Lingga melakukan hal yang sama pria itu lakukan pada Anindya. Kini Melani merasakan penderitaan Anindya yang dikhianati oleh Lingga yang menjalin hubungan dengan dirinya di belakang w
"Anindya!" Ivander meraba tempat tidur di sisinya yang kosong. Dengan suara serak Ivander terus memanggil nama Anindya, yang kini sudah menjadi istrinya. Ivander membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Dia mengerjap pelan menyesuaikan pandangannya saat cahaya matahari menyilaukan pandangannya. Ivander meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Dia bangkit dari posisinya untuk duduk. Mata tajamnya menyapu setiap sudut kamarnya di mana setiap dinding terdapat hiasan bunga mawar dan juga anggrek. Semalam dia tidak memperhatikan suasana kamarnya yang telah dihias. Dia terlalu fokus dengan Anindya, mengabaikan hal yang menurutnya tak penting. Pagi ini dia baru saja menyadari, karena semalam langsung tidur setelah Anindya terlelap. "Anindya!" Menyadari Anindya yang tidak berada di kamarnya, Ivander segera turun dari atas ranjang dan mencari Anindya ke kamar mandi dan juga balkon. Namun, nihil Anindya tidak ada di kamar mandi maupun balkon kamarnya yang tertutup gorden.
"Bima, saya sangat mengandalkan kamu dalam masalah ini! Saya mau malam ini juga, Lingga sudah berada di depan saya!" Perintah Ivander mutlak, tak ada yang berani menolak atau membantah. Apa yang pria itu mau harus segera dilaksanakan detik itu juga."Baik, Pak. Saya akan melakukan tugas ini dengan baik."Bima Abimana— sahabat terdekat Lingga Aditama, dia selalu berada di sisi Lingga. Dia selalu mendukung semua yang Lingga lakukan, dia bukan sekedar sahabat untuk Lingga. Melainkan saudara yang selalu menemani Lingga ketika pria itu susah maupun senang. Namun, itu yang dianggap oleh Lingga, kenyataannya tidak sama sekali. Jika, Lingga menganggap Bima sebagai sahabat yang sudah seperti saudara. Sedangkan Bima menganggap Lingga sebagai seorang musuh yang harus dihancurkan, di depan pria itu dia bersikap seperti malaikat. Di belakang Lingga, Bima diam-diam menjadi kaki tangan Ivander untuk menghancurkan Lingga. Yang memberitahu perselingkuhan Melani dan juga Lingga bukan Zico, melainkan
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar, me
"Dengar, ya, Lingga. Saya akan lepasin kamu malam ini juga, tapi jangan pernah katakan apa yang telah terjadi padamu selama hampir satu minggu ini." Ivander melipatkan kedua tangan di depan dada. Di samping pria itu, Bima berdiri dengan jaket kulit berwarna hitam menggunakan topi hitam, kaca mata hitam, dan juga masker berwarna hitam. Bima selalu menggunakan pakaian serba hitam selama hampir seminggu menyiksa Lingga dan juga Rizhar, dia rela menginap di gudang eksekusi milik Ivander.Saat menyiksa Lingga, Bima tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Mulutnya diam, tapi tangan dan kakinya tidak. Rasanya begitu puas setiap kali mendengar teriakan penuh kesakitan dari Lingga, tubuh kekar pria itu dipenuhi oleh luka-luka dan juga memar bekas pukulan besi yang dilayangkan oleh dirinya. "Nggak bisa kaya gini! Apa yang kamu dan anak buahmu lakukan itu udsh keterlaluan. Kamu nyulik dan nyiksa saya sama Rizhar, saya nggak mungkin diem aja." Lingga dengan suara lemah melayan
"Bajingan kaya kamu nggak layak untuk hidup." Ivander dengan tak berperasaan menendang Lingga yang tengah memejamkan kedua matanya di sisi Rizhar. Lingga dan juga Rizhar lagi dan lagi mendapatkan pukulan dari anak buah Ivander, serangan yang diberikan oleh anak buah Ivander membuat Lingga pingsan. Sedangkan Rizhar masih menahan kesadarannya sambil menahan sakit. Lingga yang terkejut dengan tendangan keras Ivander, reflek membuka matanya. Dinding yang catnya sudah pudar dilapisi oleh jamur menjadi hal pertama kali yang Lingga lihat selama beberapa hari terakhir berada di tempat ini. Ivander mendorong dada bidang Ivander, kaki Ivander yang terbalut sneakers itu menekan dada Lingga sampai pria itu terdorong ke belakang. Punggungnya menempel pada tiang besi yang terpasang rantai yang melingkar di kedua tangan Lingga. Napas Lingga terasa sesak, dia mencoba meraup udara segar untuk mengurangi rasa sesak pada rongga dadanya yang penuh. Tangan Lingga mencengkeram kaki Ivander yang
"Pak Ivander, gawat. Marisa mau lapor ke polisi atas kehilangan Lingga!" Suara Bima terdengar panik di sebrang sana. Membuat pergerakan Ivander yang tengah mengeringkan rambut menggunakan handuk. Ponselnya dia letakan di atas nakas dengan mengeraskan suaranya. Ivander meletakan handuknya di atas kasur, lalu dia mengambil ponselnya mendekatkan pada telinganya. "Bagaimana ini, Pak?" Suara Bima kembali terdengar panik. "Tunggu dua puluh menit, saya ke sana sekarang." Tanpa menunggu respon dari Bima di sebrang sana. Ivander segera memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Dia melempar asal ponselnya di atas kasur, Ivander segera mengenakan kaos polo untuk menutupi tubuh atletisnya. Ivander terpaksa harus pergi meninggalkan Anindya di villa seorang diri. Padahal ini hari pernikahan dirinya dengan Anindya, Ivander sangat ingin makan malam bersama Anindya dengan status mereka yang sudah menjadi sepasang suami istri. Ivander menyambar ponselnya kembali dan memasukkannya k
"Aku nggak tau harus bersikap kaya gimana di depan Ivander!" Anindya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan gusar. Dia termakan omongan wanita semalam yang mengatakan Ivander hanya ingin membalas dendam padanya saja. Itu yang membuat Anindya terus meragukan perasaan Ivander, di sisi lain dia dapat melihat ketulusan hati dan sikap Ivander padanya. Namun, bisa saja apa yang dilakukan Ivander padanya hanyalah akting. Namun, jika benar itu akting kenapa terlihat sangat natural? Ah, sial rasanya Anindya ingin berteriak untuk melampiaskan rasa stressnya. Kepalanya terasa penuh, dia tidak pernah bisa merasakan tenang sedikitpun. Ada saja hal yang harus dia pikirkan. "Sebenarnya motif kamu buat nikahin aku itu apa?" Anindya menatap penuh keseriusan pada cermin di depannya. Seolah sosok Ivander berada tepat di depannya. "Bukannya niat kamu cuma tanggung jawab aja, kan?" Anindya menggeleng miris dengan tatapan sendu. "Seminggu yang lalu aku baru aja keguguran, bayi dalam kandung
"Yang kamu maksud sampah itu Melani?" Anindya menutup mulutnya menahan tawa. Ternyata suaminya yang kaku ini bisa membuat dirinya tertawa juga, karena merasa lucu dengan ucapannya. Sekedar menyebut Melani dengan sebutan sampah, Anindya ingin tertawa detik ini juga. Ivander mengangguk membenarkan tebakan Anindya. "Ketawa aja, Sayang. Nggak usah ditahan!" Akhirnya Anindya melepaskan tawanya dengan tangan yang menutupi mulutnya dengan anggun. Membuat Ivander ikut terkekeh pelan melihat Anindya yang sempat murung kembali ceria lagi. Mudah sekali Anindya merubah ekspresinya. "Ivan, maaf ya aku mau ngomong sesuatu. Kamu jangan marah sama aku, ya?" Anindya menghentikan tawanya. Kini tatapannya terlihat begitu serius berhasil mengundang kerutan pada dahi Ivander yang kini merasa bingung. "Mau ngomong apa? Aku janji nggak bakal marah!" Ivander tidak bisa marah pada Anindya, bahkan saat Anindya menolak dirinya tiga tahun yang lalu dan lebih memilih menikah dengan Lingga. Dia hanya b
"Pemandangannya sangat indah. Aku jadi terinspirasi buat bikin novel baru dengan latar tempat di dekat pantai. Mungkin, kedua pemeran utama nanti selalu menikmati keindahan senja di sore hari dengan nuansa romantis." Binar penuh kekaguman terlihat jelas pada tatapan Anindya saat menatap langit sore. Langit yang semula biru tenang kini berubah warna menjadi perpaduan antara warna merah, oranye dan juga ungu yang mulai menyatu dalam sebuah keindahan yang tak bisa diabaikan. Mentari yang perlahan tenggelam di ufuk barat, setelah menyelesaikan tugasnya hari ini. Seolah memberi salam perpisahan yang menyinari laut dengan cahaya keemasan yang berkilau. "Setelah project film Dalam Jejak Cinta selesai. Apa rencana kamu nantinya, Anindya?" Ivander sejak tadi tak melepaskan pandang sedetikpun dari wajah cantik Anindya. Melihat senyum indah pada wajah Anindya, tanpa sadar menular pada Ivander yang kini ikut mengukir sebuah senyuman tipis. Kebahagiaan Anindya sangat sederhana, hanya meli