"Berikan aku waktu untuk berpikir, Mas. Aku nggak bisa langsung tanda tangan begitu aja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan," lirih Karin yang hampir meneteskan air mata. Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Mempermainkan pernikahan? Tentu ia tahu itu tidak benar.
"Adakah yang lebih penting dari nyawa aku, Rin?""Tapi, Mas. Kita juga punya orang tua, bagaimana dengan orang tua kita?"Sebelum menjawab pertanyaan sang istri, Dani bicara kepada Frans untuk meminta waktunya sebentar. "Pak, boleh saya bicara berdua dulu sama istri saya?""Silakan." Frans keluar dari ruangan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua, walaupun sebetulnya dia tahu apa yang akan mereka bicarakan.Setelah Frans pergi, Dani kembali bicara kepada Karin. "Masalah keluarga, kamu nggak usah takut, Rin. Kita rahasiakan kejadian ini dari mereka, toh mereka juga tinggal jauh dari kita."Karin diam, menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata."Dengarkan aku sayang, ini cuma sementara. Kalau aku udah sembuh dan kita banyak uang, buat pak Frans menceraikan kamu dengan cara apa pun. Setelah itu kita kembali bersama. Mudah, kan?""Aku yang menjalaninya, Mas. Bagaimana kamu bisa bilang itu mudah?" Jarinya sibuk mengusap air mata yang jatuh."Lalu bagaimana dengan aku, Rin? Apakah kamu lebih rela aku mati?""Mas," lirih Karin masih menangis."Tolong lakukan demi nyawa aku, Rin. Demi anak kita di kampung, demi orang tua kita. Aku janji akan setia sama kamu, aku nggak akan main perempuan."Terus Dani merayu Karin dengan berbagai macam cara, berbagai macam alasan, berbagai macam kalimat dusta yang diutarakan. Sehingga akhirnya Karin pun menandatangani surat perceraian."Mulai sekarang, kamu bukan lagi istriku, aku bebaskan kamu dari sebuah ikatan pernikahan.""Aku mau kamu berjanji untuk setia, Mas. Aku mau kamu sembuh, kamu tetap hidup buat aku juga anak kita.""Berkat kamu juga pak Frans, aku akan subuh, Rin. Sampai berjumpa lagi nanti."Setelah Karin menandatangani surat pernyataan bercerai di atas materai, kini Karin resmi menjadi seorang janda. Tak kuasa menahan tangis, Karin pun keluar dari ruangan sambil membawa selembar kertas. Saat berlari melewati kursi tunggu, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Frans.Frans bangkit dari duduknya, lalu bertanya, "Bagaimana? Kamu sudah mengambil keputusan?""Lepaskan tangan saya!" Secara kasar Karin mengibaskan tangan Frans.Frans tidak perduli, dia merebut kertas tersebut dari tangan Karin, lalu mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Frans menyunggingkan senyum penuh kemenangan dari sudut bibirnya."Bagus, saya harap kamu bisa kooperatif.""Kenapa Anda menginginkan saya?" Terdapat penekanan dari kalimat yang Karin ucapkan."Karna saya ingin menyelamatkan kamu.""Anda ingin menyelamatkan saya, atau menginginkan tubuh saya?"Tanpa ragu Frans menjawab, "Keduanya.""Kenapa Anda menjadi tidak tahu malu seperti ini? Anda punya tunangan, Pak. Kenapa harus saya?""Bella adalah wanita yang dijodohkan oleh orang tua saya, sedangkan kamu adalah wanita pilihan saya.""Saya tidak mencintai Anda, Pak.""Saya akan buat kamu mencintai saya.""Yang Anda inginkan hanya tubuh saya, kan? Saya akan berikan tapi tidak dengan hati saya.""Bukan hanya tubuh, saya akan membuat kamu menyerahkan jiwa dan raga kamu untuk saya setelah kamu mengetahui semuanya.""Anda benar-benar tidak tahu malu.""Terserah kamu mau menilai saya apa, yang pasti kamu sekarang milik saya.""Saya baru menyandang status janda, Anda tidak bisa langsung menikahi saya.""Saya tau, tapi sejak kamu menandatangani surat perceraian, tidak ada lagi batas di antara kita. Saya bebas melakukan apa pun terhadap kamu dan ...."Secepat kilat Karin memangkas kalimat yang belum sepenuhnya Frans ucapkan. "Kecuali berhubungan suami istri.""Saya tau batasnya."Karin diam, Frans meraih tangan Karin, lalu mengecup punggung tangannya seraya berkata, "Kamu milik saya sekarang. Ayo kita pulang!""Bagaimana sama mas Dani?""Anak buah saya yang akan mengurus semuanya."Frans berjalan sambil menggandeng tangan Karin, mau tidak mau Karin pun mengikuti langkah kaki Frans dari belakang. Saat keluar dari pintu utama ruang UGD, Karin sempat menoleh ke belakang, diam-diam air matanya kembali menetes."Lekas sembuh, Mas. Yang aku inginkan cuma kamu. Seburuk apa pun kamu, aku cuma mau kamu," batin Karin bergumam tanpa menghentikan langkah kakinya menuju area parkir mobil.Saat ini mereka berdiri di samping mobil mewah milik Frans dan Frans membuka pintu sisi kiri samping kemudi, mempersilakan Karin untuk masuk.Setelah Karin masuk, Frans menutup kembali pintu mobilnya. Dengan perasaan gembira dia berjalan ke sisi kanan mobil, lalu masuk ke dalamnya."Kita mau ke mana?" tanya Karin sambil melihat ke arah Frans yang saat ini sedang memasang sabuk pengaman."Ke rumah yang sudah saya sediakan untuk kamu.""Anda sudah menyiapkan rumah untuk saya?" Dahi Karin mengerut."Sudah sejak dua minggu yang lalu."Karin menatap tidak percaya atas jawaban Frans. "Anda benar-benar sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari.""Dan, saya tidak akan mempersiapkan itu semua tanpa persetujuan dari suami kamu, Rin.""Maksud Anda?" Karin semakin bingung."Nanti, suatu saat kamu akan mengerti kenapa saya melakukan ini ke kamu.""Kenapa harus nanti? Kenapa nggak sekarang?""Kamu nggak akan percaya kalau hanya dari ucapan, kamu harus mengetahui semuanya bersama dengan bukti-bukti."Entah apa yang belum terungkap, meminta jawaban darinya pun percuma, Frans tidak akan menjawab. Sehingga Karin pun memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, setelah beberapa saat mobil yang ia tumpangi tidak kunjung melaju, Karin melihat ke arah Frans dan kembali bertanya, "Kenapa masih diam?""Kamu belum pasang sabuk pengaman. Bagaimana saya bisa melajukan mobilnya?" Frans bicara sambil menatap lekat-lekat wajah Karin.Tanpa basa-basi lagi Karin langsung memasang sabuk pengamannya. "Jalan sekarang!""Oke." Frans mulai menghidupkan mesin mobil, lalu meninggalkan rumah sakit dengan kecepatan lambat, bukan karena macet, tetapi karena dia ingin memiliki banyak waktu berdua bersama Karin.Hal itu membuat Karin kesal, bagaimana tidak. Jalan raya dalam keadaan sepi, tetapi kecepatan mobil hanya tiga puluh kilometer per jam. Karin memperhatikan itu, lalu ia pun mengajukan protes."Bisa lebih kenceng lagi nggak sih, Pak? Kalau begini caranya, lebih baik kita naik taksi aja.""Utamakan keselamatan, Rin," ucap Frans dengan lembut."Kalau Bapak males, mendingan saya aja deh yang bawa, Pak.""Jangan, Sayang. Nanti kamu kelelahan.""Apa? Sayang? Pak Anda ...." Karin tidak meneruskan kalimatnya, menghembuskan napasnya dengan kasar."Menyebalkan," batin Karin."Kamu sangat menggemaskan," ucap Frans sambil tersenyum meledek.Tidak lama setelah itu, terdengar bunyi beep pada ponsel milik Frans. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jas, membuka pesan masuk, lalu pesan tersebut dia tunjukkan kepada Karin."Lihat ini."Karin menoleh, mengerutkan keningnya ketika melihat foto baju tidur kekurangan bahan pada layar ponsel milik Frans. "Apa ini?""Pakai itu setiap malam."Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!""Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Mak
"Bukan saya loh yang bilang," ujar Frans seraya mengangkat kedua tangannya."Ah, sudahlah. Anda bisa tinggalkan saya sekarang? Saya mau istirahat." Karin berjalan ke arah pintu, membuka pintu setinggi dua meter itu lebar-lebar."Kenapa saya harus keluar dari sini? Ini kan apartemen saya." Bukannya keluar, Frans malah duduk di ujung ranjang dengan santainya."Karna saya ada di sini, kita nggak mungkin tinggal satu unit.""Kata siapa? Justru kita akan sering tinggal satu unit, walau tidak satu ranjang. Kalau di antara kita ada batasan, buat apa saya bawa kamu ke sini? Sia-sia dong uang saya?"Karin memutar kedua bola matanya dengan malas."Saya nggak suka saat kamu memutar kedua bola matamu. Sekali lagi kamu lakukan itu di depan saya, saya tidak akan segan-segan melakukan hal gila yang nggak pernah kamu duga.""Kalau saya melakukannya lagi?" ucapan Karin menantang."Coba saja kalau kamu berani."Kali ini
"Jangan buka kunci dan tetap di dalam kamar." Perintah Frans dengan tegas."Baik, Pak."Setelah bicara dengan Frans, Karin mengakhiri panggilan, lalu mendekap handphonenya di dada, kembali mengintip keluar dan dia melihat Bella saat ini sedang berusaha menghubungi Frans dalam sambungan telepon."Kamu di mana?" tanya Bella, samar-samar Karin mendengar suaranya dari dalam.Entah apa yang Frans jawab, Bella langsung bertanya perihal kunci password. "Kenapa kamu ganti password-nya?"Setelah itu, Bella meminta password yang baru. "Ya udah kasih tau aku."Tidak lama Bella pun mengiyakan ucapan Frans yang entah apa, Karin hanya mendengar Bella berkata, "Janji, ya. Aku pulang sekarang." Setelah itu sambungan telepon pun berakhir, lalu Bella pun pergi meninggalkan apartemen."Ah, akhirnya." Karin mengusap dadanya lega.Setelah Bella pergi, Karin kembali ke kamar untuk beristirahat. Handphone yang katanya seharga motor it
Frans berjalan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan."Ini bukan lagi pagi, Karin. Ini pagi menjelang siang dan mustahil kalau kamu masih tidur, gerutu Frans tanpa menghentikan langkah kakinya menuju lantai bawah.Saat melewati ruang keluarga, sang ibu, Winda memanggilnya. "Frans!"Frans berhenti sebentar demi menyahuti panggilan sang ibu. "Ada apa?""Kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Winda seraya menggeser cursor maju pada pegangan kursi rodanya.Iya, Winda mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, mengakibatkan kakinya mengalami cacat dan tidak bisa disembuhkan lagi walau sudah mendatangkan dokter ahli dari luar negeri."Ini udah siang, Bu. Jam sembilan," ujar Frans sudah tidak sabaran."Biasa juga kamu ke kantor jam sebelas.""Ada meeting penting, aku harus segera sampai di kantor, Bu.""I
Sesuai dengan permintaan Frans, dengan berat hati Karin pun berhenti bekerja. Dia meninggalkan tempat kerjanya setelah semua tugas selesai, lalu duduk di halte bis menunggu angkutan umum melintas. Baru saja duduk, ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih itu dari dalam tas kecil, tertera jelas nama suamiku pada layar ponselnya."Menyebalkan," gerutu Karin sambil menatap sebal."Mbak, bisa nggak teleponnya diangkat aja. Berisik," keluh seorang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya, yang merasa terganggu oleh dering ponsel yang tidak mau berhenti."Tau, baru punya handphone kayak gitu aja sombong," seru teman lainnya tatkala melihat merek handphone milik Karin yang disinyalir harganya tembus angka dua puluh jutaan.Tidak ingin mencari masalah dengan dua wanita itu, akhinya ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan.Karin: Apa?Frans: Bisa nggak ngomong yang lembut?Karin: Nggak bisa!Frans: Sekali lagi b
Waktu terus berjalan, hari telah berganti hari, bulan pun telah berganti bulan, hingga tidak terasa hari yang dinanti pun tiba. Hari di mana Karin bisa menikah lagi setelah menjada selama beberapa bulan, hari di mana Fans bisa mempersunting Karin dan menjadikan dia miliknya untuk selamanya."Kita akan menemui om kamu pagi ini. Kamu udah bilang sama om kamu, kan?" tanya Frans di sela-sela kegiatannya yang saat ini tengah sarapan bersama."Iya, Pak." Karin menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan yang sedang diaduk-aduk."Berapa kali sih aku bilang sama kamu, Rin. Jangan panggil aku Pak. Panggil aku mas, karna aku akan segera menjadi suami kamu."Dan, Karin selalu lupa akan perintah itu. Sampai sekarang dia merasa seperti pembantu yang diperlakukan semaunya. kadang-kadang spesial, kadang-kadang semena-mena.Sedang tidak ingin berdebat, ia pun memilih patuh atas perintah Frans. "Iya, Mas.""Nah, gitu dong. Itu ja
Sikap Frans membuat Karin takut. Dia pikir Frans akan memaksa dirinya untuk melakukan apa yang dia inginkan, tetapi ternyata tidak. Setelah membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kasar, Frans justru hanya diam berdiri di ujung ranjang, menatapnya seperti singa sedang kelaparan."Maafkan aku, Mas," lirih Karin seraya beringsut merubah posisinya menjadi duduk, lalu Frans menghampirinya, duduk di tepian ranjang."Aku memang menginginkan kamu, Rin. Tapi tidak dengan cara seperti ini, Aku mau kamu sama-sama menikmatinya, menyerahkan jiwa dan raga kamu karena memang kamu mencintai aku, bukan karena terpaksa.""Terima kasih, kamu begitu menghargai aku," ungkap Karin seraya menundukkan wajahnya."Aku selalu menghargai kamu, hati kamu yang sulit tersentuh oleh kebaikan aku.""Aku sedang berusaha, Mas.""Akan aku tunggu." Frans mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Karin, lalu bertanya, "Kamu mau menemui mantan suamimu?"
Tiba hari berbahagia itu. Saat ini Karin tengah duduk di single sofa, begitupun dengan Frans yang duduk di singel sofa lain di sebelahnya. Di sana ada penghulu, disaksikan oleh wali, juga beberapa saksi dari orang-orang tertentu. Kini Frans dengan Karin resmi menjadi pasangan suami istri.Menangis. Tentulah Karin menangis, ini bukan pernikahan yang diinginkan. Dia rela melakukannya demi menyelamatkan nyawa suaminya yang sebenarnya tidak sedang sakit.Guntur bangkit dari duduknya, menghampiri sang keponakan, lalu memeluknya seraya menenangkan. "Sabar ya, Rin. Om yakin kamu akan bahagia bersama Frans. Cuma dari luar terlihat buruk, tapi percayalah dia orang yang baik.""Baik? Merebut seorang istri dari suaminya Om bilang baik? Kenapa Om mudah sekali bilang kalau pak Frans adalah pria baik? Ketemu aja baru satu kali," batin Karin bergumam.Setelah itu ia melepaskan pelukannya. "Doakan aja, Om. Semoga aku bisa bahagia menikah sama pak Frans."
Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan
Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa
Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan
Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap