Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!"
"Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Maksud Anda?" Karin menghentikan langkah kakinya, begitu pun dengan Frans. "Saya peringatkan ya, Pak. Tidak ada hubungan suami istri, kita belum menikah!""Karin, saya rasa suara kamu kurang kencang. Kamu bisa pakai toa biar semua orang bisa mendengar suara kamu."Karin langsung menutup mulut dengan tangannya, lalu celingukan ke kanan, kek kiri, depan, belakang, memperhatikan sekitar khawatir ada orang lain yang mendengar ucapannya barusan dan beruntunglah di sana hanya ada mereka berdua."Belajar pelankan suaramu, ini bukan di kampung. Kenyamanan penghuni di sini sangat diutamakan.""Bapak yang mancing saya untuk berteriak.""Lagi pula, saya nggak bilang kalau saya akan menyetubuhi kamu, kan? Saya cuma mau kebebasan. Kapan pun saya mau bertemu kamu, tidak ada yang melarang, tidak ada yang bergunjing, tidak ada yang mengawasi. Cuma itu.""Awas saja kalau sampai Anda melanggar peraturan saya.""Memangnya apa yang akan kamu lakukan kalau saya melanggar aturan kamu?""Anda akan kehilangan saya untuk selama-lamanya.""Apa? Kabur? Saya akan menemukan kamu sekalipun kamu bersembunyi di lubang semut. Paham!"Karin diam, Frans kembali berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Sekitar lima meter dari lokasi mereka berdebat barusan, Frans berhenti di depan pintu unitnya. Dengan menekan pin, terbukalah kunci."Ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka pintu, lalu mempersilahkan Karin masuk duluan.Dengan perasaan ragu Karin pun melangkah masuk, dan lampu otomatis menyala. Hal itu membuat Karin terkejut sampai terperanjat ke dalam pelukan Frans. Sadar diri saat ini dia berada di tempat yang salah, Karin langsung menjauh dari Frans."Jangan pegang-pegang saya!" pekik Karin."Apa saya nggak salah dengar? Kamu yang loncat ke dalam pelukan saya, Karin.""Itu karna saya terkejut.""Berarti siapa yang salah?" Frans melingkarkan kedua tangannya di dada."Lampu. Yang salah lampu, kenapa dia nyala sendiri?""Ini apartemen bukan kontrakan, Karin."Lagi-lagi Karin diam, lalu Frans menyuruhnya untuk masuk. "Kenapa masih di sini? Ayo masuk!""Nggak, Bapak aja masuk duluan. Saya kan nggak tau di depan ada bahaya apa yang mengancam keselamatan saya."Frans menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu ia masuk lebih dulu menuju ruang utama keluarga dan pria itu menghidupkan semua lampu.Ingat apa yang Frans katakan tadi? Ini apartemen mewah, bukan kontrakan kumuh di pinggir jalan. Tentu isinya pun semua barang-barang mewah, bukan KW yang ada di pasar atau toko bangunan. Televisinya saja memiliki ukuran kisaran delapan puluh inchi. Bisa dibayangkan bagaimana luas ruang tersebut? Bisa dikatakan jika semua barang dihilangkan, ruang khusus keluarga itu berukuran seluas lapangan futsal."Di sini hanya ada satu kamar dan itu adalah kamarnya," tunjuk Frans ke arah kanannya.Karin melihat ke arah yang ditunjuk, lalu bertanya, "Kenapa apartemen seluas ini hanya ada satu kamar?""Karna saya tidak suka ada orang lain yang menginap di sini, apartemen adalah tempat privasi saya.""Lalu, kenapa Anda bawa saya ke sini?" Karin mengajukan pertanyaan sambil berjalan ke arah kamar yang tadi ditunjuk oleh Frans. Pintu kamar itu terlihat unik, membuat Karin merasa penasaran dengan isinya."Karna kamu spesial," jawab Frans tanpa ragu.Saat pintu dibuka, kamar dalam keadaan gelap. Karin masuk dan mencari stop kontak, lalu menghidupkan lampu kamar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut akan isi di dalam kamar tersebut.Ranjang dengan ukuran besar, sprei yang lembut, kasur yang empuk, dan selimut bulu halus cukup tebal."Nggak gerah apa?" celetuk Karin seraya mengusap selimut selembut sutra itu."Kamar saya ini ada pendingin ruangannya, Rin," balas Frans yang saat ini berdiri di ujung ranjang, sedangkan Karin berdiri di tepian ranjang sisi sebelah kiri."Saya tau, Pak. Saya juga nggak katro-katro amat kali, Pak.""Kalau tau, kenapa tadi tanya?""Saya nggak tanya apa-apa, tadi saya cuma ngobrol sendiri.""Iya, iya. Terserah kamu deh, Rin."Setelah puas melihat dan merasakan betapa empuknya kasur tersebut, Karin berjalan ke arah meja rias yang mana di sana sudah tersedia beberapa makeup lengkap. Ada lipstik, bedak, toner, cream malam, serum, dan masih banyak lagi. Perlengkapan itu semua membuat Karin ingin bertanya."Kenapa banyak sekali makeup di sini? Anda juga pakai lipstik?" Satu lipstik berwarna pink itu ia tunjukkan di depan Frans."Itu semua milik kamu.""Saya pikir milik tunangan Anda.""Tidak ada satu pun barang di sini yang saya khususkan untuk dia."Karin meletakkan kembali lipstik tersebut ke tempat semula. Setelah itu dia berjalan ke arah kamar mandi, melihat isinya dan lagi-lagi Karin dibuat terkejut. Bukan hanya satu ruangan yang berisi barang merah, tetapi di seluruh ruangan termasuk kamar mandi."Anda ini terlampau kaya atau gimana sih, Pak. Dari pada meminta saya cerai sama mas Dani, kenapa tidak Anda berikan saja saya bantuan secara cuma-cuma? Hitung-hitung beramal.""Enak aja cuma-cuma. Di dunia ini nggak ada yang gratis, Karin. Apa lagi saya harus mentransfer uang setiap bulan ke mantan suami kamu.""Jika Anda keberatan, kenapa Anda menginginkan saya?""Karna saya suka. Dan, apa pun yang saya mau, harus menjadi milik saya." Frans bicara sambil melangkah maju, bersamaan dengan Karin yang melangkah mundur."Jangan macam-macam ya, Pak. Saya bisa teriak sekencang mungkin.""Ada manfaatnya kamu teriak?" Kini wajah Frans dengan wajah Karin jaraknya sudah sangat dekat, Karin sampai harus membuang muka agar tidak terjadi kontak fisik."Cobalah kalau ada manfaatnya." Semakin Frans mendekatkan wajahnya, Karin langsung mendorong kuat-kuat pemilik tubuh kekar itu agar menjauh dari dirinya hingga ia terhuyun satu langkah ke belakang."Bisa nggak sih ngomongnya dari jauh aja. Saya kehabisan oksigen tau nggak."Frans tersenyum menyeringai seraya memperhatikan Karin dari ujung kaki hingga wajahnya yang semakin dilihat, menurutnya semakin memesona."Hanya pria bodoh yang mau melepaskan kamu.""Dan, menurut Anda suami saya itu adalah pria bodoh?""Bukan saya loh yang bilang," ujar Frans seraya mengangkat kedua tangannya."Ah, sudahlah. Anda bisa tinggalkan saya sekarang? Saya mau istirahat." Karin berjalan ke arah pintu, membuka pintu setinggi dua meter itu lebar-lebar."Kenapa saya harus keluar dari sini? Ini kan apartemen saya." Bukannya keluar, Frans malah duduk di ujung ranjang dengan santainya."Karna saya ada di sini, kita nggak mungkin tinggal satu unit.""Kata siapa? Justru kita akan sering tinggal satu unit, walau tidak satu ranjang. Kalau di antara kita ada batasan, buat apa saya bawa kamu ke sini? Sia-sia dong uang saya?"Karin memutar kedua bola matanya dengan malas."Saya nggak suka saat kamu memutar kedua bola matamu. Sekali lagi kamu lakukan itu di depan saya, saya tidak akan segan-segan melakukan hal gila yang nggak pernah kamu duga.""Kalau saya melakukannya lagi?" ucapan Karin menantang."Coba saja kalau kamu berani."Kali ini
"Jangan buka kunci dan tetap di dalam kamar." Perintah Frans dengan tegas."Baik, Pak."Setelah bicara dengan Frans, Karin mengakhiri panggilan, lalu mendekap handphonenya di dada, kembali mengintip keluar dan dia melihat Bella saat ini sedang berusaha menghubungi Frans dalam sambungan telepon."Kamu di mana?" tanya Bella, samar-samar Karin mendengar suaranya dari dalam.Entah apa yang Frans jawab, Bella langsung bertanya perihal kunci password. "Kenapa kamu ganti password-nya?"Setelah itu, Bella meminta password yang baru. "Ya udah kasih tau aku."Tidak lama Bella pun mengiyakan ucapan Frans yang entah apa, Karin hanya mendengar Bella berkata, "Janji, ya. Aku pulang sekarang." Setelah itu sambungan telepon pun berakhir, lalu Bella pun pergi meninggalkan apartemen."Ah, akhirnya." Karin mengusap dadanya lega.Setelah Bella pergi, Karin kembali ke kamar untuk beristirahat. Handphone yang katanya seharga motor it
Frans berjalan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan."Ini bukan lagi pagi, Karin. Ini pagi menjelang siang dan mustahil kalau kamu masih tidur, gerutu Frans tanpa menghentikan langkah kakinya menuju lantai bawah.Saat melewati ruang keluarga, sang ibu, Winda memanggilnya. "Frans!"Frans berhenti sebentar demi menyahuti panggilan sang ibu. "Ada apa?""Kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Winda seraya menggeser cursor maju pada pegangan kursi rodanya.Iya, Winda mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, mengakibatkan kakinya mengalami cacat dan tidak bisa disembuhkan lagi walau sudah mendatangkan dokter ahli dari luar negeri."Ini udah siang, Bu. Jam sembilan," ujar Frans sudah tidak sabaran."Biasa juga kamu ke kantor jam sebelas.""Ada meeting penting, aku harus segera sampai di kantor, Bu.""I
Sesuai dengan permintaan Frans, dengan berat hati Karin pun berhenti bekerja. Dia meninggalkan tempat kerjanya setelah semua tugas selesai, lalu duduk di halte bis menunggu angkutan umum melintas. Baru saja duduk, ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih itu dari dalam tas kecil, tertera jelas nama suamiku pada layar ponselnya."Menyebalkan," gerutu Karin sambil menatap sebal."Mbak, bisa nggak teleponnya diangkat aja. Berisik," keluh seorang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya, yang merasa terganggu oleh dering ponsel yang tidak mau berhenti."Tau, baru punya handphone kayak gitu aja sombong," seru teman lainnya tatkala melihat merek handphone milik Karin yang disinyalir harganya tembus angka dua puluh jutaan.Tidak ingin mencari masalah dengan dua wanita itu, akhinya ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan.Karin: Apa?Frans: Bisa nggak ngomong yang lembut?Karin: Nggak bisa!Frans: Sekali lagi b
Waktu terus berjalan, hari telah berganti hari, bulan pun telah berganti bulan, hingga tidak terasa hari yang dinanti pun tiba. Hari di mana Karin bisa menikah lagi setelah menjada selama beberapa bulan, hari di mana Fans bisa mempersunting Karin dan menjadikan dia miliknya untuk selamanya."Kita akan menemui om kamu pagi ini. Kamu udah bilang sama om kamu, kan?" tanya Frans di sela-sela kegiatannya yang saat ini tengah sarapan bersama."Iya, Pak." Karin menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan yang sedang diaduk-aduk."Berapa kali sih aku bilang sama kamu, Rin. Jangan panggil aku Pak. Panggil aku mas, karna aku akan segera menjadi suami kamu."Dan, Karin selalu lupa akan perintah itu. Sampai sekarang dia merasa seperti pembantu yang diperlakukan semaunya. kadang-kadang spesial, kadang-kadang semena-mena.Sedang tidak ingin berdebat, ia pun memilih patuh atas perintah Frans. "Iya, Mas.""Nah, gitu dong. Itu ja
Sikap Frans membuat Karin takut. Dia pikir Frans akan memaksa dirinya untuk melakukan apa yang dia inginkan, tetapi ternyata tidak. Setelah membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kasar, Frans justru hanya diam berdiri di ujung ranjang, menatapnya seperti singa sedang kelaparan."Maafkan aku, Mas," lirih Karin seraya beringsut merubah posisinya menjadi duduk, lalu Frans menghampirinya, duduk di tepian ranjang."Aku memang menginginkan kamu, Rin. Tapi tidak dengan cara seperti ini, Aku mau kamu sama-sama menikmatinya, menyerahkan jiwa dan raga kamu karena memang kamu mencintai aku, bukan karena terpaksa.""Terima kasih, kamu begitu menghargai aku," ungkap Karin seraya menundukkan wajahnya."Aku selalu menghargai kamu, hati kamu yang sulit tersentuh oleh kebaikan aku.""Aku sedang berusaha, Mas.""Akan aku tunggu." Frans mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Karin, lalu bertanya, "Kamu mau menemui mantan suamimu?"
Tiba hari berbahagia itu. Saat ini Karin tengah duduk di single sofa, begitupun dengan Frans yang duduk di singel sofa lain di sebelahnya. Di sana ada penghulu, disaksikan oleh wali, juga beberapa saksi dari orang-orang tertentu. Kini Frans dengan Karin resmi menjadi pasangan suami istri.Menangis. Tentulah Karin menangis, ini bukan pernikahan yang diinginkan. Dia rela melakukannya demi menyelamatkan nyawa suaminya yang sebenarnya tidak sedang sakit.Guntur bangkit dari duduknya, menghampiri sang keponakan, lalu memeluknya seraya menenangkan. "Sabar ya, Rin. Om yakin kamu akan bahagia bersama Frans. Cuma dari luar terlihat buruk, tapi percayalah dia orang yang baik.""Baik? Merebut seorang istri dari suaminya Om bilang baik? Kenapa Om mudah sekali bilang kalau pak Frans adalah pria baik? Ketemu aja baru satu kali," batin Karin bergumam.Setelah itu ia melepaskan pelukannya. "Doakan aja, Om. Semoga aku bisa bahagia menikah sama pak Frans."
"Memangnya kenapa? Aku udah jadi milik kamu, kamu boleh menyentuh aku kapan aja. Aku bebaskan. Di mana letak kesalahan aku?" Suara Karin tak kalah membentak."Kamu pikir cukup dengan itu semua?"Frans menarik bahu Karin, meremasnya sekuat tenaga hingga pemilik bahu itu meringis kesakitan. "Sakit, Mas.""Sakit? Cuma seperti ini kamu bilang sakit? Apakah kamu pikir sikap kamu ini tidak menyakiti perasaan aku? Khah!"Karin memejamkan mata dengan erat seraya menahan rasa sakit akibat dari cengkraman kedua tangan Frans. Tidak tega melihat wanita yang dicintainya kesakitan, Frans pun melepaskan cengkeramannya sambil mendorong secara kasar hingga ia terhuyun satu langkah ke belakang dan hampir jatuh. Tentu hal itu sangat mengejutkan."Mas Frans," lirih Karin."Keluar dari kamarku!""Maafkan aku, Mas. Aku belum bisa menjadi seperti yang kamu inginkan."Tidak ingin mendengarkan Karin bicara, Frans kembali meminta Karin k
Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan
Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa
Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan
Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap