Pamela tersenyum. Dia berjalan mendekati Anggoro dengan sangat seksi, walaupun dia tidak mengenakan pakaian."Apa yang kau lakukan Pamela!" teriak Anggoro yang sama sekali tidak dihiraukan oleh wanita itu. Dengan sangat seksi, Pamela masih saja terus berjalan mendekatinya. Anggoro menatapnya dengan tajam. Tubuh wanita itu dipenuhi dengan luka yang dibuatnya sendiri. "Anggoro...Anggoro. Mana mungkin kau bisa mengalahkanku dengan mudah? Ini sudah kurencanakan sedari tadi. Aku menikahimu lebih dari 5 tahun dan aku sangat hafal bagaimana sifatmu yang sesungguhnya. Kau sangat bodoh," ucap Pamela dengan tertawa keras, "hahah," kemudian mendadak memeluk Anggoro, membuat tubuh Anggoro dipenuhi dengan darah wanita itu yang keluar dari luka di sekujur tubuhnya. "Apa yang kau lakukan Pamela? Menjauhlah dariku. Aku tidak akan pernah membiarkan kau melakukan hal ini!" teriak Anggoro dengan keras. "Tolong! Tolong aku! Dia sudah menyiksaku berkali-kali. Tolong!" Pamela kembali menyalakan po
Anggoro dengan sangat berantakan diseret paksa masuk ke dalam kantor polisi. Dia masuk ke dalam penjara sama seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini pandangan semua polisi itu berbeda. Biasanya mereka semua yang berada di dalam masih segan dan takut kepada Anggoro. Sekarang, mereka semua berani memberikan tatapan yang sangat tajam. Bahkan dia masuk ke dalam sel yang diisi lima narapidana di sana. "Jadi ini yang melukai istrinya sendiri dengan sangat kejam seperti itu?" ucap salah satu narapidana kemudian mendekati Anggoro dan menamparnya dengan sangat keras, membuat lelaki itu tersungkur. "Ayo berdiri! Jangan jadi banci. Beraninya sama perempuan!" teriak lelaki itu keras. Narapidana lainnya menendang Anggoro yang masih tersungkur di lantai dan tidak memiliki tenaga. "Sudah hentikan!" teriak salah satu polisi yang sedang berjaga di sana. "Kalau kalian membuat keributan lagi, aku akan memberi hukuman kepada kalian. Apa kalian mengerti? Tidak akan pernah ada makanan yang aku ki
Anggoro masih saja tidak mengerti. Sahabat sekaligus musuhnya Willem saat ini datang dengan tiba-tiba. Namun ini adalah salah satu hal yang membuatnya merasa beruntung. Dia memang ingin sekali bertemu dengan lelaki Belanda itu. Mereka membawa Anggoro kembali ke ruangan. Kelima pengacara itu sudah pergi dari sana. Ruangan itu kosong sekarang. Willem duduk tepat dihadapan Anggoro. Mereka saling menatap tajam satu sama lain. "Aku ingin berdua saja dengan Pak Bupati," ucap Willem sambil menatap kedua polisi yang menganggukkan kepala. Lelaki Belanda itu memiliki pengaruh yang sangat tinggi di kota. Dia mampu membuat siapapun tunduk kepadanya karena kekayaan yang dia dapatkan dari orang tuanya. Kekayaan berupa warisan yang sangat besar. "Jadi kau sekarang adalah manusia yang bisa menguasai semuanya?" tanya Anggoro pelan sambil sedikit terkekeh. Dia bersedekap dan terus menatap Willem dengan tajam. "Kamu tahu kan, waktu itu kita sudah bertaruh. Kau ingin sekali menambah kekayaanmu.
Willem menatap Bima dengan serius. Kedua alisnya mengerut sangat dalam. Dia juga merasakan sesuatu yang sangat aneh. Wajah Sera benar-benar mirip sekali dengan kakaknya yang sudah meninggal karena kecelakaan. "Apakah kau tidak menyelidiki siapa sebenarnya dia? Ayahnya yang sekarang berada di rumahnya itu sepertinya bukan ayah kandung Sera. Karena wajahnya tidak mirip tapi mirip dirimu," lanjut Bima dengan tertawa kecil kemudian membalas Willem dengan menepuk pundak kanan lelaki itu. "Dunia ini memang sempit. Kadang kita tidak mengerti apa yang terjadi di hadapan kita. Tapi tentu saja kau harus memikirkan hal itu." "Apa yang kau inginkan Bima?" tanya Willem dengan tegas. "Aku tahu sesuatu. Saat kau berada di villa itu bersama Sera dulu, kau tidak menidurinya. Pamela sendiri yang mengatakan hal itu kepadaku. Kau tidak meniduri Sera tetapi meniduri Pamela. Benar bukan? Bukankah itu adalah suatu hal yang sangat memalukan? Bagaimana jika aku membukanya di depan umum?" "Silakan saja.
Jantung Sera berdebar dengan kencang. Seketika dia memegang perutnya yang tiba-tiba bergerak. Mungkin sang anak mengetahui jika ayahnya sedang terpuruk. Sera masih tidak bisa menuju ke sana. Dia hanya terdiam dan terus mengamati Anggoro dari kejauhan. "Apakah aku harus ke sana? Aku sudah membuat dia menceraikan aku. Seharusnya, dia sudah tidak ada hubungannya lagi denganku," gumam Sera masih terus memandang Anggoro dengan wajah yang sendu. Tetes air mata perlahan keluar dari kedua matanya yang sangat indah itu. "Heh kamu Bupati berengsek!" ucap salah satu narapidana yang tiba-tiba menendang Anggoro dan membuatnya kembali tersungkur ke lantai. Sera melebarkan kedua matanya. Dia menggelengkan kepala dan tidak ingin Anggoro mengalami hal itu. Namun dia yang tidak memiliki keberanian hanya terdiam. Sera tidak berani mendekati sel penjara Anggoro karena jika dia ketahuan mendekatinya, keselamatan Anggoro bisa terancam. "Pindah posisimu karena aku mau duduk di sini! Aku sudah bos
Anggoro mencengkeram jeruji besi dengan sangat kuat kemudian berteriak," Jangan sentuh dia! Jika kau menyentuhnya aku akan benar-benar mematahkan jeruji ini. "Hei kau itu polisi. Kenapa beraninya menyentuh seorang wanita?" Tanpa dia sangka Santoso mendekat dan menunjuk ke arah polisi itu dengan sangat santai. Mendengar perkataan Santoso, polisi itu melepaskan cengkramannya. Dia segera menunduk ke arah Santoso kemudian menatap Sera. "Maafkan saya nyonya. Tapi kehadiran Anda di sini bisa membuat saya dipecat. Jadi saya harap anda jangan seperti ini. Sekarang lebih baik anda keluar. Setelah itu saya tidak akan pernah mempersulit apa pun." Sera hanya menganggukkan kepala. Dia menatap Anggoro sejenak dan tersenyum dengan sangat cantik, kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Anggoro sangat lemas. Dia tidak lagi bisa menumpu tubuhnya, membuatnya hampir terjatuh. Santoso segera mendekati dan menangkap tubuh Anggoro, kemudian membantunya untuk terduduk di dekat tembok dan menyandar
Spontan Sera melepaskan tangannya yang semula digenggam oleh Maya. Dia membuka jendela mobil dan menatap kaca spion dari luar. Dia terus menatap wajahnya yang sangat berbeda dari wajah lokal. Tidak ada orang Indonesia yang memiliki kedua mata abu seperti yang dimiliki oleh orang luar. "Aku ingin pulang. Antar aku pulang sekarang," ucapnya sambil menatap tegas ke arah Maya yang akhirnya kembali mengendarai mobil itu. Sera masih saja terdiam sepanjang perjalanan. Dia terus menatap jalanan dengan pandangan tajam sambil terus memikirkan perkataan Maya barusan. Selama ini dia memang diasuh oleh ibunya. Seorang wanita warga negara Indonesia. Kemudian ayahnya Sobar yang sangat mencintainya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Ibu dan ayah tidak memiliki wajah seperti diriku. Apakah aku ini sebenarnya anak orang lain atau bagaimana?" gumamnya pelan, hingga membuat Maya menolehkan pandangan ke arahnya. "Apa yang kau katakan itu benar. Bahkan semua orang selalu berkata seperti itu," balas Ma
Pamela sangat kesal sekali. Satria sudah mengancamnya. Dia berjalan cepat menuju ke halaman, agar pembicaraan itu tidak didengar oleh semua temannya. "Satria. Ibu sangat mencintaimu. Ibu saat itu pergi karena, Ibu harus mencari sesuatu untuk membebaskan kita dari belenggu ini semua. Sekarang kau lebih baik belajar di rumah dan menjadi anak yang baik." Pamela semakin kesal ketika mendengar Satria tertawa keras. Namun dia mencoba untuk tenang karena anak itu menjadi ancaman besar baginya. "Ayolah Satria sayang. Ibu harus memenjarakan ayahmu agar kita bisa hidup dengan tenang. Kau tahu kan Ibu tidak memiliki apa pun. Kalau ayahmu di penjara, kita nanti akan mendapatkan segalanya," lanjut Pamela masih terus berusaha untuk tenang walaupun dia sendiri emosi kepada Satria. Dia tidak mungkin membiarkan sang anak menggagalkan semua rencananya hanya karena Satria menyimpan sebuah video saat dia berusaha meracuni Anggoro. "Ayolah Ibu. Sebelum Ibu keluar dari rumah bersama dengan lelaki
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu