Aksa melihat Alina yang hanya diam semenjak dia dipindah ke ruang inap. Dia juga bingung, kenapa Alina bisa semarah ini.“Aku sudah dirawat dan tidak ada yang fatal, apa kamu akan terus diam begini? Aku sedang sakit, Al. Kamu tidak kasihan?” tanya Aksa sambil terus memperhatikan Alina.Alina langsung menatap tajam, wajahnya begitu masam karena rasa kesal.“Sakit karena kesalahan siapa? Kamu bisa berhenti saja di depan mobil itu, lalu seret orangnya keluar, bukannya malah menabrakkan diri ke mobil seperti tadi. Kamu tidak paham? Nyawamu bisa melayang!” amuk Alina lagi karena Aksa masih saja membahas hal itu.Andai saja Aksa tahu bagaimana kecemasan Alina meluap begitu besar bak banjir bandang, Aksa tidak mungkin nekat melakukan hal-hal seperti tadi.Aksa menghela napas kasar, lantas tangan kirinya mencoba menggenggam tangan Alina.“Aku melakukan itu juga karena mencemaskanmu. Ada yang mengatasnamakan Arlo hanya demi menculikmu, sudah membuat kepalaku meledak. Kamu pikir aku masih bisa
Alina sedang membereskan peralatan makan setelah menyuapi Aksa. Dia melirik ke suaminya yang sedang mencari posisi duduk.“Kenapa? Lenganmu sakit lagi?” tanya Alina penuh perhatian.Aksa menatap pada Alina yang sudah bicara dengan lembut. Dia menggeleng.“Tidak sakit, hanya saja posisi dudukku kurang nyaman,” ucap Aksa.Alina segera membantu Aksa mencari posisi duduk yang nyaman. Dia menambahkan bantal di belakang punggung agar bisa bersandar dengan nyaman.“Sudah?” tanya Alina memastikan.Aksa mengangguk pelan.Alina sudah merapikan semuanya, lalu duduk di tepian ranjang seraya menatap suaminya.“Aku akan minta dokter memulangkanku saja dan dirawat di rumah agar kamu bisa istirahat dengan nyaman di rumah,” ucap Aksa.Meski di kamar itu ada ranjang khusus penunggu, tetapi tetap saja tidak senyaman saat beristirahat di rumah, kan?“Kondisimu belum benar-benar membaik, untuk apa buru-buru pulang? Lagian aku juga masih bisa istirahat di sini, untuk apa kamu cemas? Aku lebih cemas kalau
Keesokan harinya. Alina baru saja selesai menyuapi Aksa. Dia mengambil tisu lalu membersihkan ujung bibir Aksa yang masih terdapat sisa air.“Nanti tunggu perawat membantu mengganti pakaianmu karena aku tidak bisa melepas pasang penyangganya sendirian,” ucap Alina sambil merapikan alat makan.“Ya.” Aksa membalas singkat sambil terus memperhatikan Alina.Ponsel Alina berdering. Dia mengecek pesan yang terpampang di layar, lalu menoleh pada Aksa.“Siapa?” tanya Aksa.“Aku keluar sebentar.” Tanpa menjawab pertanyaan Aksa, Alina malah langsung pamit keluar.Saat Alina hendak keluar, kebetulan Bams datang membawa pesanan Alina.“Anda mau ke mana?” tanya Bams.“Mau keluar sebentar, hanya ke lobby. Tolong jaga Aksa sebentar,” pinta Alina setelah menjawab pertanyaan Bams.Bams hanya mengangguk saja. Dia memperhatikan Alina melewatinya lalu keluar dari kamar, sebelum akhirnya Bams menghampiri Aksa.“Alina bilang mau ke mana?” tanya Aksa saat Bams menemuinya.“Katanya mau ke lobby sebentar, mun
Alina diam dengan segala pikiran yang berkutat di kepala. Dia menatap pada Gabriel, tidak tahu apa sebenarnya maksud pria itu mengatakan itu semua padanya.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya hendak Anda sampaikan. Terlepas dari ingatanku yang belum kembali, aku bersyukur bisa kembali pada keluargaku. Dan, aku memang tidak berniat mencari tahu tentang masa laluku.”Alina mencoba menanggapi perkataan Gabriel dengan tenang, meskipun kepalanya menolak mengabaikan maksud Gabriel, masalah apa yang sebenarnya dibicarakan oleh pria itu.“Aku hanya ingin kamu bahagia,” balas Gabriel.Alina menatap bingung, kenapa dengan pria ini? Saling kenal sejak dua tahun lalu, tetapi kenapa sekarang pria ini bicara aneh?“Aku sudah bahagia, Anda tidak perlu mencemaskanku,” balas Alina.Gabriel tersenyum tipis. Dia menghela napas kasar.“Jika pria itu menyakitimu lagi, hubungi aku. Aku akan selalu ada untukmu.” Setelah mengatakan itu, Gabriel berdiri dari posisi duduknya.Alina diam meremas lutut saat menc
“Bams, aku janji akan tenang asal kamu menceritakan yang sebenarnya!” Alina memaksa. Dia selalu merasa ada yang mengganjal di pikiran dan hatinya saat bersama Aksa, mungkinkah jawabannya memang karena masa lalu?Bams benar-benar panik, tetapi melihat Alina yang menatapnya penuh harap, Bams akhirnya meminta maaf dalam hati pada Aksa, lalu mengembuskan napas kasar untuk mendapatkan keberanian bercerita.“Janji, Bu. Apa pun yang akan saya ceritakan, Anda harus berpikir seribu kali sebelum mengambil keputusan. Ya, misal Anda tidak bisa memikirkan Pak Aksa, tapi saya mohon pikirkan Arlo.”Jantung Alina berdegup cepat. Rasa panik dan takutnya semakin membuncah tak terkendali. Dia mengangguk-angguk pelan meski tidak yakin.“Saya tidak tahu kenapa Anda bisa amnesia dan memalsukan kematian, yang jelas masalahnya adalah Pak Aksa mengurung Anda saat hamil karena Anda mau kabur setelah mengetahui kalau darah yang seharusnya diberikan pada ibu Anda, tapi malah diberikan untuk Pak Aksa,” ujar Bams
Tiga tahun lalu.Restu masuk ke ruang operasi dengan pakaian khusus. Dia mendekat pada Alina yang saat itu siap melahirkan.“Semua akan baik-baik saja, kamu harus bertahan,” ucap Restu berbisik di telinga Alina.Pria itu melihat Alina menoleh dengan tatapan nanar, apalagi bola mata Alina terlihat berkaca-kaca.“Kamu yakin ingin melakukan ini? Kamu ingin pergi jauh dari suamimu?” tanya Restu memastikan lagi.Alina mengangguk.“Biarkan dia merasakan apa itu kehilangan,” lirih Alina.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu lagi.Restu menatap Alina yang diam, lalu Alina berkata, “Bisa usahakan agar bayiku bisa bersamaku?”Restu diam. Ini mungkin akan sulit. “Akan kuusahakan, tapi aku tidak janji.”Alina mengangguk-angguk.Setelah bicara dengan Alina, Restu bicara dengan dokter yang membantu persalinan keponakannya itu.“Dia bisa melakukan persalinan secara normal, tapi saya sudah memberitahu keluarganya jika Bu Alina akan melakukan tindakan cesar, hanya untuk memperkuat alibi saja,” ujar
Restu melihat Alina diam, mungkin karena syok. Dia menggenggam telapak tangan Alina untuk menenangkan, bagaimanapun ceritanya mungkin akan membuat Alina tertekan.“Alina.” Restu mencoba memanggil, menunggu Alina merespon.Bams masih ada di sana. Dia panik dan cemas jika sampai terjadi sesuatu pada Alina. Dia berharap, ini tak mengubah apa pun pada diri Alina akan pandangan terhadap Aksa.Alina tiba-tiba bernapas pendek dan terputus, dia sangat tertekan hingga dadanya naik turun tak beraturan.“Al, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan. Rileks, ingat janjimu tidak akan memaksa mengingat dan aku hanya memberitahumu fakta. Tenangkan pikiranmu, lepaskan semua yang menyakitkan.” Restu mencoba untuk mensugesti.Alina masih kesusahan bernapas, berulang kali dia mencoba menarik napas panjang tetapi gagal.“Alina, tenang.” Restu terus mencoba meyakinkan Alina.Setelah beberapa saat dirundung kepanikan, akhirnya Alina bisa mulai sedikit tenang. Dia bisa bernapas dengan normal lagi, tetapi
Aksa memperhatikan Bams yang diam dan terlihat panik. Alisnya berkerut saling bertautan, penasaran kenapa sikap Bams tampak aneh. “Ada apa? Kenapa kamu tidak menjawab?” tanya Aksa curiga. Bams benar-benar kebingungan. Dia sampai menunduk merasa bersalah karena sudah jujur pada Alina. Aksa semakin curiga, saat akan kembali bicara, terdengar suara pintu terbuka. Aksa dan Bams sama-sama menoleh ke arah pintu. “Ada apa? Kamu sedang memarahi Bams?” Bams terkesiap, tetapi juga lega karena Alina kembali. Aksa langsung memulas senyum. “Kamu dari mana? Kenapa lama sekali?” tanya Aksa. Alina melirik Bams yang sedikit menurunkan pandangan. Dia lalu tersenyum pada Aksa sambil mendekat. “Tadi bicara sebentar dengan Paman. Dia tahu kamu sakit tapi belum bisa menjenguk, jadi dia menitipkan ini.” Alina memperlihatkan kotak kue yang dibawanya. Bams mengedipkan mata dengan cepat. Apa Alina baik-baik saja? Kenapa dia menjadi waswas dan seperti merasa bersalah? Bams akhirnya pamit keluar dari
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser