Hari itu Jia pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan rumah. Dia pergi bersama Anya, gadis kecil itu sangat antusias mengambil beberapa barang yang diinginkannya.“Ini boleh ‘kan, Mama?” tanya Anya sambil memperlihatkan bungkus camilan yang diinginkan.“Boleh, tapi jangan banyak-banyak, ya.”Anya mengangguk senang.“Apa Anya akan sekolah lagi?” tanya Anya sambil berjalan mengikuti Jia.“Anya sudah mau sekolah lagi? Mau sekolah di mana?” tanya Jia.Anya berpikir seraya mengetukkan telunjuk di dagu.“Anya mau sekolah di sekolahnya Arlo, boleh tidak?” tanya Anya seraya menatap pada Jia.“Tapi kalau di sana, Anya tidak akan satu kelas. Anya dan Arlo umurnya beda, jadi mungkin kelasnya akan beda,” jawab Jia.“Anya maunya sama Arlo, Mama. Biar Anya ada temennya,” rengek Anya.Jia menatap Anya yang merajuk. Usia keduanya selisih satu tahun, apa boleh satu kelas?“Nanti coba mama tanya ke gurunya, ya? Tapi kalau tidak bisa, Anya jangan marah. Anya bisa tetap main sama Arlo di jam istiraha
Jia melamun di rumah setelah kembali dari berbelanja. Entah kenapa tiba-tiba saja dia teringat dengan ucapan Karin tentang kondisi Daniel.‘Bagaimanapun kondisinya, tidak dibenarkan istri berselingkuh, kan?’Pikiran itu melintas di benaknya. Jia tahu kalau Karin dan Daniel bercerai karena Karin berselingkuh, tetapi dia tidak tahu soal kondisi kesehatan seksual Daniel.Namun, apa itu penting? Bukankah dari semua kondisi dalam rumah tangga, kesetian dan tanggung jawab suami yang lebih penting.“Paman Daniel.”Saat Jia sedang melamun, dia terkejut mendengar Anya menyebut nama Daniel. Jia menoleh dan melihat pria itu datang.“Halo, Cantik.” Daniel langsung menggendong Anya.Anya tertawa mendengar sebutan Daniel untuknya. Dia bergelayut manja layaknya pria itu adalah ayahnya.“Paman bawa apa itu?” tanya Anya saat melihat paper bag yang dipegang Daniel.“Anya mau lihat?” Anya mengangguk-angguk.Daniel menurunkan Anya dari gendongan, saat itu Jia menghampiri Daniel dan Anya.“Tadi paman lih
“Apa Mama akan menikah dengan Paman Daniel?”Pertanyaan yang keluar dari mulut Anya membuat bola mata Jia membulat sempurna.“Kenapa Anya bertanya seperti itu? Anya dengar dari mana?” Jia mencoba mengelak. Sejujurnya dia pun belum memberikan jawaban atas pertanyaan Daniel sore tadi.“Tadi Anya dengar, Paman Daniel bilang mau menikah, kan?” Anya menatap sang mama yang duduk di tepian ranjang karena sedang menemaninya tidur.Jia gelagapan, entah kenapa dia panik karena pertanyaan soal menikah.“Anya suka kalau Paman Daniel jadi papanya Anya. Apa Mama nggak suka?” tanya Anya seraya menatap Jia.“Apa?” Jia mendadak tak bisa mendengar apa yang dikatakan Anya. Tampak jelas kebingungan di raut wajah wanita itu.“Mama nggak suka sama Paman Daniel?” tanya Anya lagi.“Anya jangan berpikiran atau membahas urusan orang dewasa, ya.” Jia tak sanggup menjawab, sehingga dia lebih memilih mengalihkan pembicaraan.Anya diam menatap sang mama, lalu berkata, “Benar, Mama nggak suka sama Paman Daniel, pad
Aksa menatap pada Daniel yang duduk berhadapan dengannya. Adik iparnya itu sedang menuang cairan berwarna cokelat ke gelas kristal.“Kamu ke sini hanya minta untuk ditemani minum?” tanya Aksa.“Kamu tidak mau minum?” tanya Daniel seraya menyodorkan gelas ke arah Aksa.“Toleransi alkoholku rendah, bisa-bisa kakakmu menyuruhku tidur di luar jika aku mabuk,” jawab Aksa.Daniel mengedikkan bahu, lalu dia menenggak sendiri minuman yang tadi sempat ditawarkan ke Aksa.Aksa memperhatikan Daniel yang sedang minum. Dia merasa aneh, kenapa tiba-tiba adik iparnya ini datang dan minta ditemani minum?“Apa terjadi sesuatu? Kalau ketahuan kakakmu, bisa-bisa dia mengomel semalaman,” ujar Aksa.Daniel meletakkan gelas kosong di meja, lalu menatap Aksa.“Aku hanya butuh teman saja setelah aku melakukan hal gila,” ucap Daniel. Dia menyandarkan punggung ke belakang, lalu mengembuskan napas kasar seraya memandang langit yang bertabur bintang.Aksa mengerutkan alis.“Melakukan hal gila? Apa yang sudah kam
Daniel melepas tangan Karin yang menggenggamnya.“Apa kamu pikir selama tiga tahun ini aku tidak bisa melupakanmu? Apa kamu pikir, meski hubungan kita pernah berjalan sangat lama, perasaanku habis padamu? Asal kamu tahu, sejak mengetahui perselingkuhanmu, tidak ada secuil pun rasa yang tertinggal untukmu. Bahkan meski aku tidak menikah seumur hidupku, aku tidak akan mengulangi kesalahan sama yaitu mempercayai wanita sepertimu.”Daniel menatap dingin. Mungkin benar perasaannya sudah habis untuk cinta pertamanya itu, tetapi Daniel sudah menguburnya lalu menumbuhkan perasaan lain untuk wanita yang dianggapnya layak.“Lagi pula, aku sudah jatuh cinta pada wanita lain,” ucap Daniel lagi mencoba memukul mundur keinginan Karin untuk kembali padanya.“Dan, aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi. Aku benar-benar menyesal. Aku ingin ….” Karin menghentikan ucapannya saat melihat seseorang berdiri di samping Daniel.Daniel menoleh. Dia terkejut melihat Jia ada di sana.“Ternyata kamu bertany
Daniel bergeming menatap pada Jia. Tiba-tiba saja pikirannya kosong setelah mendengar apa yang Jia katakan. “Tu-tunggu, maksudmu?” tanya Daniel memastikan. Dia tidak mau jika salah menelaah.Jia melipat bibir, lalu menjawab, “Ayo menikah, tapi setelah aku resmi bercerai.”“Aku tidak tahu bagaimana pandanganmu soal aku yang tiba-tiba mengajak menikah, tapi yang jelas, aku hanya meneruskan apa yang kamu harapkan sebelumnya,” ujar Jia lagi.Daniel tiba-tiba menghela napas lega. Dia tersenyum lebar mendengar ucapan Jia.“Tentu,” balas Daniel, “pandanganku saat ini hanya senang. Aku hanya tak menyangka kamu menerimanya. Apa karena kamu kasihan padaku?” tanya Daniel memastikan.Andaipun Jia memang kasihan padanya, Daniel tidak peduli asal dia bisa bersama wanita itu membangun rumah tangga bersama, serta saling menjaga satu sama lain.Jia tampak berpikir seraya mengangguk pelan, lalu membalas, “Kasihan iya, tapi lebih dari itu, aku merasa kamu layak.”Daniel mengangkat kedua tangan seperti
Hari berikutnya. Alina menjemput Arlo yang sekarang sudah mulai bersekolah. Dia menunggu di depan gedung sekolah ketika jam sekolah berakhir..“Mama!” Arlo melambai ke arah Alina.Alina membalas lambaian tangan Arlo. Dia melihat Arlo berjalan bergandengan tangan dengan Anya. “Anya sudah kembali sekolah?” tanya Alina ketika Arlo dan Anya sudah ada di hadapannya.“Iya.” Anya mengangguk mantap. “Anya ‘kan nggak jadi pergi jauh, jadi sekolah lagi sama Arlo. Apalagi Arlo ‘kan mau jadi adiknya Anya.”“Adik?” Alina mengerutkan alis bingung. Dia menatap Arlo yang hanya tersenyum lebar.“Iya, adik. Anya dengar, Mama mau nikah sama Paman Daniel, jadi Arlo ‘kan adiknya Anya,” celoteh gadis kecil itu menganggap Arlo adiknya karena dia lebih tua.“Apa?” Alina terkejut. Dia belum tahu soal itu, sehingga Alina begitu syok.Di saat itu, Jia datang dan menyapa Alina.“Ada apa?” tanya Jia saat melihat Alina syok.“Itu, Anya bilang kalau Arlo akan jadi adiknya Anya. Eh, Bibi kaget.”Jia menatap pada Al
Aksa pulang lebih awal sore itu karena permintaan Alina. Dia baru saja sampai rumah, saat mencari sang istri, ternyata Alina ada di dapur.“Kamu masak apa?” tanya Aksa seraya memperhatikan beberapa pelayan yang juga membantu. “Kenapa banyak sekali?” tanya Aksa keheranan.Alina menoleh saat mendengar suara Aksa, tetapi dia kembali memandang pada makanan yang sedang dibuatnya.“Hari ini Naya dan Bams baru pulang liburan, lalu aku juga mengundang Jia dan Daniel untuk makan malam bersama di rumah,” jawab Alina seraya sibuk mengolah bahan makanan.Aksa mengerutkan alis.“Memang ada acara apa sampai kamu memasak banyak menu?” tanya Aksa.Alina memandang ke arah Aksa, lalu membalas, “Daniel benar-benar akan menikahi Jia, tapi menunggu Jia resmi bercerai dari Edwin. Jadi, aku mau merayakannya, sekalian menyambut Naya.”Aksa lumayan terkejut.“Akhirnya Daniel serius? Padahal kemarin malam masih galau,” ucap Aksa jika ingat saat Daniel mabuk sambil meracau karena kebingungan.Alina hanya tersen
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.