Hari pesta pernikahan Aksa dan Alina tiba. Ballroom hotel bintang lima milik keluarga Radjasa sudah disulap menjadi tempat pesta yang mewah. Para tamu undangan yang datang, semuanya diperiksa ketat agar tidak ada masalah nantinya. Di pintu masuk menuju ballroom, para tamu dicek menggunakan mesin detektor, bahkan yang datang ke pesta itu bukan orang sembarangan, melainkan para pengusaha kaya dan beberapa orang penting lainnya.Di ruang ganti. Alina sudah dirias oleh MUA yang sebelumnya mendandaninya di acara konferensi pers. Alina sangat cantik, meski tak memakai gaun pengantin. Dia memakai gaun mewah sesuai konsep resepsi yang diadakan.Alina menatap bayangannya melalui cermin. Dia bahkan menarik napas dalam-dalam dan membuang perlahan berulang kali.“Tenang Alina, ini hanya pesta biasa,” ucap Alina mencoba mensugesti dirinya sendiri agar tidak gugup, tetapi tetap saja gelisah karena yang akan dia temui bukan orang biasa, melainkan orang-orang penting di dunia bisnis dan juga pemerint
Di luar negeri. Karissa sudah tidur saat ponselnya beberapa kali berdering. Di tempatnya sekarang masih malam, dia meraba ponsel lalu mengecek siapa yang mengiriminya pesan. Membaca pesan dari Sasmita, bola mata Karissa langsung membulat sempurna. Bahkan dia bangun dengan cepat, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Agh! Sialan! Dia benar-benar melakukannya?” Karissa mengamuk. Dia sampai menendang selimut berulang kali karena emosi. Karissa mengguyar kasar rambut ke belakang, sekali lagi membaca pesan dari Sasmita dan hal itu membuatnya semakin marah. Karissa tidak rela, tetapi dia juga tidak bisa pulang. Karissa akhirnya mencoba menghubungi ayahnya. “Pa, aku mau pulang. Aku tidak bisa membiarkan Kak Aksa benar-benar menjadi milik wanita itu!” Karissa langsung mengungkap keinginannya begitu panggilannya dijawab sang papa. “Jangan bodoh kamu! Apa kamu mau dipenjara? Apa kamu pikir hidup dan kebebasanmu tidak lebih penting? Kali ini ikuti saja apa yang papa kataka
“Saya sangat senang Anda mau meluangkan waktu menghadiri pesta kami,” ucap Aksa.Restu tersadar dari lamunan, dia menoleh Aksa sambil tersenyum.“Saya ikut berbahagia, sangat tidak menyangka kalau kamu sebenarnya sudah menikah. Ini sangat menjadi kejutan untukku,” balas Restu.Aksa tertawa kecil.Restu kembali melirik pada Alina. Alina menyadari tatapan Restu berulang kali jatuh padanya, entah apa itu karena Restu hanya ingin mengamati dirinya, atau ada sesuatu yang membuat pria itu menatapnya berulang kali.Jujur, Alina tidak nyaman akan hal itu, tetapi dia tetap tersenyum demi menjaga nama baik Aksa.“Anak muda sekarang suka membuat rahasia, padahal sudah menikah lama tapi baru diumumkan dan diadakan pestanya sekarang,” ucap Shinta sambil menepuk pelan lengan Restu, sebab suaminya kepergok beberapa kali menatap pada Alina.Restu menoleh pada istrinya, lalu mengangguk pelan.“Anak muda sekarang memang unik,” seloroh Restu.Aksa dan yang lain tertawa.“Nikmatilah pestanya,” kata Aksa
Kaira memilih pulang karena tak ingin ada masalah lain akibat kelakuan Jefri. Saat dia dan Jefri sudah di mobil, Kaira langsung menatap tak senang.“Apa maksudmu mengatai orang seperti tadi? Apa kamu pikir itu sopan?!” Kaira bertanya dengan nada emosi.“Aku hanya memperingatkanmu, jangan coba-coba melirik pria lain!” ancam Jefri sampai menunjuk pada wajah Kaira.Kaira benar-benar tidak menyukai sikap Jefri yang arogan.“Jika bukan karena papaku, aku tidak akan mau pergi dengan pria sepertimu!” bentak Kaira benar-benar habis kesabaran menghadapi Jefri.Jefri kesal.“Kalau kamu macam-macam, aku akan melaporkanmu ke papamu!” ancam Jefri dengan tatapan mengintimidasi.Kaira menatap emosi. Dia kalah berdebat sehingga memilih diam. Jefri tersenyum miring, lalu segera memacu mobil meninggalkan hotel itu.Kaira terus diam selama perjalanan pulang. Dia sendiri menerima keputusan Dimas hanya agar bisa keluar dari rumah, tetapi bukan berarti dia mau menerima begitu saja perjodohan yang disiapkan
Alina dan Aksa sudah sampai rumah. Alina masih saja terkejut ketika pelayan menyambutnya pulang. Dia benar-benar belum terbiasa dengan hal itu.“Apa kamu bisa minta pelayan agar tidak menyambut seperti itu saat kita masuk rumah? Jujur, aku merasa aneh. Aku bukan seorang putri, kenapa harus disambut seperti itu,” bisik Alina sambil berjalan menaiki anak tangga.Alina tidak bicara dengan lantang karena tidak ingin menyinggung perasaan pelayan.“Kamu menantu keluarga Radjasa, jadi wajar diperlakukan seperti itu. Tidak usah dipikirkan, anggap saja mereka hanya bekerja,” balas Aksa dengan santainya.Alina terkejut, tetapi tidak bisa membantah.Mereka sudah sampai kamar. Aksa membuka pintu lalu meminta Alina masuk lebih dulu.Alina melangkah tanpa kecurigaan apa pun, tetapi saat sampai di dalam kamar, dia terkejut melihat dekorasi kamar yang berbeda.Ada kelopak bunga di ranjang, bahkan bunga mawar terpajang di beberapa sudut kamar. Benar-benar seperti kamar pengantin baru.“Kapan kamu meny
Aksa benar-benar mengajak Alina berlibur ke villa miliknya, karena Alina masih mencemaskan Kaira dan menolak bepergian jauh.Mereka baru saja sampai di villa. Aksa hanya pergi bersama Alina, tanpa sopir atau yang lainnya.Saat sampai di villa. Alina turun dari mobil dan langsung menghirup udara pegunungan yang begitu segar. Dia bahkan meregangkan kedua tangan di udara, rasanya begitu tenang.“Ayo masuk!” ajak Aksa sambil mengulurkan tangan pada Alina.Alina tersenyum lebar. Dia meraih tangan Aksa, lalu mereka berjalan menuju villa.Alina melihat dua orang keluar dari villa, ternyata mereka adalah suami-istri yang menjaga dan merawat villa itu.“Selamat datang, Tuan, Nona.” Suami-istri itu menyapa.Alina mengangguk membalas sapaan itu.“Saya sudah mengisi bahan makanan di dapur sesuai permintaan Anda, kami akan datang tiap pagi untuk bersih-bersih saja selama Anda di sini,” kata wanita paruh baya.“Terima kasih,” ucap Alina.Alina dan Aksa masuk setelah dua penjaga tadi pulang. Aksa me
Mentari mulai menyapa, memberikan sedikit kehangatan pada ruang yang terasa dingin. Alina menarik selimut sampai setinggi leher, dia begitu malas karena udara dingin di sana membuatnya ingin terus memejamkan mata.Saat meraba sisi ranjang untuk mencari pelukan suaminya, Alina mendapati sisi ranjangnya kosong. Dia membuka mata, benar saja tidak ada Aksa di sana.“Aksa.” Alina setengah bangun lalu mengedarkan pandangan. Dia tidak melihat suaminya di kamar.Alina bangun sambil membungkus tubuh dengan selimut, lalu mengambil pakaian dari koper dan segera memakainya. Dia hendak mencari Aksa di luar, tetapi tiba-tiba mendengar suara berisik di dapur.“Siapa yang sedang masak?” Alina bertanya-tanya karena mendengar pisau beradu dengan talenan.Alina segera keluar dari kamar lalu menuju dapur. Saat sampai di sana, Alina melongo melihat siapa yang sedang sibuk di sana.Alina melihat Aksa berdiri di depan kompor dengan api yang menyala. Dia memperhatikan Aksa yang seperti ingin membuka tutup pa
Alina baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tidak melihat Aksa di kamar atau di ruang perapian.“Ke mana lagi dia? Jangan sampai melakukan hal aneh-aneh lagi, cukup tadi pagi saja membuat berantakan dapur,” gumam Alina.Alina mencari Aksa di luar, sampai akhirnya menemukan suaminya itu yang ternyata berdiri tak jauh dari villa, sedang bicara dengan seorang pria.“Bicara dengan siapa dia?” Alina penasaran dan mengamati karena pria yang ditemui Aksa bukan penjaga villa.Tak lama kemudian. Alina melihat Aksa berjalan kembali ke villa, dia melihat Aksa memegang sesuatu.“Kamu bawa apa?” tanya Alina penasaran.Aksa menoleh pada tas panjang hitam yang dipegangnya. Dia menjawab, “Alat pancing.”Dahi Alina berkerut.“Alat pancing, buat apa?” tanya Alina keheranan.“Kamu suka memancing, kan? Jadi aku berencana mengajakmu memancing ke danau,” jawab Aksa penuh percaya diri.Alina melongo. Kelopak matanya sampai berkedip-kedip beberapa kali.“Kenapa kamu melakukan ini? Padahal aku tidak memintam
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.