Jangan lupa komentarnya, ya. Terima kasih. Hehehehe aku tagih tiap hari, deh.
Sebelum pulang, Alina pergi menemui Kaira. Ternyata dia datang untuk mengembalikan lingerie yang dibawa Kaira tempo hari.“Kamu ini memang keterlaluan, bagaimana bisa kamu membawakanku pakaian kurang bahan seperti ini, hah?” Alina langsung mengomel sambil melempar paper bag ke arah Kaira yang duduk.Bukannya marah atau merasa bersalah, Kaira malah tertawa.“Bagaimana, hm? Aksa pasti terpesona, kan?” tanya Kaira penasaran.Kedua pipi Alina merona.“Aku tidak memakainya,” balas Alina lalu duduk di samping Kaira.“Lho, kok?” Kaira kaget. Dia menggeser posisi duduk hingga menghadap Alina. “Kenapa? Bukankah kalian ke hotel karena mau … itu?” tanya Kaira ambigu dengan rasa penasaran yang tinggi.Alina menatap datar.“Bukan,” jawab Alina, “Hubungan kami tidak seperti yang kamu pikirkan, jadi jangan berpikiran macam-macam,” imbuh Alina.Alina tersenyum getir. Entah kenapa dia sedih saat mengatakan jika hubungannya dengan Aksa hanya sebatas status, tidak lebih.Kaira melihat Alina yang terliha
Hari itu Alina dan Aksa akhirnya pergi berlibur. Mereka baru saja sampai di bandara dan kini berada di mobil yang menjemput mereka menuju resort yang sudah disiapkan Nenek Agni. “Bahkan Nenek menyiapkan mobil untuk menjemput kita?” tanya Alina tidak menyangka semua sudah disiapkan. Aksa tidak menjawab. Dia diam memandang jalanan. Mereka akhirnya sampai di resort. Alina sangat senang melihat pantai. Mereka pergi ke resort dengan kamar dan kolam renang mini pribadi. Alina terkagum-kagum memandangi kamar itu sangat luas dan cantik, tetapi bingung karena ranjangnya hanya ada satu. Bagaimana ini? Tetapi sepertinya tidak apa-apa, waktu itu satu ranjang juga Aksa tidak melakukan apa-apa. Jika Aksa macam-macam, nanti Alina tinggal menendang saja. Ah, itu benar. Alina mengedikkan kedua bahu. Aksa menatap pada Alina yang sedang mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dia melihat bagaimana Alina mengagumi tempat itu seperti tidak pernah pergi liburan. “Apa kamu pernah berlibur ke sini se
Aksa hanya menatap tetapi tidak menjawab. Dia langsung berjalan meninggalkan resort.Kedua bahu Alina terangkat melihat sikap Aksa. Dia menyusul, sehingga mereka sekarang berjalan berdua.Baik Aksa maupun Alina sama-sama diam saat berjalan menyusuri pantai dengan pemandangan yang sangat indah. Air laut begitu jernih dengan pasir putih yang bersih.“Ternyata liburan tidak buruk juga, aku bisa cuci mata,” ucap Alina ketika melihat beberapa pria sedang melakukan surfing.Aksa menatap ke arah Alina memandang. Apa maksud Alina melihat tubuh pria lain adalah hiburan? Aksa tersenyum mengejek, tubuhnya tak kalah seksi dari para pria yang sekarang ini sedang berselancar. Kenapa Aksa peduli? Apa dia tidak senang karena Alina memuji pria lain? Tetapi kenapa?Aksa masih berjalan, sampai tidak sadar kalau Alina tidak ada di sampingnya. Dia menghentikan langkah, lalu menoleh pada Alina berdiri. Aksa tiba-tiba kesal, kenapa Alina sangat suka memandangi tubuh pria. Dia menghampiri istrinya itu lalu
“Kita mau makan apa malam ini?” tanya Alina.Alina merasa aneh, biasanya jam segini sudah memasak dan siap makan malam, tetapi malam ini masih di kamar dan belum menentukan apa yang akan disantap.“Ayo!” ajak Aksa tanpa memberitahu mau mengajak makan apa.Alina ikut saja. Dia berjalan di samping Aksa, lalu mereka sampai di kafe yang dekat dengan resort. Aksa dan Alina mengambil tempat duduk di luar dengan pemandangan laut. Mereka bisa mendengar deburan ombak kecil memecah pantai dari tempat duduk mereka saat ini.Alina menyukai suasana di tempat itu. Dia terus tersenyum sambil memandang ombak yang berlomba bergulung ke pantai, sebelum akhirnya pecah menjadi buih kecil.Tanpa sadar, Aksa terus memandang Alina. Meski di rumah Alina sering tersenyum, tetapi sekarang semakin bertambah dan terkesan berbeda.Alina menoleh pada Aksa setelah puas melihat ombak, lalu dia menyadari jika Aksa ternyata sedang menatapnya.“Kenapa?” tanya Alina merasa aneh.Aksa terlihat tenang, tetapi dalam hatiny
Ada apa lagi dengan Alina? Aksa benar-benar dibuat pusing dengan sikap istrinya itu. Dulu Alina tidak seperti ini, tetapi kenapa sekarang berubah mudah marah? Ke mana hilangnya kesabaran Alina?Aksa mencoba mengingat apakah dia punya salah? Sampai dahinya berkerut lalu ingat dengan dua gadis yang tadi menghampirinya. Dia pun akhirnya sadar dengan maksud ucapan Alina.Aksa mengejar Alina yang sudah keluar dari resort. Dia tidak mungkin membiarkan Alina pergi sendirian di malam hari. Aksa melihat Alina yang berjalan di pantai. Dia langsung mengejar.“Al, berhenti!” perintah Aksa.Aksa melihat Alina masih berjalan, sepertinya panggilannya tidak didengarkan Alina.Aksa memperlebar langkah, sampai akhirnya berhasil mengejar lalu menarik tangan Alina.Alina terkejut sampai tertarik ke belakang dan membentur dada suaminya itu. Dia terdiam saling tatap dengan Aksa, satu tangannya masih digenggam pria itu.Alina mendengar suara detak jantung cukup keras. Milik siapa itu? Alina tiba-tiba panik
Alina bergeming melihat tangan Aksa sangat dekat dengannya. Tatapan matanya tak teralihkan dari wajah pria itu. Detak jantung Alina tiba-tiba berdegup semakin cepat, ada apa ini? Apa Alina gugup?Alina sangat bingung dan panik. Saat Alina hendak memundurkan kepala, tangan Aksa sudah menyentuh ujung bibirnya. Tunggu, kenapa?“Kebiasaan, kalau makan seperti anak kecil. Belepotan.” Aksa bicara sambil mengusap ujung bibir Alina dengan permukaan jempol.Setelah melakukan itu, Aksa kembali memakan es krimnya.Alina sudah menahan napas, tetapi ternyata hanya membersihkan ujung bibirnya. Alina merasa aneh, kenapa dia harus panik? Sedangkan Alina tahu Aksa tidak mungkin tertarik padanya. Kenapa tiba-tiba hati Alina merasa sakit membayangkan itu?Mereka masih duduk di sana cukup lama, bahkan es krim sudah habis tetapi mereka masih diam menatap deburan ombak.Aksa diam merenung. Dia akhirnya tahu kebenarannya dan itu membuat Aksa tiba-tiba merasa bersalah.“Apa kamu pernah memiliki keinginan unt
Aksa berbaring menatap langit-langit kamar. Malam semakin larut, tetapi Aksa masih belum bisa memejamkan mata. Dia menggeser posisi berbaring hingga miring, lalu menatap Alina yang sudah tidur dengan pulas.Sejenak, Aksa terdiam. Tidak tahu kenapa, Aksa tiba-tiba diserang rasa cemas yang berlebihan. Perasaan apa ini? Apa Aksa takut kalau Alina tahu jika dia kaya? Bukan karena Aksa takut Alina menginginkan hartanya, tetapi takut kalau Alina pergi ketika tahu status mereka berbeda.Aksa benar-benar tidak tenang. Dia tidak mengerti, kenapa dirinya sangat gelisah. Aksa akhirnya turun dari ranjang. Dia kemudian keluar dan berdiri di dekat kolam renang, lalu menghubungi Ilham.“Ada apa, Pak? Ini jam berapa? Kenapa Anda menghubungi saya tengah malam begini?” Suara Ilham terdengar parau dari seberang panggilan.“Aku sudah memastikan langsung tentang informasi yang kamu berikan tentang Alina,” kata Aksa tak peduli jika sudah mengganggu jam tidur
Alina mulai membuka mata saat sinar matahari berhasil mengusik lelapnya. Dia melihat jika sudah pagi dan sepertinya dia bangun kesiangan. Saat menggeliat untuk melemaskan tubuh, Alina baru ingat kalau semalam tidur seranjang dengan Aksa, sehingga dia buru-buru menoleh ke sisi ranjang, tetapi ternyata sudah tidak ada Aksa di sana.“Di mana dia?”Alina berpikir kalau Aksa tidur di sofa lalu menoleh ke sofa, tetapi suaminya itu juga tidak ada di sana.“Apa di sudah bangun lebih dulu?” Alina bergumam.Dia turun dari ranjang ingin mencari Aksa, dan ternyata suaminya itu sedang berenang. Saat akan menghampiri, Alina melihat Aksa yang bertelanjang dada sampai membuatnya tertegun sesaat.Ini bukan pertam
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.