Aksa hanya menatap tetapi tidak menjawab. Dia langsung berjalan meninggalkan resort.Kedua bahu Alina terangkat melihat sikap Aksa. Dia menyusul, sehingga mereka sekarang berjalan berdua.Baik Aksa maupun Alina sama-sama diam saat berjalan menyusuri pantai dengan pemandangan yang sangat indah. Air laut begitu jernih dengan pasir putih yang bersih.“Ternyata liburan tidak buruk juga, aku bisa cuci mata,” ucap Alina ketika melihat beberapa pria sedang melakukan surfing.Aksa menatap ke arah Alina memandang. Apa maksud Alina melihat tubuh pria lain adalah hiburan? Aksa tersenyum mengejek, tubuhnya tak kalah seksi dari para pria yang sekarang ini sedang berselancar. Kenapa Aksa peduli? Apa dia tidak senang karena Alina memuji pria lain? Tetapi kenapa?Aksa masih berjalan, sampai tidak sadar kalau Alina tidak ada di sampingnya. Dia menghentikan langkah, lalu menoleh pada Alina berdiri. Aksa tiba-tiba kesal, kenapa Alina sangat suka memandangi tubuh pria. Dia menghampiri istrinya itu lalu
“Kita mau makan apa malam ini?” tanya Alina.Alina merasa aneh, biasanya jam segini sudah memasak dan siap makan malam, tetapi malam ini masih di kamar dan belum menentukan apa yang akan disantap.“Ayo!” ajak Aksa tanpa memberitahu mau mengajak makan apa.Alina ikut saja. Dia berjalan di samping Aksa, lalu mereka sampai di kafe yang dekat dengan resort. Aksa dan Alina mengambil tempat duduk di luar dengan pemandangan laut. Mereka bisa mendengar deburan ombak kecil memecah pantai dari tempat duduk mereka saat ini.Alina menyukai suasana di tempat itu. Dia terus tersenyum sambil memandang ombak yang berlomba bergulung ke pantai, sebelum akhirnya pecah menjadi buih kecil.Tanpa sadar, Aksa terus memandang Alina. Meski di rumah Alina sering tersenyum, tetapi sekarang semakin bertambah dan terkesan berbeda.Alina menoleh pada Aksa setelah puas melihat ombak, lalu dia menyadari jika Aksa ternyata sedang menatapnya.“Kenapa?” tanya Alina merasa aneh.Aksa terlihat tenang, tetapi dalam hatiny
Ada apa lagi dengan Alina? Aksa benar-benar dibuat pusing dengan sikap istrinya itu. Dulu Alina tidak seperti ini, tetapi kenapa sekarang berubah mudah marah? Ke mana hilangnya kesabaran Alina?Aksa mencoba mengingat apakah dia punya salah? Sampai dahinya berkerut lalu ingat dengan dua gadis yang tadi menghampirinya. Dia pun akhirnya sadar dengan maksud ucapan Alina.Aksa mengejar Alina yang sudah keluar dari resort. Dia tidak mungkin membiarkan Alina pergi sendirian di malam hari. Aksa melihat Alina yang berjalan di pantai. Dia langsung mengejar.“Al, berhenti!” perintah Aksa.Aksa melihat Alina masih berjalan, sepertinya panggilannya tidak didengarkan Alina.Aksa memperlebar langkah, sampai akhirnya berhasil mengejar lalu menarik tangan Alina.Alina terkejut sampai tertarik ke belakang dan membentur dada suaminya itu. Dia terdiam saling tatap dengan Aksa, satu tangannya masih digenggam pria itu.Alina mendengar suara detak jantung cukup keras. Milik siapa itu? Alina tiba-tiba panik
Alina bergeming melihat tangan Aksa sangat dekat dengannya. Tatapan matanya tak teralihkan dari wajah pria itu. Detak jantung Alina tiba-tiba berdegup semakin cepat, ada apa ini? Apa Alina gugup?Alina sangat bingung dan panik. Saat Alina hendak memundurkan kepala, tangan Aksa sudah menyentuh ujung bibirnya. Tunggu, kenapa?“Kebiasaan, kalau makan seperti anak kecil. Belepotan.” Aksa bicara sambil mengusap ujung bibir Alina dengan permukaan jempol.Setelah melakukan itu, Aksa kembali memakan es krimnya.Alina sudah menahan napas, tetapi ternyata hanya membersihkan ujung bibirnya. Alina merasa aneh, kenapa dia harus panik? Sedangkan Alina tahu Aksa tidak mungkin tertarik padanya. Kenapa tiba-tiba hati Alina merasa sakit membayangkan itu?Mereka masih duduk di sana cukup lama, bahkan es krim sudah habis tetapi mereka masih diam menatap deburan ombak.Aksa diam merenung. Dia akhirnya tahu kebenarannya dan itu membuat Aksa tiba-tiba merasa bersalah.“Apa kamu pernah memiliki keinginan unt
Aksa berbaring menatap langit-langit kamar. Malam semakin larut, tetapi Aksa masih belum bisa memejamkan mata. Dia menggeser posisi berbaring hingga miring, lalu menatap Alina yang sudah tidur dengan pulas.Sejenak, Aksa terdiam. Tidak tahu kenapa, Aksa tiba-tiba diserang rasa cemas yang berlebihan. Perasaan apa ini? Apa Aksa takut kalau Alina tahu jika dia kaya? Bukan karena Aksa takut Alina menginginkan hartanya, tetapi takut kalau Alina pergi ketika tahu status mereka berbeda.Aksa benar-benar tidak tenang. Dia tidak mengerti, kenapa dirinya sangat gelisah. Aksa akhirnya turun dari ranjang. Dia kemudian keluar dan berdiri di dekat kolam renang, lalu menghubungi Ilham.“Ada apa, Pak? Ini jam berapa? Kenapa Anda menghubungi saya tengah malam begini?” Suara Ilham terdengar parau dari seberang panggilan.“Aku sudah memastikan langsung tentang informasi yang kamu berikan tentang Alina,” kata Aksa tak peduli jika sudah mengganggu jam tidur
Alina mulai membuka mata saat sinar matahari berhasil mengusik lelapnya. Dia melihat jika sudah pagi dan sepertinya dia bangun kesiangan. Saat menggeliat untuk melemaskan tubuh, Alina baru ingat kalau semalam tidur seranjang dengan Aksa, sehingga dia buru-buru menoleh ke sisi ranjang, tetapi ternyata sudah tidak ada Aksa di sana.“Di mana dia?”Alina berpikir kalau Aksa tidur di sofa lalu menoleh ke sofa, tetapi suaminya itu juga tidak ada di sana.“Apa di sudah bangun lebih dulu?” Alina bergumam.Dia turun dari ranjang ingin mencari Aksa, dan ternyata suaminya itu sedang berenang. Saat akan menghampiri, Alina melihat Aksa yang bertelanjang dada sampai membuatnya tertegun sesaat.Ini bukan pertam
“Anda ikutlah kami!”Kaira panik karena kemunculan dua pria itu. Dia memberikan kode dengan mengedipkan mata agar dua pria itu pergi, tetapi sepertinya keduanya memang tidak peka.Ilham merasa aneh karena dua pria itu menatap pada Kaira. Saat Ilham menoleh pada Kaira, wanita itu tampak meringis kesakitan. Ilham malah curiga, kenapa ada yang mau membawa Kaira.“Dia sedang sakit, jika kalian memiliki urusan dengannya, lebih baik datang lagi nanti,” kata Ilham dengan suara tegas.Dua pria itu hendak mendekat untuk membawa paksa Kaira, tetapi karena Kaira terus memberi kode lewat mata bahkan bibirnya seperti mengancam, membuat dua pria itu berhenti.“Aku akan menemui kalian, tapi nanti. Sekarang kaki
Nenek Agni sudah mendapat kabar tentang Aksa dan Alina yang berlibur. Dia sangat senang, bahkan sekarang sedang duduk memandangi foto Aksa dan Alina saat ada di pantai. Jangan tanya kenapa Nenek Agni bisa tahu, tentu saja dari orang-orang kepercayaannya di tempat itu. “Mereka ini memang sangat serasi,” gumam Nenek Agni sambil memandangi foto Aksa dan Alina yang diambil sembunyi-sembunyi. Sasmita melihat mertuanya yang sedang tersenyum-senyum sendiri. Dia mendekat, lalu duduk di singel sofa yang ada di dekat Nenek Agni. “Apa ada kabar baik sampai membuat Mama sangat senang?” tanya Sasmita berbasa-basi. Nenek Agni memandang pada Sasmita, lalu membalas, “Akhirnya Aksa dan Alina berbulan madu. Lihatlah, mereka terlihat sangat cocok,” jawab Nenek Agni sambil memperlihatkan foto Alina dan Aksa. Sasmita tersenyum, tetapi dalam hatinya tidak senang. “Aku sebenarnya masih bingung, apa sebenarnya yang Mama harapkan pada istri Aksa itu?” tanya Sasmita setelah melihat foto Aksa dan A
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser