Alina dan Aksa akhirnya pulang bersama yang lain. Kini mereka berada di mobil yang menjemput mereka dari bandara menuju rumah.“Kita harus memberitahu Arlo soal kehamilanku,” ucap Alina pada Aksa.“Bagaimana cara bicaranya? Aku rasa dia akan sulit memahami,” balas Aksa.Alina mengembuskan napas kasar.“Aku juga bingung, apalagi Arlo seperti masih menginginkan banyak perhatian dariku. Aku memaklumi, apalagi sejak kecil Arlo kurang kasih sayang dariku,” ucap Alina sekarang malah bingung dengan kehamilannya itu.Aksa melihat Alina yang cemas. Dia menggenggam telapak tangan Alina untuk meyakinkan dan menguatkan.“Kita bicara dengannya pelan-pelan, juga kita usahakan agar tidak mengurangi perhatian dan kasih sayang padanya agar dia tidak cemburu,” ucap Aksa.Alina mengangguk mengerti.Mobil mereka akhirnya sampai di rumah. Arlo dan yang lain ternyata sudah menunggu kedatangan mereka.“Mama!” Arlo berlari menghampiri mobil yang baru saja berhenti. Dia tak sabar ingin segera memeluk sang mam
Arlo menatap Aksa dan Alina bergantian. Dia merasakan genggaman tangan kedua orang tuanya yang semakin kuat.“Apa Mama kayak Bibi Kai? Nanti pelutnya besal, telus dapat adik?” tanya Arlo seraya menatap pada Alina.“Iya, seperti itu,” jawab Alina dengan rasa cemas yang menggunung. Tak ada yang lebih membuatnya cemas selain kemarahan dan kekecewaan Arlo.Arlo diam sedang berpikir, lalu bertanya, “Belalti Alo nanti punya adik kecil, telus bisa jadi temannya Alo?”Alina mengangguk-angguk.Arlo melebarkan senyum, lalu berkata, “Alo suka. Belalti nanti Alo punya banyak teman. Ada Anya, adik kecil, telus adik lagi.”Arlo mengabsen berapa banyak temannya nanti dengan jari.Alina dan Aksa saling pandang, apa ini artinya Arlo tidak keberatan jika Alina hamil?“Arlo tidak marah?” tanya Alina memastikan.Arlo menoleh Alina lagi, lalu berkata, “Kenapa Alo malah? Alo senang kalena bakal punya banyak teman.”“Arlo tidak marah kalau nanti Mama lebih fokus pada adik?” tanya Aksa memastikan dulu.Kecem
Alina dan Aksa ke rumah Jia saat sore hari. Arlo juga ikut, bocah kecil itu langsung bermain dengan Anya.“Suamimu bilang kalau kamu sedang hamil, apa itu benar?” tanya Daniel yang juga ada di rumah itu.“Hamil?” Jia terkejut karena tidak tahu.Alina menoleh pada suaminya, lalu memandang pada Daniel dan Jia.“Iya, sudah sepuluh minggu. Aku juga baru tahu saat di Paris dan tadi baru saja dipastikan ke dokter,” ujar Alina menjelaskan.“Wah, ini kabar membahagiakan. Selamat, ya.” Jia turut senang mengetahui kehamilan Alina.“Kali ini jangan kurung kakakku lagi,” ucap Daniel seraya memicingkan mata pada Aksa.“Asal dia tidak berniat kabur, aku tidak akan mengurungnya,” balas Aksa.Alina tertawa mendengar perdebatan dua pria ini. Lalu dia menggenggam erat telapak tangan Aksa.“Maksud kedatangan kami ke sini karena ingin meminta tolong,” ucap Alina.“Tolong apa?” tanya Jia penasaran.“Akhir pekan ini, apa bisa bantu jaga Arlo? Kami sudah bertanya sama Arlo, dia mau ditinggal kalau bersama A
Aksa memeluk Alina dari belakang menggunakan satu tangan. Satu tangan lain digunakan untuk bantal sang istri. Dia mengusap perut Alina yang masih datar. Mereka masih ada di atas ranjang, dengan tubuh polos dan hanya berbalut selimut.“Kamu sudah lapar lagi?” tanya Alina seraya memainkan jemari Aksa.“Kamu lapar?” tanya Aksa balik.Alina mengangguk, lalu menjawab, “tapi mau makan mie.”Aksa langsung mengangkat kepala.“Kamu sedang hamil muda, jangan makan mie instan,” ujar Aksa.Alina akhirnya menggeser posisi berbaring hingga terlentang, menghadap pada Aksa yang setengah berbaring.“Tapi mau makan mie, nanti ditambah telur atau daging. Boleh, kan? Sekali ini saja,” rengek Alina.Aksa menatap Alina yang penuh harap, membuatnya menghela napas kasar.“Baiklah, tapi hanya kali ini. Jangan banyak-banyak,” ucap Aksa mengingatkan. Dia hanya tak mau Alina kurang gizi kalau kebanyakan makan mie.Alina langsung melebarkan senyum seraya mengangguk penuh semangat.Alina dan Aksa akhirnya keluar d
Alina dan Aksa benar-benar menikmati waktu yang mereka miliki. Mereka menghabiskan waktu berdua di apartemen tanpa memikirkan pekerjaan atau masalah rumah.Hari ini, mereka akhirnya pulang. Namun, sebelum itu mereka pergi ke rumah Jia untuk menjemput Arlo.“Mama, Papa.” Arlo berlari meninggalkan Anya saat melihat Alina dan Aksa turun dari mobil.Alina sangat rindu pada putranya itu. Dia langsung memeluk Arlo erat begitu sampai di hadapannya.“Ulusannya sudah selesai?” tanya Arlo.“Sudah,” jawab Alina.“Padahal Alo masih mau main sama Anya,” ucap Arlo dengan mimik wajah sedih.Alina sampai terkesiap, tumben sekali Arlo sekarang tidak mau menempel padanya.“Kalau Arlo mau main, sana main dulu,” kata Aksa.Arlo melebarkan senyum. Dia kembali berlari menghampiri Anya lalu mengajak main lagi.“Ini bagus kalau dia bisa lepas darimu, setidaknya kamu tidak akan kelelahan dan bisa fokus dengan kehamilanmu,” ucap Aksa.Alina mengangguk kecil. Meski hal itu bagus, tetapi tetap saja rasanya aneh
Aksa masih terjaga setelah meminta Alina untuk istirahat lebih dulu. Dia tidak bisa tenang sampai melihat Nenek Agni bangun. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Aksa melihat Nenek Agni mulai membuka mata.“Nek.” Aksa berdiri dari duduknya, lalu menunggu Nenek Agni membuka mata dengan sempurna.“Kamu di sini,” ucap Nenek Agni dengan suara lemah.Aksa menggenggam tangan Nenek Agni agar merasakan keberadaannya karena kelopak mata wanita tua itu belum terbuka sempurna.“Iya, aku di sini.”Nenek Agni mengembuskan napas panjang. Dia mencoba menatap pada Aksa, sampai akhirnya melihat wajah sang cucu.“Bagaimana bisa Nenek jatuh?” tanya Aksa mencoba mengajak bicara agar sang nenek bisa sadar sepenuhnya.Aksa melihat Nenek Agni meringis kesakitan saat akan bergerak, membuat Aksa mencegah agar Nenek Agni tidak menggerakkan tubuh lebih dulu.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Aksa.Nenek Agni menggeleng. Wanita tua itu akhirnya hanya terlentang karena punggungnya sakit.“Nenekmu ini sudah sanga
Siang itu Mirza dan Sasmita datang ke kamar inap Nenek Agni setelah menemui dokter. Mereka berkumpul untuk membahas soal kondisi Nenek Agni.“Kami sudah berkonsultasi dengan dokter fisioterapi untuk pemulihan kondisi Mama agar lekas sembuh mengingat ada pergeseran tulang di punggung,” ujar Mirza.“Mama harus sembuh dan sehat seperti sedia kala,” timpal Sasmita.Nenek Agni menatap bergantian pada Aksa dan yang lain, lalu membalas, “Tentu saja aku harus sembuh. Aku masih mau melihat cicit keduaku.”Mirza dan Sasmita terkesiap, mereka secara spontan langsung menatap pada Alina.Alina tersenyum kecil, lalu berkata, “Aku sedang hamil, Ma, Pa.”Sasmita langsung menghampiri Alina, bahkan memeluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia.“Selamat, ya. Mama sangat senang mendengarnya,” ucap Sasmita seraya mengusap punggung Alina.“Terima kasih, Ma. Doakan aku sehat sampai melahirkan,” balas Alina.“Tentu, tentu saja.” Sasmita melepas pelukan, senyum kabahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajahnya
Beberapa minggu waktu berjalan dengan cepat. Alina berada di studionya sedang mempersiapkan untuk fitting gaun Jia. Alina sudah memiliki studionya sendiri di tengah kota, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan studio juga penjahit untuk membantunya.“Mama.” Arlo datang dan langsung berlari menghampiri Alina.Arlo baru saja pulang sekolah dijemput Jia sekalian.“Daniel belum datang?” tanya Jia.“Belum, dia bilang ada rapat dadakan, jadi mungkin akan terlambat datang,” jawab Alina.Jia mengangguk-angguk paham.“Mau mulai sekarang?” tanya Alina.Jia mengangguk. Dia ikut Alina masuk ke ruang fitting gaun, sedangkan anak-anak bermain di playground yang memang disiapkan di salah satu ruangan di studio itu.“Perutmu sudah kelihatan besar,” kata Jia.Alina melirik ke perutnya, lalu membalas, “Iya, sudah dua puluh minggu juga, kan.”Alina memberikan gaun yang dirancangnya tetapi belum selesai sempurna karena masih butuh pendapat Jia.Jia mengganti bajunya, lalu setelahnya dia berdiri di dep
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.