Alina dan Aksa ke rumah Jia saat sore hari. Arlo juga ikut, bocah kecil itu langsung bermain dengan Anya.“Suamimu bilang kalau kamu sedang hamil, apa itu benar?” tanya Daniel yang juga ada di rumah itu.“Hamil?” Jia terkejut karena tidak tahu.Alina menoleh pada suaminya, lalu memandang pada Daniel dan Jia.“Iya, sudah sepuluh minggu. Aku juga baru tahu saat di Paris dan tadi baru saja dipastikan ke dokter,” ujar Alina menjelaskan.“Wah, ini kabar membahagiakan. Selamat, ya.” Jia turut senang mengetahui kehamilan Alina.“Kali ini jangan kurung kakakku lagi,” ucap Daniel seraya memicingkan mata pada Aksa.“Asal dia tidak berniat kabur, aku tidak akan mengurungnya,” balas Aksa.Alina tertawa mendengar perdebatan dua pria ini. Lalu dia menggenggam erat telapak tangan Aksa.“Maksud kedatangan kami ke sini karena ingin meminta tolong,” ucap Alina.“Tolong apa?” tanya Jia penasaran.“Akhir pekan ini, apa bisa bantu jaga Arlo? Kami sudah bertanya sama Arlo, dia mau ditinggal kalau bersama A
Aksa memeluk Alina dari belakang menggunakan satu tangan. Satu tangan lain digunakan untuk bantal sang istri. Dia mengusap perut Alina yang masih datar. Mereka masih ada di atas ranjang, dengan tubuh polos dan hanya berbalut selimut.“Kamu sudah lapar lagi?” tanya Alina seraya memainkan jemari Aksa.“Kamu lapar?” tanya Aksa balik.Alina mengangguk, lalu menjawab, “tapi mau makan mie.”Aksa langsung mengangkat kepala.“Kamu sedang hamil muda, jangan makan mie instan,” ujar Aksa.Alina akhirnya menggeser posisi berbaring hingga terlentang, menghadap pada Aksa yang setengah berbaring.“Tapi mau makan mie, nanti ditambah telur atau daging. Boleh, kan? Sekali ini saja,” rengek Alina.Aksa menatap Alina yang penuh harap, membuatnya menghela napas kasar.“Baiklah, tapi hanya kali ini. Jangan banyak-banyak,” ucap Aksa mengingatkan. Dia hanya tak mau Alina kurang gizi kalau kebanyakan makan mie.Alina langsung melebarkan senyum seraya mengangguk penuh semangat.Alina dan Aksa akhirnya keluar d
“Mau sampai kapan kita nampung Kak Alina? Aku tuh nggak bebas. Mau apa-apa ngerasa nggak enak, mau beli ini takut diceramahi, mau jalan-jalan takut dinasihati. Lama-lama aku tuh nggak nyaman ada dia di sini. Kakak kamu itu sudah berumur kenapa nggak nikah? Jadi beban saja! Pantas saja Tuhan belum kasih kita momongan, soalnya kita masih ada beban Kak Alina!”“Kenapa kamu ngomong seperti itu? Bukankah dulu sebelum kita nikah, kamu setuju serumah dengan Kak Alina?”Alina berhenti mengulurkan tangan menyentuh gagang pintu saat mendengar suara adik iparnya. Dia mendengar iparnya mempermasalahkan dirinya tinggal di sana lagi. Ini bukanlah yang pertama kali Alina mendengar iparnya berdebat dengan sang adik.“Mau bagaimanapun, Kak Alina itu kakakku, Karin. Dia yang membesarkan dan bertanggung jawab kepadaku sampai aku besar. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, apalagi membiarkannya hidup sendirian di luaran sana.”Alina masih berdiri termangu di depan pintu, mendengarkan sang adik yang
Alina dan Aksa sudah berada di depan kantor urusan agama. Alina memandang bangunan itu, sebelumnya dia mengantar Dani mendaftar pernikahan, tetapi siapa sangka sekarang dia yang akan mendaftarkan pernikahannya dengan pria asing nan dingin yang ada di sampingnya sekarang ini. Alina melirik Aksa sekilas, tetapi buru-buru menatap kantor urusan agama itu lagi karena tak ingin membuat masalah jika Aksa tersinggung akibat tatapannya. Nenek Agni meninggalkan Alina berdua dengan Aksa karena Nenek Agni bilang ada keperluan, sehingga dia dan Aksa harus mengurus surat nikah mereka berdua saja. Alina mendengar suara dehaman dari Aksa, membuatnya menoleh dan melihat pria itu masih berdiri di sampingnya. “Kita jadi masuk?” tanya Alina memastikan karena mereka sudah cukup lama hanya berdiri di sana. Alina tertegun. Aksa menoleh dan menatapnya datar, sejurus kemudian pria itu bertanya, “Apa kamu yakin mau melanjutkan pernikahan ini? Aku yakin kamu juga terpaksa karena didesak nenekku?” Tubuh A
“Apa kamu paham?” tanya Aksa memastikan.“Paham,” balas Alina masih menatap pria itu.Alina kembali diam. Dia tidak tahu harus bagaimana, semua yang terjadi hari ini terlalu mendadak untuknya.“Kamu butuh cincin pernikahan. Ikut denganku!” perintah Aksa kemudian menarik kesadaran Alina. Alina lalu melihat Aksa yang sudah melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman KUA.“Kamu tidak perlu membelikanku cincin, aku akan pergi membelinya sendiri,” ujar Alina, mengejar langkah panjang Aksa.Di hadapan Alina, Aksa tiba-tiba berhenti lalu memutar tubuhnya menghadap Alina.“Pernikahan kita terjadi karena sama-sama membutuhkan. Kamu mau menikahiku saja sudah membuatku tenang. Tidak masalah jika kamu tak membelikanku cincin, aku bisa membelinya sendiri,” ucap Alina menjelaskan, merasa tak perlu menuntut apa pun dari Aksa.Alina tak ingin merepotkan Aksa lagi.Untuk beberapa saat Aksa hanya diam menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa Alina mengerti, apalagi tatapan pria itu kepadanya mam
Tiba-tiba Aksa sudah ada di sampingnya dan menatap Alina dengan tatapan penuh cinta?! “Kamu mengenalnya?” tanya Aksa lagi pada Alina sambil menatap dua wanita di hadapan mereka. Kakak Karin terkejut melihat Aksa. Meski berpenampilan sederhana, tapi Aksa terlihat gagah dan tampan. “Dia ....” Kakak Karin mendadak tergagap saat melihat Aksa. “Aku suami Alina. Kami ke sini untuk membeli cincin pernikahan kami, bukankah begitu, Sayang?” Aksa kembali menoleh pada Alina, remasan di pinggang Alina seolah menunjukkan jika Alina miliknya yang tak bisa diganggu. Alina mengerjap. Dia hampir kehilangan kendali saat ini. Sentuhan Aksa dan panggilan ‘sayang’ dari Aksa membuat jantungnya berdegup. Tepat saat itu pelayan toko juga datang dan meminta Aksa membubuhkan tandatangan pada kartu kreditnya untuk melanjutkan pembayaran. Di saat yang sama, kakak Karin melihat kartu kredit yang dipakai Aksa, senyum miring kembali menghias di salah satu sudut bibir wanita itu. Senyum mengejek karena tahu s
Alina sangat terkejut mendengar ucapan Karin. Selama ini dia hanya mendengar ucapan itu secara tak sengaja ketika Karin berdebat dengan Dani, tetapi sekarang Karin bicara langsung padanya tanpa rasa canggung sama sekali. “Mau Kak Alina hamil duluan atau tidak. Aku tidak peduli, yang terpenting Kak Alina segera pindah saja. Kak Alina tahu, ‘kan? Biaya hidup semakin tinggi, gaji Dani hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari dan keperluanku, adanya Kak Alina di sini hanya menjadi beban saja. Jatahku harus dipangkas karena Dani juga ingin memberi Kak Alina gajinya!” Karin bicara dengan nada ketus, tanpa menunjukkan rasa sopan juga pada Alina Karin berbicara sambil melipat kedua tangan di dada. Alina cukup terkejut mendengar Karin sekarang terang-terangan bicara seperti itu. Sejak awal, Alina merasa Karin bukan wanita yang baik bagi Dani, tetapi dulu dia setuju Dani menikahi Karin karena sang adik sangat mencintai wanita itu. Sekarang firasatnya terbukti, Karin memang tak pernah menyukai
Aksa pergi setelah mengantar Alina ke apartemennya.Saat sudah mengemudi jauh dari apartemen, Aksa menghentikan mobil di bahu jalan di mana ada sebuah mobil mewah sudah terparkir di sana.Aksa keluar dari mobil, lalu berjalan ke mobil mewah itu.Pria berpakaian sopir langsung mengambil alih mobil yang tadi dipakai Aksa untuk membawa mobil itu pergi dari sana.“Siang, Pak.” Seorang pria memakai setelan formal membungkuk menyapa Aksa yang baru saja datang.“Pakaian Anda sudah ada di dalam mobil,” ucap pria itu saat Aksa berdiri di depannya.Aksa tak banyak bicara. Dia langsung masuk mobil yang sudah dibuka oleh sopirnya, lalu mengganti pakaian sederhananya dengan setelan jas mahal yang sudah tersedia di sana.Setelah Aksa selesai berganti pakaian. Asisten pribadi dan sopir masuk mobil, mereka lantas pergi menuju perusahaan.“Bagaimana pernikahan Anda?” tanya asisten Aksa yang ikut di mobil itu.Aksa hanya menatap sang asisten dari kaca spion tengah.Ilham langsung membungkam mulut melih
Aksa memeluk Alina dari belakang menggunakan satu tangan. Satu tangan lain digunakan untuk bantal sang istri. Dia mengusap perut Alina yang masih datar. Mereka masih ada di atas ranjang, dengan tubuh polos dan hanya berbalut selimut.“Kamu sudah lapar lagi?” tanya Alina seraya memainkan jemari Aksa.“Kamu lapar?” tanya Aksa balik.Alina mengangguk, lalu menjawab, “tapi mau makan mie.”Aksa langsung mengangkat kepala.“Kamu sedang hamil muda, jangan makan mie instan,” ujar Aksa.Alina akhirnya menggeser posisi berbaring hingga terlentang, menghadap pada Aksa yang setengah berbaring.“Tapi mau makan mie, nanti ditambah telur atau daging. Boleh, kan? Sekali ini saja,” rengek Alina.Aksa menatap Alina yang penuh harap, membuatnya menghela napas kasar.“Baiklah, tapi hanya kali ini. Jangan banyak-banyak,” ucap Aksa mengingatkan. Dia hanya tak mau Alina kurang gizi kalau kebanyakan makan mie.Alina langsung melebarkan senyum seraya mengangguk penuh semangat.Alina dan Aksa akhirnya keluar d
Alina dan Aksa ke rumah Jia saat sore hari. Arlo juga ikut, bocah kecil itu langsung bermain dengan Anya.“Suamimu bilang kalau kamu sedang hamil, apa itu benar?” tanya Daniel yang juga ada di rumah itu.“Hamil?” Jia terkejut karena tidak tahu.Alina menoleh pada suaminya, lalu memandang pada Daniel dan Jia.“Iya, sudah sepuluh minggu. Aku juga baru tahu saat di Paris dan tadi baru saja dipastikan ke dokter,” ujar Alina menjelaskan.“Wah, ini kabar membahagiakan. Selamat, ya.” Jia turut senang mengetahui kehamilan Alina.“Kali ini jangan kurung kakakku lagi,” ucap Daniel seraya memicingkan mata pada Aksa.“Asal dia tidak berniat kabur, aku tidak akan mengurungnya,” balas Aksa.Alina tertawa mendengar perdebatan dua pria ini. Lalu dia menggenggam erat telapak tangan Aksa.“Maksud kedatangan kami ke sini karena ingin meminta tolong,” ucap Alina.“Tolong apa?” tanya Jia penasaran.“Akhir pekan ini, apa bisa bantu jaga Arlo? Kami sudah bertanya sama Arlo, dia mau ditinggal kalau bersama A
Arlo menatap Aksa dan Alina bergantian. Dia merasakan genggaman tangan kedua orang tuanya yang semakin kuat.“Apa Mama kayak Bibi Kai? Nanti pelutnya besal, telus dapat adik?” tanya Arlo seraya menatap pada Alina.“Iya, seperti itu,” jawab Alina dengan rasa cemas yang menggunung. Tak ada yang lebih membuatnya cemas selain kemarahan dan kekecewaan Arlo.Arlo diam sedang berpikir, lalu bertanya, “Belalti Alo nanti punya adik kecil, telus bisa jadi temannya Alo?”Alina mengangguk-angguk.Arlo melebarkan senyum, lalu berkata, “Alo suka. Belalti nanti Alo punya banyak teman. Ada Anya, adik kecil, telus adik lagi.”Arlo mengabsen berapa banyak temannya nanti dengan jari.Alina dan Aksa saling pandang, apa ini artinya Arlo tidak keberatan jika Alina hamil?“Arlo tidak marah?” tanya Alina memastikan.Arlo menoleh Alina lagi, lalu berkata, “Kenapa Alo malah? Alo senang kalena bakal punya banyak teman.”“Arlo tidak marah kalau nanti Mama lebih fokus pada adik?” tanya Aksa memastikan dulu.Kecem
Alina dan Aksa akhirnya pulang bersama yang lain. Kini mereka berada di mobil yang menjemput mereka dari bandara menuju rumah.“Kita harus memberitahu Arlo soal kehamilanku,” ucap Alina pada Aksa.“Bagaimana cara bicaranya? Aku rasa dia akan sulit memahami,” balas Aksa.Alina mengembuskan napas kasar.“Aku juga bingung, apalagi Arlo seperti masih menginginkan banyak perhatian dariku. Aku memaklumi, apalagi sejak kecil Arlo kurang kasih sayang dariku,” ucap Alina sekarang malah bingung dengan kehamilannya itu.Aksa melihat Alina yang cemas. Dia menggenggam telapak tangan Alina untuk meyakinkan dan menguatkan.“Kita bicara dengannya pelan-pelan, juga kita usahakan agar tidak mengurangi perhatian dan kasih sayang padanya agar dia tidak cemburu,” ucap Aksa.Alina mengangguk mengerti.Mobil mereka akhirnya sampai di rumah. Arlo dan yang lain ternyata sudah menunggu kedatangan mereka.“Mama!” Arlo berlari menghampiri mobil yang baru saja berhenti. Dia tak sabar ingin segera memeluk sang mam
Alina baru saja bangun setelah semalam menghabiskan waktu bersama Aksa. Dia melihat ke kaca jendela kamar hotel dan melihat jika hari sudah pagi.Alina meraih ponsel. Dia mendapatkan pesan dari Daniel.[Kapan kalian pulang? Arlo sudah merajuk, dia merasa kalau papanya sedang merebutmu. Anakmu ini memang unik.]Alina tersenyum membaca pesan Daniel. Adiknya ini pasti kerepotan mengurus Arlo sendirian.[Kalau tidak ada halangan kami akan pulang besok, tiketnya sudah dipesan.]Alina mengirim pesan balasan untuk Daniel, lalu beberapa saat kemudian mendapat pesan dari sang adik yang menunggu mereka pulang.“Kamu tersenyum karena apa, hm?” Alina menoleh saat mendengar suara suaminya. Kini tangan Aksa sudah melingkar di perut Alina.Alina meletakkan ponselnya kembali ke nakas, lalu kembali berbaring seraya memeluk Aksa.“Dani mengirim pesan, katanya Arlo merajuk karena kamu merebutku.]Aksa membuka mata. Dia melihat senyum merekah di wajah Alina.“Aku semakin tak mau pulang,” ucap Aksa sambi
“Siapa pria itu?” Aksa benar-benar murka.Alina mengulum bibir melihat Aksa kesal. Dia mengusap lembut pipi Aksa untuk meredam amarah pria itu.“Pria mana yang mau kamu bunuh, hm ….” Alina bangun dari pelukan Aksa.Aksa menahan tangan Alina yang menjauh darinya.“Kamu mau ke mana?” tanya Aksa.“Kamu bilang mau tahu siapa yang aku membuatmu diduakan, kan? Tunggu!” Alina melepas tangan Aksa yang menahan tangannya. Dia membuka laci, lalu mengambil sesuatu dari sana.Aksa memperhatikan, apa sebenarnya yang Alina sembunyikan? Benarkah istrinya punya selingkuhan.Alina tersenyum lebar, lalu memperlihatkan sesuatu di tangannya.“Ini sainganmu,” ucap Alina dengan senyum merekah di wajah.Aksa memandang testpack yang ada di tangan Alina. Tatapan matanya menunjukkan keterkejutan dan rasa tak percaya.“Al ….” Aksa memandang alat itu dan Alina secara bergantian.Alina tidak tahu apakah Aksa senang atau tidak, dia memandang testpack dengan tanda plus di tengahnya itu, lalu menjelaskan, “Sejak samp
Aksa mengurai pelukan. Dia membalikkan tubuh Alina agar menghadap padanya, lalu dia pandangi sepuasnya.“Ada apa, kamu capek dan mau istirahat dulu?” tanya Alina seraya mengusap dada suaminya. Tatapannya lembut dan penuh kasih sayang pada Aksa.“Ya, aku mau istirahat tapi denganmu,” jawab Aksa.Alina semakin melebarkan senyum.“Ayo!” ajak Alina.Alina menggandeng tangan Aksa untuk mengajaknya ke ranjang.Aksa tak melangkah. Dia menahan gandengan tangan Alina, sampai istrinya itu tertarik ke atasnya.“Aksa,” pekik Alina karena terkejut.Aksa hanya tersenyum. Dia menyentuh dagu Alina agar tatapan mereka bertemu.“Urusi rinduku ini lebih dulu, sebelum beristirahat,” ucap Aksa dengan tatapan penuh arti.Belum juga Alina membalas, Aksa sudah lebih dulu menyambar bibirnya.Alina tak berkutik. Dia akhirnya memejamkan mata seraya meremas sisi kemeja Aksa.Aksa terus melumat bibir Alina hingga kepala mereka bergerak seirama dengan ciuman yang semakin memanas.Alina melepas satu persatu manik k
Tak terasa waktu cepat berlalu. Ini sudah hampir satu tahun sejak semua kejadian menegangkan terjadi dalam kehidupan Alina. Satu tahun setelah dirinya ingat dan kembali ke keluarga kecilnya.[Aku tiba-tiba merindukanmu. Apa kamu sibuk?]Alina membaca ulang pesan yang dikirimkannya pada Aksa sekitar satu jam yang lalu. Namun, pesan itu belum juga dibaca, membuat Alina agak sedih.Alina sedang berada di Paris. Dia menghadiri acara fashion show yang menampilkan hasil karyanya juga. Sekarang Alina berdiri di belakang panggung karena sebentar lagi gilirannya memberikan sambutan setelah busananya diperagakan.Alina berharap bisa membaca pesan dari Aksa agar dirinya lebih bersemangat, tetapi sepertinya suaminya belum sempat membuka ponsel, sehingga Alina harus lebih bersabar.Dua hari ini Alina memang kurang sehat. Namun, dia tidak bisa pulang begitu saja dan meninggalkan acara besar yang selalu menjadi impian setiap desainer.“Nona, setelah ini giliran Anda,” ucap Naya mengingatkan karena A
Keesokan harinya. Aksa dan Alina pergi ke rumah sakit setelah mengantar Arlo ke sekolah. Mereka hendak menjenguk Kaira dan bayinya.“Kalian datang.” Kaira sangat senang melihat Alina.“Tentu saja, bagaimana bisa aku tidak datang.” Alina menghampiri Kaira, lalu memeluk sahabatnya itu.“Apa persalinanmu lancar?” tanya Alina memastikan kondisi sahabatnya itu lebih dulu.“Iya, sangat lancar,” jawab Kaira, “semalam tiba-tiba kontraksi, Ilham langsung membawaku ke sini dan ternyata sudah pembukaan delapan.”Alina menghela napas lega. “Syukurlah, aku senang mendengarnya.”Kaira mengangguk-angguk.Alina melihat bayi Kaira. Sahabatnya itu melahirkan anak perempuan.“Dia sangat cantik sekali.” Alina menggendong bayi menggemaskan itu.“Kamu kapan nambah?” tanya Kaira karena melihat Alina sangat suka melihat bayi.Alina menoleh pada Kaira, tetapi setelahnya melirik Aksa.“Aku masih punya bayi besar yang harus kuberi perhatian, jadi lebih baik jangan berharap punya bayi mungil,” jawab Alina.Kaira