“Apa ada masalah?” tanya Ilham karena Kaira gelisah.
Kaira terlihat ragu sampai mencengkram erat setir. Dia mencoba tersenyum lalu menggelengkan kepala.
“Tidak-tidak ada,” jawab Kaira, “itu, aku ingin bertemu Alina, bagaimana caranya bertemu dengan dia?” tanya Kaira mengalihkan pembicaraan.
“Oh, tentu. Biar aku yang menyetir,” kata Ilham.
Kaira setuju. Dia menepikan mobil, lalu bertukar posisi dengan Ilham.
Sekarang Ilham yang menyetir menuju rumah Aksa.
“Kalau Aksa adalah pemilik RDJ Group, apa benar kamu hanya pegawai biasa, sedangkan kamu sangat dekat dengannya?” tanya Kaira tiba-tiba penasaran dengan status pekerjaan
“Kai.” Alina sangat senang melihat Kaira datang. Dia bahkan langsung memeluk temannya itu.“Akhirnya, aku bisa melihat orang yang kukenal,” ucap Alina sangat terharu karena di rumah itu dia merasa asing.Kaira memaklumi sikap Alina. Dia mengusap-usap lembut punggung Alina.Mereka pun duduk di sofa. Alina menatap Kaira yang terlihat lesu.“Ada apa, Kai? Kamu mau cerita apa?” tanya Alina.Kaira menatap pada Alina. Dia agak ragu, tetapi kalau bukan Alina, siapa lagi yang bisa dia ajak berkeluh kesah.“Ada apa, Kai? Apa kamu ada masalah? Kayaknya kamu seperti banyak beban?” tanya Alina.Padah
Ilham turun dari mobil karena berpikir jika Dimas ada keperluan dengan Aksa lewat dirinya. Di saat itu, Kaira panik dan segera ikut turun.“Pak Dimas.” Ilham menyapa dengan ramah.Namun, tatapan mata pria itu tidak tertuju pada Ilham, melainkan pada Kaira yang membuat Ilham ikut menoleh pada Kaira.“Aku bisa jelaskan,” kata Kaira saat melihat tatapan dingin dari sang papa.Ilham tentunya bingung, apa maksud ucapan Kaira.“Masuk!” perintah Dimas.“Tunggu, ada apa ini?” tanya Ilham yang bingung.Kaira sudah panik. Dia belum sempat memberitahu Ilham tetapi malah sudah ketahuan papanya.“Aku akan pulang dan jelasin,” ucap Kaira mencoba membujuk Dimas.Dimas hanya menatap datar.Ilham semakin penasaran ada apa sebenarnya ini?“Bawa dia masuk!” perintah Dimas pada dua pria suruhannya.Dua pria itu langsung memaksa Kaira masuk mobil.“Tunggu!” Ilham ingin mencegah, tetapi terhalang tangan Dimas.“Kamu asisten Pak Aksa, kan? Lebih baik tidak usah ikut campur,” kata Dimas.Ilham masih mencerna
Nenek Agni akhirnya sampai di rumah Aksa. Dia turun dibantu asistennya, lalu berjalan di depan meninggalkan Mirza dan Sasmita.Aksa menyambut kedatangan Nenek Agni, tetapi tatapan mata wanita tua itu langsung menelisik ke dalam rumah.“Cari Alina? Dia sibuk di dapur, katanya memasak sedikit makanan untuk Nenek,” kata Aksa tahu siapa yang dicari Nenek Agni.“Anak itu, sudah di sini pun masih mau memasak?” Nenek Agni tidak heran karena sudah mengenal Alina lebih lama.“Begitulah, lebih baik kubiarkan daripada dia merajuk,” balas Aksa.Nenek Agni menatap cucunya itu, lalu bertanya, “Dia marah pada nenek?”“Sepertinya tidak,” balas Aksa.Nenek Agni lega mendengar balasan Aksa. Dia masuk bersama yang lain, lalu menunggu Aksa memanggil Alina.Alina datang bersama Aksa, penampilannya sedikit tidak rapi karena baru saja selesai memasak.“Nek.” Alina langsung menyapa sambil mengembangkan senyum. Dia berusaha bersikap biasa, meski sebelumnya kesal.Alina meraih tangan Nenek Agni, lalu mencium p
Setelah Nenek Agni dan yang lain pulang. Alina pergi ke kamar dan disusul Aksa.“Kamu baik-baik saja?” tanya Aksa.Alina membalikkan badan. Dahinya berkerut karena pertanyaan Aksa.“Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?” Alina bersikap biasa.Aksa menatap Alina. Dia melihat sikap Sasmita tak menyenangkan pada Alina setelah tadi bicara dengannya. Tanpa kata, Aksa tiba-tiba memeluk Alina, membuat istrinya itu terkejut.Bola mata Alina membulat sempurna. Kenapa Aksa tiba-tiba memeluknya? Mungkinkah Aksa mencemaskannya?“Bagaimanapun sikap Mama dan apa yang dikatakannya, jangan pernah dimasukkan ke dalam hati.”
“Tidak usah berlebihan dan mendramatisir!” Aksa tak habis pikir dengan Ilham yang dianggapnya lebay.“Kamu pria, seharusnya kamu bisa lebih tegas,” imbuh Aksa lagi.Ilham hanya diam.“Sudah, tidak usah terlalu berpikir jauh. Jalani saja. Kalau memang jodoh dan cinta, nantinya juga bersama,” ujar Aksa menasihati. Dia tidak ingin Ilham larut dalam kesedihan lalu mengganggu pekerjaan.Ilham tetap tidak bersemangat karena masih kecewa sebab Kaira tidak jujur sejak awal.“Jika memang kamu sudah memutuskan yang terbaik, ajak bicara Kaira secara baik-baik,” ucap Aksa memberi nasihat.Ilham hanya mengangguk.
Aksa menatap datar ke luar lobby, sedangkan Ilham tak menyangka akan ada kegaduhan seperti ini. “Maaf, Pak. Saya sudah melarang mereka, tapi mereka kekeh bertahan di sini,” ucap satpam yang berjaga di lobby. Aksa tak membalas. Dia memilih berjalan keluar hingga para wartawan yang sudah menunggunya langsung menyodorkan mic ke arah Aksa. “Kami dengar Anda memiliki hubungan dengan Karissa, model cantik yang sedang naik daun. Apa itu benar?” “Apa Anda bisa memberi sedikit klarifikasi atas berita ini?” Ilham mencoba menghalangi para wartawan agar tidak mendekat. Dia dibantu satpam mengamankan Aksa, tetapi tiba-tiba Aksa berhenti sebelum mencapai mobil. “Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya.” Aksa bicara dengan nada tegas dan ekspresi wajah datar. “Saya dengar, Anda dan Karissa dekat sejak masih sekolah, apa Anda tidak ada berniat menjadikannya istri? Kalian sangat cocok,” celetuk salah satu wartawan. “Wah, benar sekali,” timpal yang lain. “Kami tidak memiliki hubu
Ilham baru saja sampai di apartemen. Dia keluar dari lift yang baru saja terbuka di lantai unitnya berada dan terkejut ketika melihat Kaira yang sudah menunggunya di depan pintu. Ilham tidak mungkin menghindar.“Kenapa kamu mengabaikan semua pesan dan panggilanku?” tanya Kaira langsung menatap pada Ilham yang baru saja datang.Ilham menatap datar. Dia tidak menjawab pertanyaan Kaira dan memilih melangkah menuju pintu unitnya.“Aku ingin menjelaskan padamu,” kata Kaira saat Ilham sama sekali tak menatapnya.Ilham masih tidak merespon apa yang dikatakan Kaira. Saat dia hendak membuka pintu, Kaira mencekal tangannya.“Aku minta maaf,” ucap Kaira sambil menatap begitu dalam pada Ilham.Ilham akhirnya menatap pada Kaira, tetapi masih tidak merespon.“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” ucap Ilham datar. Bahkan dia melepas tangan Kaira yang memegang tangannya.Ilham mau masuk, tetapi Kaira kembali menghalanginya.“Kamu marah karena aku bohong? Aku ingin jujur, tapi keduluan ada Papa. Aku juga
Aksa baru saja dari ruang kerjanya setelah mengecek beberapa berkas. Saat masuk kamar, dia melihat Alina yang duduk melamun, bahkan sampai tidak sadar kalau Aksa masuk kamar.Aksa menghampiri Alina, lalu memeluk dari belakang sampai membuat Alina terkejut.“Kenapa kamu tidak tidur? Sedang memikirkan apa?” tanya Aksa.Alina melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya lalu menggeser posisi hingga bisa saling berhadapan dengan Aksa.“Kenapa wajahmu tegang?” tanya Aksa.“Aku sepertinya tidak yakin dengan konferensi pers yang kamu rencanakan,” kata Alina.Aksa tidak membalas. Dia menatap pada Alina yang memandangnya. Alih-alih membalas perka
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser