Alina di butik sedang melayani pembeli yang memilih pakaian. Dia menunggu dengan sabar, lalu beberapa saat kemudian melihat ada wanita berpenampilan mewah tetapi tampak berlebihan masuk butiknya.
“Selamat datang,” sapa Alina menyambut wanita itu.
Wanita itu memandang Alina, lalu tiba-tiba saja menampar pipi Alina dengan sangat keras.
Alina sangat terkejut terkena tampar. Dia menyentuh pipi lalu menatap pada wanita yang baru saja datang itu.
“Maaf, ada apa ini, ya?” tanya Alina tetap sopan meski dirinya ditampar.
“Jangan bersikap sok baik, ya! Kamu juga jangan macam-macam! Berani-beraninya kamu jadi selingkuhan suamiku! Dasar wanita murahan!” amuk wanita itu begitu murka.
Aksa masih diam di depan pintu kamar. Dia memilih tak masuk karena ingin memberikan ruang untuk Alina agar bisa menangis sepuasnya.Aksa memilih kembali keluar dan menghubungi Bams.“Apa yang tadi terjadi?” tanya Aksa karena baru kali ini Alina menangis.Sebelumnya Alina tidak menangis atau sedih saat dianiaya Marsha, tetapi kenapa sekarang sampai menangis seperti ini?Bams menceritakan semuanya. Dia juga sudah mengecek rekaman Cctv di dalam butik, sehingga bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Alina.Aksa diam dengan tatapan dingin.“Selidiki siapa wanita itu lalu laporkan ke polisi karena sudah melakukan penganiayaan!” perintah Aksa.
Aksa mengemudikan mobil memasuki halaman rumah mewah keluarganya. Dia mendapat panggilan dari Sasmita yang memintanya datang ke rumah, membuat Aksa meninggalkan Alina dan pulang ke rumah keluarganya itu.Saat baru saja masuk rumah. Aksa sudah disambut wajah masam dari sang mama.“Apa maksudnya ini, hah?” tanya Sasmita sambil menunjukkan sebuah video yang ada di ponselnya.Aksa tidak tahu kenapa Sasmita terlihat marah. Dia mengambil ponsel sang mama, lalu melihat video yang dimaksut.Aksa terlihat tenang saat menonton video di salah satu akun sosial media, tetapi dalam hatinya mengumpat karena ada yang berani menyebar video saat Alina dicaci-maki dan dianiaya oleh wanita.“Bagaimana bisa istrimu itu selingkuh? Apa dia tidak tahan punya suami miskin, karena itu dia selingkuh sampai ketahuan dan dilabrak sama istri sah? Ini sangat memalukan!” amuk Sasmita tidak terima.“Mama tidak habis pikir, bagaimana bisa kamu punya istri seperti itu? Dan bagaimana bisa kamu menerima istri yang tidak
Aksa menyadari kalau kali ini dia tidak akan bisa mengelak dari pertanyaan Nenek Agni apalagi bukti sudah terpampang di depan mata.Aksa memandang pada Nenek Agni yang sudah menanti jawaban darinya.“Ya,” jawab Aksa singkat.Nenek Agni terkejut dan langsung kesal.“Bagaimana bisa kamu melakukan ini? Apa susahnya menerima Alina? Alina kurang apa? Meski tidak setara dengan kita, tapi Alina itu baik.” Nenek Agni bicara sambil menahan nada bicaranya agar tidak meledak dan didengar Alina.Nenek Agni benar-benar geram karena merasa jika Aksa hanya mempermainkan kepercayaannya dan Alina.“Jika kamu mencari yang sempurna, kamu tidak akan pernah mendapatkan itu karena tidak ada orang yang sempurna. Apa baik saja tidak cukup? Bukankah yang terpenting kebaikan hatinya? Kalau mencari yang kaya juga banyak dan gampang tapi kita sudah punya harta, lalu kamu mencari apa dari Alina sampai belum bisa menerimanya?” Nenek Agni benar-benar kecewa sampai membuang muka.Kini Nenek Agni tahu alasan Aksa tid
“Nenek bisa tidur denganku di kamar, biar Aksa tidur di depan televisi,” ucap Alina sambil tersenyum canggung karena panik. “Lebih baik seperti itu,” balas Aksa membenarkan ucapan Alina, “Nenek bisa masuk angin kalau tidur di luar,” imbuh Aksa agar Nenek Agni tidak kekeh ingin tidur di luar. Nenek Agni langsung menatap tajam pada Aksa. Baru saja tadi membahas soal alasan Aksa tidak mau tidur bersama Alina, lalu sekarang beraninya membantah. Tatapan Nenek Agni pada Aksa seperti meluncurkan kalimat ‘kamu mau membantah nenek lagi?’. Alina sudah sangat cemas. Dia melirik Aksa yang sedang menatap pada Nenek Agni. “Tidak apa-apa nenek tidur di luar. Nenek hanya tidak mau mengganggu kalian saja. Nenek di sini hanya ingin sekali-kali menginap. Pokoknya kamu jangan cemas,” ucap Nenek Agni langsung bersikap manis pada Alina. Alina bingung lalu menatap pada Aksa. Aksa tidak bisa membantah ucapan Nenek Agni, lalu akhirnya mereka menerima saja. Alina dan Aksa tidak ada akhirnya pasrah. Mer
Keesokan harinya. Alina terbangun lebih awal. Dia memandang jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi lalu ke jendela dan terlihat di luar masih gelap. Alina mengalihkan pandangan ke tempat Aksa duduk dan melihat pria itu tertidur dengan posisi duduk dan kedua tangan dilipat di depan dada.Alina duduk di atas ranjang, lalu menatap Aksa yang masih tidur. Ini pertama kalinya dia lihat bagaimana Aksa tidur dan pria itu benar-benar masih terlihat tampan. Alina menggeleng kepala, mencoba menyadarkan dirinya yang sejak semalam tanpa sadar terus memuji ketampanan pria itu. Ada apa dengannya?Alina akhirnya turun dari ranjang. Dia mendekat pada Aksa lalu memandang pria itu lagi. Alina bertanya-tanya, bagaimana bisa Aksa tidur dengan posisi duduk dan tidak jatuh, apa Aksa juga biasa tidur seperti ini? Ya, mungkin saja begitu.“Aksa.” Alina memanggil pelan untuk membangunkan.Alina berpikir agar Aksa tidur di ranjang, meski sebentar pasti akan lebih nyaman daripada tidur dengan posisi sepert
Setelah Nenek Agni pulang, Aksa pergi ke perusahaan seperti biasa. Ilham yang sudah menunggu Aksa, langsung ikut masuk ke ruangan atasannya itu.“Pak, Marsha sudah ditangkap karena menjual data perusahaan,” ucap Ilham melapor.Aksa tersenyum jahat, lalu membalikkan badan dan menatap Ilham.“Bagaimanapun caranya, dia harus dihukum berat,” perintah Aksa.“Anda tenang saja, semua akan berjalan sesuai dengan yang Anda inginkan,” balas Ilham.Aksa mengangguk, lalu beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Aksa melihat nama Bams terpampang di layar.“Bagaimana?” tanya Aksa karena memberi perintah lain pada Bams.“Wanita yang menganiaya istri Anda sudah ditangkap polisi.”“Bagus, pastikan dia tidak bisa bebas!” perintah Aksa lagi.Setelah mendengar jawaban dari Bams, Aksa mengakhiri panggilan lalu menatap pada Ilham. Aksa ingin memberi pelajaran orang yang berani mengganggu istrinya, tetapi dia tidak bisa langsung ke kantor polisi karena statusnya.“Pergilah ke kantor polisi dan pastikan
Alina pulang dalam kondisi bingung, dia tidak merasa melapor, kenapa ada laporan masuk dan memang atas namanya. Dia keluar dari lift sambil menggaruk kepala tidak gatal, saat berjalan menuju unit apartemennya, Alina melihat Aksa sudah pulang.“Kamu sudah pulang? Kenapa pulang sangat awal?” tanya Alina keheranan.Aksa tidak menjawab pertanyaan Alina, dia juga tidak bertanya dari mana Alina.Alina mengedikkan kedua bahu, tidak kaget Aksa tidak menjawab.Alina dan Aksa masuk apartemen bersama, lalu Alina menceritakan yang baru saja dilakukan, tanpa menunggu Aksa bertanya.“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Marsha sejahat itu,” ucap Alina ketika sudah duduk berdua dengan Aksa dan menceritakan masalah penangkapan wanita kemarin juga Marsha.“Aku tidak pernah membalas perbuatannya, bahkan aku berharap dia sadar. Tapi bukannya sadar, dia malah semakin menjadi-jadi. Teganya dia menyuruh orang untuk memfitnahku, masih begitu dia bersekongkol dengan pria yang entah siapa aku tidak tahu, ta
Hari berikutnya. Alina akhirnya mencoba membuka butik lagi setelah kejadian sebelumnya. Dia mencoba optimis meski ada rasa cemas juga. Ya, seperti tebakannya, hari itu butik sangat sepi, bahkan dari pagi sampai siang tidak ada orang yang masuk ke sana sama sekali. Bahkan Alina melihat beberapa orang lewat depan butiknya hanya menoleh lalu seperti berbisik-bisik, hal itu membuat Alina benar-benar merasa tidak nyaman.“Sudah, pintunya jangan dilihatin terus,” kata Kaira yang ada di sana karena mendengar kasus yang menyeret nama Alina.Alina menoleh pada Kaira sambil tersenyum. “Tidak ada.”Alina memilih mengecek laporan penjualannya, lalu melihat Kaira mendekat.“Mungkin orang-orang belum pada gajian, makanya mereka tidak belanja. Lagian pakaian di sini beberapa diantaranya dibuat secara eksklusif, jadi pastilah pembelinya orang spesial dan mungkin itu belum ada. Wajarlah kalau belum ada yang datang,” ucap Kaira dengan nada candaan.Alina tertawa mendengar ucapan Kaira. Dia tahu kalau
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.