“Bagaimana perutmu? Masih nyeri?” tanya Aksa dengan ekspresi cemas.Dani sudah pulang, sekarang Alina kembali berdua di kamar bersama Aksa.“Kamu baru tanya itu beberapa menit lalu,” ujar Alina sampai pusing karena suaminya bertanya akan kondisinya tiap menit.“Aku hanya memastikan. Siapa tahu kamu nyeri lagi jadi kita bisa cepat-cepat mengatasinya,” balas Aksa tidak ingin lengah jika menyangkut kesehatan Alina.“Sudah tidak kram lagi. Aku juga merasa sudah sehat,” jawab Alina sekali lagi. Jawaban sama dengan pertanyaan sebelumnya.“Meski sudah membaik, tetap ingat pesan dokter,” ujar Aksa lagi.“Iya.” Alina bosan dengan sikap posesif Aksa, tetapi sikap itu juga menunjukkan betapa sayang Aksa padanya.**Dani baru saja sampai apartemen. Dia berjalan dari area parkir menuju lobby. Saat akan masuk lobby, tiba-tiba ada yang memanggil namanya, membuat Dani menoleh.“Benar kamu tinggal di sini,” ucap bibi Dani yang tiba-tiba muncul di sana.Dani sangat terkejut. Kenapa bibinya bisa sampai
Aksa membeku sejenak, tetapi setelahnya tersenyum. Dia tidak menyangka jika sang mama datang sepagi ini ke rumah.“Kamu sudah siap mau kerja?” tanya Sasmita.“Iya,” jawab Aksa, “aku ada rapat hari ini, jadi mau tidak mau ke kantor,” ujar Aksa menjelaskan.Sasmita mengangguk-angguk pelan, lalu membalas, “Mama bawa sup iga buat Alina.”Aksa terlihat tenang, tetapi sebenarnya terkejut.“Apa mama boleh masuk?” tanya Sasmita.“Masuklah.” Aksa mempersilakan. Dia membuka lebar pintu.Sasmita masuk. Dia melihat Alina yang duduk di atas ranjang.Alina terkejut. Dia sampai panik karena kedatangan mertuanya.“Kamu belum sarapan, kan? Mama bawakan sup,” kata Sasmita.Alina terkesiap. Dia sampai menatap pada Aksa, lalu pada Sasmita. Kenapa mertuanya tiba-tiba bersikap baik? Sup yang dibawa mertuanya itu tidak diberi racun, kan? Apalagi Sasmita tidak menyukainya.‘Tidak, jangan berpikiran macam-macam, Al.’ Alina berusaha tenang, membuang jauh pikiran buruk yang melintas di kepala.“Alina masih dimi
Sasmita benar-benar menemani Alina seharian. Bahkan Sasmita tidak pergi sama sekali kecuali ke kamar mandi atau ke dapur.Alina merasa canggung, bahkan tidak bisa melakukan apa pun dengan bebas karena takut salah. “Saat kecil, Aksa itu bandel dan susah diatur,” ucap Sasmita sambil mengupas apel untuk Alina.Alina diam mendengarkan. Setelah sejak pagi hanya diam dan duduk, akhirnya Sasmita bicara dengan santai.“Waktu kecil sering sakit, tapi tetap saja keras kepala dan melakukan hal-hal yang kami larang,” ujar Sasmita lagi sambil mengingat masa kecil Aksa.Alina tersenyum menanggapi cerita Sasmita.Sasmita memberikan potongan apel pada Alina, lalu kembali bercerita.“Aksa dulu pembangkang saat remaja, tapi setelah ….” Sasmita menjeda ucapannya, lalu tersenyum getir. Alina menatap penasaran, kenapa Sasmita menjeda ucapannya.“Tapi setelah itu, dia mudah diatur dan mau belajar dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya bisa memegang perusahaan seperti sekarang,” ucap Sasmita kemudian kemb
“Mama sudah pulang?” tanya Aksa saat baru saja masuk kamar. Dia pulang lebih awal karena mencemaskan Alina. “Iya, baru saja. Beberapa menit lalu,” jawab Alina sambil memandang Aksa yang sedang melepas jas dan dasi. Aksa berjalan menghampiri Alina, lalu langsung duduk di tepian ranjang, menatap wajah istrinya. Dia meraih tangan Alina, kemudian menggenggamnya erat. “Mama tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan padamu, kan?” tanya Aksa cemas. Dia harus bertanya karena yakin Alina tidak akan mau cerita jika kecemasannya terbukti. “Tidak, Mama tidak melakukan itu,” jawab Alina langsung menyanggah, takut Aksa salah paham. “Kamu yakin?” tanya Aksa memastikan. Alina tersenyum manis sambil mengangguk, lalu menjelaskan, “Entah tidak tahu kenapa, tapi Mama sudah berubah. Dia sangat baik padaku.” “Benarkah?” tanya Aksa dengan alis berkerut, masih tidak percaya jika Sasmita tiba-tiba baik pada Alina. “Iya, kamu tidak percaya padaku?” Alina menatap Aksa yang ragu. “Tidak seperti itu juga,
Hari pernikahan Ilham dan Kaira tiba. Alina baru saja selesai berdandan dan siap pergi ke KUA untuk menemani Kaira.“Apa kram lagi?” tanya Aksa saat Alina baru saja keluar dari ruang ganti.“Tidak,” jawab Alina, “aku sudah baik-baik saja, Aksa.” Alina tahu suaminya cemas, tetapi Aksa memang agak berlebihan.“Tapi kamu tadi muntah,” ujar Aksa ragu.“Iya, tapi bukan berarti mual juga. Aku benar-benar sudah baik-baik saja, kamu jangan cemas,” balas Alina.Aksa menghela napas pelan. Dia mengangguk dan mencoba percaya.Mereka pergi ke KUA. Ternyata di sana Kaira sudah menunggu bersama Ilham.“Saya pikir Anda tidak datang, Pak.” “Kamu terlalu mencemaskan hal tak pasti,” balas Aksa datar.“Anda juga terkadang begitu,” balas Ilham tanpa dosa, tetapi setelahnya segera melipat bibir sebelum terkena sembur.“Sudah, kalian ini masih sempatnya berdebat. Sudah waktunya belum? Jangan sampai dibatalkan karena kalian tidak masuk-masuk ruangan,” ujar Alina.“Ih … ya jangan batal, sudah siap begini mas
Tak terasa usia kandungan Alina sudah menginjak 16 Minggu. Hari ini dia pergi ke rumah sakit bersama Bams karena Aksa ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan.Alina melihat beberapa orang memperhatikan Bams yang berdiri di belakangnya, padahal banyak kursi yang kosong di sana. Hal itu membuat Alina kurang nyaman.“Bams.” Alina menoleh ke belakang.“Anda butuh sesuatu?” tanya Bams sedikit membungkuk pada Alina.“Kamu bisa tunggu di luar saja, kalau nanti aku sudah selesai periksa, aku akan menghubungimu,” ujar Alina.“Tapi ….” Bams ragu tetapi Alina langsung menjelaskan.“Tidak apa-apa, habis ini aku juga masuk ruangan,” kata Alina lalu melirik ke sekitar.Bams sepertinya paham kenapa Alina tidak mau dia terus menemani. Akhirnya Bams menuruti perintah Alina.Bams pamit keluar, saat itu Alina juga dipanggil masuk ruang pemeriksaan. Sebenarnya Alina ingin menunggu Aksa, tetapi karena tidak mungkin Aksa tepat waktu, membuat Alina akhirnya periksa sendiri.“Bu Alina, silakan duduk,” ucap do
Aksa baru saja pulang. Dia langsung mencari Alina karena seharian ini tidak sempat menghubungi Alina karena sangat sibuk.“Kamu sudah pulang.” Senyum lebar terpampang di wajah Alina saat melihat suaminya.Aksa melepas jas lalu menghampiri Alina yang juga sedang berjalan ke arahnya.“Maaf tadi tidak bisa menemani,” ucap Aksa lantas mendaratkan kecupan di kening Alina.Alina memulas senyum mendapat perlakuan manis dari Aksa, lalu membalas, “Tidak apa-apa. Lagi pula juga periksa bukan karena sakit.”Bagaimanapun, Alina mencoba memahami posisi Aksa di perusahaan. Sekarang suaminya lebih sibuk, bahkan sering lembur di rumah.Aksa mengajak Alina duduk di sofa. Dia memeluk dari belakang sambil meraba perut istrinya yang sudah agak keras dan mulai terasa menyembul besar.“Bagaimana kondisinya dan kondisimu?” tanya Aksa.“Aku baik, sudah tidak ada keluhan, tekanan darah normal. Bayi kita juga bagus, kata dokter plasentanya sudah menempel sempurna, jadi minim mengalami kram apalagi sampai kegug
“Bams, jalan saja. Mungkin wanita itu ada perlu dengan security atau pelayan rumah,” perintah Sasmita.Bams mengangguk, dia melirik Alina dari spion tengah, melihat bayangan majikannya dari pantulan cermin yang terlihat pucat.Alina melirik Sasmita yang tampak tenang. Dia lega karena Sasmita tidak curiga. Bukan maksud tak mau mengakui bibinya, tetapi dia tak ingin ada masalah lagi karena sikap bibinya yang serakah.Sasmita berusaha tenang. Dia melakukan itu agar tidak bertemu bibi Alina yang bisa saja membongkar masa lalu.Di depan pagar. Bibi Alina masih memaksa agar bisa bertemu Alina.“Ayolah, Pak. Katakan saja padanya kalau bibinya mau ketemu,” ucap wanita itu memaksa.“Maaf, sesuai dengan perintah Tuan, tidak ada yang boleh bertemu Nona sebelum membuat janji,” balas security tetap tidak mengizinkan.Bibi Alina mau menjelaskan, tetapi terdengar suara klakson yang membuatnya dan security memandang ke arah mobil yang baru datang.“Agak minggir, jangan halangi jalan,” kata security i
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.