Bantu tinggalkan komentar kalian di tiap bab, ya. mamaci :)
Karissa menatap seorang pria berjas menahan tangannya, lalu pria itu melepasnya sedikit kasar.Mira dan Naya memperhatikan pria itu, mereka kenal.“Sebaiknya kamu tidak berbuat kekerasan,” ucap pria itu dengan suara tegas.Saat itu, Adelia datang dan terkejut melihat Karissa membuat keributan lagi.“Bukankah sudah kubilang agar kamu kembali ke hotel? Kenapa kamu membuat keributan lagi, huh?” Adelia sangat geram. Karissa semakin lama, semakin susah diatur.Mira menatap datar pada Karissa yang menatapnya penuh amarah. Dia benar-benar bingung dengan yang dilakukan model itu.“Saya minta maaf, Miss Mira.” Adelia masih harus bertanggung jawab atas kesalahan Karissa.“Sepertinya acaraku selanjutnya tidak akan mengambil model dari agensi kalian, sebab model kalian memiliki attitude yang sangat buruk,” ujar Mira dengan tegas.Adelia sangat terkejut. Dia murka, sampai mencengkram lengan Karissa dengan kuat.“Kami minta maaf.” Adelia benar-benar malu dan merasa dirugikan karena kelakuan Karissa
Arlo masih marah pada Aksa, bahkan tidak mau makan dan hanya makan es krim yang dipesan papanya. Aksa menatap Arlo yang memasang wajah memberengut dan tidak mau turun dari ranjang. Dia mendekat, lalu ikut duduk di ranjang sambil menatap pada Arlo.“Papa minta maaf kalau tadi salah bicara,” ucap Aksa membujuk, “apa Arlo tidak mau ikut ke pesta? Nanti pulangnya bisa lihat patung singa ngeluarin air?”Arlo akhirnya menoleh pada Aksa. Dia tidak mau bicara, tetapi hanya mengangguk kecil.Aksa langsung tersenyum. Dia mengulurkan tangan untuk mengajak Arlo berganti pakaian.Aksa dan yang lain pergi ke acara pesta para pebisnis dari mancanegara. Rata-rata para pebisnis itu semuanya rekan dan klien bisnis baru Aksa.Restoran bintang lima itu penuh dengan para pebisnis yang menghadiri pertemuan itu. Aksa terus menggandeng Arlo agar tidak lepas dan hilang seperti siang tadi.“Anda hanya datang dengan anak, di mana istri Anda?” tanya salah satu pengusaha.Bibir Aksa tersenyum tipis. Dia menjawab
Aksa masih bergeming dengan tatapan tak teralihkan. Dia tahu wanita itu sangat mirip, tetapi Aksa menyadari jika istrinya sudah meninggal dan dia menyaksikan sendiri jenazahnya sebelum dikebumikan.Meski di dunia ini terkadang ada orang yang memiliki kemiripan dengan orang lain, tetapi bukankah seharusnya ada yang membedakan? Wanita itu, kenapa begitu mirip dengan mendiang istrinya?Aksa memejamkan mata sejenak. Dia merasa jantungnya berdegup dengan cepat sehingga Aksa berusaha untuk menetralkannya.Meski dia mengakui wanita itu sangat mirip, tetapi dia mencoba menepis hal itu dari pikirannya. Istrinya sudah meninggal tiga tahun lalu dan Aksa tidak boleh menganggap orang lain sebagai istrinya meski semirip apa pun wanita itu.Aksa tidak mau gegabah mencari ta
Aksa dan Mira saling pandang. Aksa melihat tatapan penuh amarah dari mata wanita di depannya saat ini. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa dia sangat ingin memastikan apakah wanita di depannya adalah Alina atau bukan, padahal sudah jelas tahu faktanya. Aksa nekat ingin melihat tahi lalat di belakang leher wanita itu, hingga berakhir mendapat tamparan yang keras. Mira masih mengatur emosinya yang meluap, tidak cukupkah kesialannya tadi siang sampai harus berlanjut malam dengan bertemu pria mesum di depannya ini? Tidak ingin semakin kesal, Mira memilih meninggalkan pria itu begitu saja. Dia urung pergi ke toilet dan sudah tidak mood melanjutkan pesta. Aksa hanya diam, memandang pada wanita yang kini berjalan menjauh darinya. Dia memegang dada, kenapa rasanya aneh? Jantungnya tidak bisa berhenti berdegup dengan cepat, rasanya seperti mau meledak karena memompa terlalu keras. Sial, apa ini? Mira kembali ke ruang pesta dengan wajah kesal. Dia menghampiri Raffan yang sedang bicara dengan
Mira langsung pergi ke kamarnya setelah menghindari Raffan yang berani-beraninya ingin mengambil kesempatan darinya. Dia tidak menyangka kalau Raffan akan memiliki pikiran seperti itu padanya, sehingga membuat Mira harus waspada. Saat mau masuk kamar, Mira menghubungi Naya. “Anda masih di tempat pesta?” tanya Naya dari seberang panggilan. “Aku baru sampai kamar,” jawab Mira sambil membuka pintu. “Anda mau saya ke sana?” “Tidak usah, aku hanya mau memberitahumu. Besok jika ada ajakan dari Raffan, tolong tolak. Beri alasan jadwalku penuh atau yang lainnya, yang jelas aku tidak mau lagi berhubungan dengan pria itu.” Mira bicara sambil melepas highheels-nya. “Ada apa, Nona? Apa terjadi sesuatu?” Suara Naya terdengar cemas, membuat Mira menjawab, “Bukan masalah besar, yang terpenting lakukan saja permintaanku itu.” Setelah mendengar jawaban dari Naya, Mira mengakhiri panggilan. Mira menghembuskan napas kasar. Dia benar-benar kesal dan merasa sial hari ini. “Bagaimana bisa aku men
Aksa duduk diam sambil mengingat nama yang tadi disebutkan wanita tadi. Aksa tidak mengerti, kenapa dia tidak bisa mengabaikan, rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu.“Elmira, bisa sangat kebetulan sama dengan nama Alina. Alina Deana Elmira.”Aksa mengingat-ingat nama lengkap sang istri. Dia menyadari, wajar jika nama sama, tetapi yang membuatnya merasa aneh dan terganggu, kenapa wajahnya juga harus sama?Aksa penasaran, lalu akhirnya mencoba mencari informasi tentang nama Elmira. Dia mendapatkan beberapa hasil untuk pencarian nama itu, hingga menemukan satu yang cocok dengan yang dia cari.Aksa membaca informasi yang terdapat di sana. Tidak ada yang penting selain informasi jika Elmira adalah seorang desainer. Bahkan tidak ada foto, informasi nama lengkap, atau yang lainnya. “Misterius,” gumam Aksa.**Saat siang hari. Kondisi Mira sudah membaik dan sekarang sedang turun ke lantai bawah untuk makan siang di restoran.“Raffan tidak menghubungimu untuk membuat
Akhirnya Aksa membiarkan Arlo bersama Mira. Setelah makan siang, Mira mengajak Arlo bermain di taman samping hotel.Arlo berlarian di sekitar taman, sedangkan Mira dan Naya duduk di bangku yang terdapat di sana.Naya memperhatikan Arlo yang sedang bermain, lalu dia menatap pada Mira.“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Mira dengan dahi berkerut halus.“Kalau dilihat-lihat, kok bisa ya, matanya Arlo sama seperti mata Anda, bulat kecil dan bola matanya berwarna coklat muda,” ujar Naya masih memperhatikan Mira.Mira terkejut sampai mengalihkan pandangan dari Naya, lalu dia berkata, “Bisa saja hanya kebetulan. Yang punya mata coklat bukan hanya aku saja.”“Ah, iya juga. Memang kebetulan mirip, tapi ya seperti kebetulan saja,” balas Naya karena Arlo sendiri terus memanggil Mira dengan sebutan mama.“Anda tidak punya saudara kembar ‘kan, Nona? Siapa tahu Anda terpisah dari saudara Anda, lalu saudara Anda itu jadi ibunya Arlo, makanya Arlo menganggap Anda ibunya,” ujar Naya asal m
Mira sangat terkejut hingga berteriak sangat kencang. Dia menutup mulut saat melihat apa yang terjadi.Aksa membalikkan badan dengan cepat. Tepat ketika penjahat itu menghujamkan belati ke arahnya, Aksa berhasil menghalaunya dengan memegangi bagian metal belati itu karena sudah tidak mampu menghindar, membuat tangannya terluka dan darah segar menetes sampai ke tanah.Aksa menahan belati itu sampai penjahat tidak bisa menariknya. Dengan satu pukulan dia menghantam wajah pria itu sampai kembali tersungkur di rerumputan.Aksa merasakan nyeri di telapak tangan. Dia membuang belati itu setelah melumpuhkan penjahat.Security yang mendengar teriakan Mira sudah berlari menghampiri, mereka langsung meringkus dua pria yang tersungkur di rumput, sedangkan sopir mobil itu langsung kabur begitu security fokus ke dua tersangka lain.“Ya Tuhan!” Mira sangat panik dan syok melihat darah terus mengalir dari telapak tangan Aksa.Mira mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya, lalu melilitkan ke telap
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.