Mira sangat terkejut hingga berteriak sangat kencang. Dia menutup mulut saat melihat apa yang terjadi.Aksa membalikkan badan dengan cepat. Tepat ketika penjahat itu menghujamkan belati ke arahnya, Aksa berhasil menghalaunya dengan memegangi bagian metal belati itu karena sudah tidak mampu menghindar, membuat tangannya terluka dan darah segar menetes sampai ke tanah.Aksa menahan belati itu sampai penjahat tidak bisa menariknya. Dengan satu pukulan dia menghantam wajah pria itu sampai kembali tersungkur di rerumputan.Aksa merasakan nyeri di telapak tangan. Dia membuang belati itu setelah melumpuhkan penjahat.Security yang mendengar teriakan Mira sudah berlari menghampiri, mereka langsung meringkus dua pria yang tersungkur di rumput, sedangkan sopir mobil itu langsung kabur begitu security fokus ke dua tersangka lain.“Ya Tuhan!” Mira sangat panik dan syok melihat darah terus mengalir dari telapak tangan Aksa.Mira mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya, lalu melilitkan ke telap
Saat sore hari. Perawat datang membawa jatah makan malam untuk Aksa. “Ini makan malamnya dan obat yang harus Anda konsumsi.”“Terima kasih,” ucap Aksa pada perawat.Mira tersenyum pada perawat yang berpamitan keluar dari ruangan, lalu memandang Aksa yang bersiap untuk makan. Mira melihat Aksa yang tampak kesusahan makan dengan tangan kiri, karena tangan kanannya terluka.“Papa nggak bisa makan? Kayak Alo kalau sakit, makannya disuapi,” celoteh Arlo lalu menoleh pada Mira.Mira terkejut melihat tatapan Arlo, saat memandang pada Aksa, dia melihat pria itu menatapnya juga.“Papa bisa makan sendiri,” kata Aksa meski agak kesusahan.Arlo menoleh pada Mira sambil mengedip-ngedipkan mata pada wanita itu seperti memohon agar membantu papanya makan.Mira terhenyak. Apa maksudnya ini?Mira bingung, tetapi karena dia merasa bersalah pada Aksa, akhirnya Mira bangun dan menghampiri Aksa.“Biar aku bantu,” ucap Mira hendak mengambil alih sendok dari tangan Aksa.“Tidak usah,” tolak Aksa.“Papa tid
“Mama halus pulang sama Alo.”Arlo tiba-tiba berguling-guling di lantai sampai membuat Aksa dan Mira terkejut.“Mama halus pulang sama Alo.” Sambil berguling-guling Arlo berharap Mira tidak pergi darinya lagi.Aksa sampai memejamkan mata sejenak. Tidak biasanya Arlo tantrum seperti ini, apalagi sampai berguling-guling di lantai.Mira kebingungan. Dia segera menghampiri Arlo lalu membujuk untuk menenangkan.“Arlo, Arlo tidak boleh nangis begini,” kata Mira.Arlo tetap menangis tak menghiraukan ucapan Mira.Mira mencoba mencari cara agar Arlo tidak terus menangis. Sedangkan Aksa, dia menatap Mira yang kebingungan. Dia juga seperti tidak berniat membantu menenangkan. Entah apa yang diharapkan, mungkinkah dia juga berharap Mira ikut ke kota bersama mereka?Mira masih mencoba membujuk Arlo dengan berkata, “Aku ada urusan di sana, Arlo. Nanti kalau sudah selesai, janji akan pergi ke rumahnya Arlo. Bagaimana?”Arlo berhenti berguling-guling, lalu menatap pada Mira yang menunggu reaksinya.“
Mira berjalan perlahan dan waspada. Dia mengambil payung yang terdapat di dekat pintu, untuk berjaga-jaga karena dia tidak tahu siapa yang ada di dalam apartemennya.Mira berjalan mengendap-endap, hingga langkahnya terhenti saat melihat punggung seorang pria sedang menghadap pada meja makan.“Kukira penjahat mana yang masuk apartemenku.”Mira melihat pria itu berbalik setelah dia bicara, lalu dia melihat senyum manis adik satu-satunya itu.“Untung aku tepat waktu datang dan menyiapkan kejutan. Kamu terkejut aku di sini?” tanya Daniel saat melihat Mira.“Aku sangat terkejut dan terharu.” Mira langsung menghampiri sang adik, lantas memeluk adik kesayangannya itu.“Bagaimana acaramu di luar negeri?” tanya Daniel.“Sangat lancar meski di Singapore ada masalah,” jawab Mira lalu mengembuskan napas kasar.Daniel mengusap-usap lembut punggung sang kakak, lantas dia melepas dan meminta kakaknya duduk.“Aku sengaja memesan makanan dan menyiapkan ini karena kamu pasti capek setelah menempuh perj
Aksa dan Arlo baru saja sampai di kota mereka. Sepanjang perjalanan pulang Arlo tak sesemangat saat berangkat. Dia terus melamun.Aksa melihat perubahan Arlo, tentu saja dia cemas akan hal ini. Namun, Aksa tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih dia tidak bisa memaksa Mira untuk ikut bersama mereka, sedangkan dia bukan siapa-siapa wanita itu.Mobil yang menjemput mereka sudah sampai di rumah. Kaira menunggu di depan teras setelah mendapat kabar kalau Arlo dan yang lain sudah mendarat dengan selamat.“Arlo.” Kaira berjalan cepat menghampiri Arlo yang baru saja keluar dari mobil.Kaira memeluk Arlo, lalu menciumi bocah itu karena rindu.“Bagaimana liburannya? Sudah lihat singanya?” tanya Kaira sambil menatap Arlo.Kaira keheranan, kenapa Arlo tidak bersemangat dan cerewet seperti biasanya. Dia sampai menatap pada Aksa dan Ilham bergantian, meminta penjelasan kenapa Arlo jadi pendiam.“Arlo pasti capek, ajak masuk dulu,” kata Ilham.Kaira langsung menggendong Arlo dan membawanya masuk. Mere
Setelah Daniel pergi. Mira membersihkan diri lalu bersiap untuk istirahat. Dia sudah ada di kamarnya, duduk di kamar sambil memeluk bantal.Mira memikirkan Arlo. Meski dia baru mengenal dan dekat dengan Arlo, tetapi entah kenapa tanpa adanya Arlo di sini, dia merasa seperti ada yang kurang.Mira mengambil ponsel lalu membuka kontak yang tersimpan, tetapi Mira baru sadar kalau dia tidak punya nomor Aksa.“Ah, sial! Kenapa aku bisa lupa?” Mira merasa bodoh sendiri. Bagaimana caranya dia bicara pada Arlo kalau tidak memiliki nomor Aksa?Baru kali ini Mira tidak fokus sampai tidak ingat apa yang seharusnya dilakukan, padahal Mira sudah berjanji akan menemui Arlo lagi.Mira diam sejenak, bingung. Namun, sedetik kemudian dia ingat sesuatu. Mira mendial nomor seseorang.“Ada apa, hm?” Suara seorang pria terdengar dari seberang panggilan.“Paman, Paman sekarang ada perjalanan bisnis di mana?” tanya Mira saat panggilannya dijawab sang paman.Mira mendengar suara sang paman menyebutkan nama kot
Sudah beberapa hari semenjak Arlo pulang dari Singapore. Dia terlihat murung dan sedih, bahkan tak seceria biasanya karena Arlo masih menanti Mira datang.“Mama bohong.” Arlo menangis sambil berteriak sendiri di kamar.Pelayan bingung melihat Arlo begini. Mereka juga tidak tahu harus bagaimana.“Mamanya bohong.” Arlo menangis sambil meletakkan kepala di meja. Dia menangis sampai terisak-isak.“Telepon Tuan, suruh pulang lihat keadaan Tuan kecil,” kata salah satu pelayan.Pelayan satunya setuju. Ketika hendak menghubungi Aksa, ternyata pria itu sudah pulang.“Ada apa?” tanya Aksa saat melihat pelayannya panik.“Itu, Tuan. Tuan kecil menangis dari tadi sambil menyebut mama. Kami bingung harus bagaimana,” jawab pelayan.Aksa terdiam. Dia memandang kamar Arlo lalu berjalan menuju kamar untuk melihat kondisi putranya. Saat sampai di sana, pelayan langsung keluar dari kamar. Aksa menghampiri Arlo yang masih menangis di meja, lalu menggendong putranya dari belakang dan membawanya ke ranjang.
Keesokan harinya. Aksa baru saja bangun dan harus bersiap ke kantor. Dia menatap Arlo yang masih tidur, saat mencium kening Arlo sebelum dia bangun untuk membersihkan diri, Aksa terkejut karena tubuh putranya panas.“Arlo.”Aksa menyentuhkan punggung tangan di kening Arlo. Dia sangat terkejut karena Arlo demam. Aksa segera turun ke lantai bawah, meminta pelayan menyiapkan kompres lalu membawanya naik dan mulai mengompres Arlo.Aksa sangat panik dan cemas. Dia paling tidak bisa melihat Arlo sakit seperti ini. Aksa mengompres kening Arlo agar sedikit lebih baik.Arlo mengerutkan kening, wajahnya sedikit merah karena demam.“Papa.” Arlo mengigau karena sangat panas.“Iya. Papa di sini,” ucap Aksa lalu mencium punggung tangan kecil Arlo.Arlo masih memejamkan mata. Mungkin karena panas tinggi hingga membuat Arlo lemas.Aksa sampai tidak pergi ke kantor dan mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Dia tidak bisa meninggalkan Arlo dalam kondisi seperti ini, meski dokter sudah datang memeriksa
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.