Begitu mengetahui kalau Arlo sakit, Mira langsung meminta alamat Aksa lalu datang ke sana bersama Naya. Sesampainya di rumah itu, semua orang dari security sampai pelayan yang membuka pintu juga terkejut melihat Mira. Mereka seperti melihat hantu.Mira menoleh pada Naya yang sama herannya dengan dia, lalu berkata, “Kami ke sini untuk melihat kondisi Arlo.”Tepat saat Mira sedang bicara dengan pelayan, Aksa keluar dan melihat Mira.“Kamu sudah datang,” kata Aksa.Pelayan langsung menoleh dengan ekspresi wajah takut dan bingung.Aksa memberi isyarat pada pelayan agar pergi. Dia lantas mendekat ke Mira.“Di mana Arlo?” tanya Mira.Aksa tak menyangka Mira akan langsung datang ke sana. “Dia di kamar,” jawab Aksa sambil menunjuk ke lantai atas, “aku akan membawanya ke sini, duduklah.”Mira mengangguk. Dia dan Naya segera duduk di ruang tamu, menunggu Aksa yang kembali masuk untuk mengajak keluar Arlo.Aksa kembali ke kamar. Dia melihat Kaira yang baru saja mengganti kompres.“Apa wanita ya
“Baringkan di sini saja,” kata Aksa mengajak Mira ke kamar Arlo untuk menidurkan bocah itu.Aksa tidak tega melihat Mira yang sejak tadi memangku Arlo sampai tangannya kesemutan.Mira ingin membaringkan Arlo di ranjang, tetapi ternyata anak itu bangun dan langsung memeluk erat Mira.“Mama jangan pelgi.” Arlo tidak mau turun dari gendongan.Mira terkejut. Dia memeluk Arlo lalu duduk di tepian ranjang sambil memangku bocah itu.“Tidak, aku tidak pergi,” ucap Mira sambil mengusap punggung Arlo.“Mama bohong, kemalin bilang mau datang, tidak datang-datang.” Arlo memeluk erat karena takut ditinggal.Mira memandang pada Aksa, seperti ingin meminta bantuan.Aksa akhirnya mendekat, lalu mencoba menenangkan.“Arlo turun dulu, kasihan Bibi tangannya kesemutan,” ucap Aksa membujuk. Dia tidak memanggil dengan sebutan ‘Mama’ takut Mira salah paham.“Bukan Bibi! Ini mamanya Alo!” protes Arlo kesal.Aksa dan Mira saling tatap, keduanya tidak tahu harus bagaimana.“Iya, mamanya Arlo. Tapi turun dulu,
Naya terkejut melihat Mira jatuh ke lantai. Dia segera membantu Mira berdiri lalu membantu ke ranjang agar bisa beristirahat.Naya juga segera mengambil obat Mira, lalu memberikan sebutir untuk Mira agar kondisinya membaik.“Anda memikirkan apa sampai kambuh, Nona?” tanya Naya sambil menatap cemas pada Mira.Mira baru saja menelan obatnya. Dia mengembuskan napas kasar sambil memejamkan mata.“Entahlah.” Mira menekan kuat kepalanya.“Nona, Anda ingat pesan Pak Restu, kan? Anda tidak boleh memikirkan sesuatu yang berlebih, apalagi jika diminta mengingat sesuatu yang Anda lupakan. Mengingat di mana kunci mobil Anda letakkan saja sudah membuat Anda pusing, apalagi yang lain?” Naya cemas karena tahu betul bagaimana kondisi Mira. Bagaimanapun dia sudah ikut Mira dua tahun terakhir ini.Mira menghembuskan napas kasar, lalu mengangguk.“Anda mau makan apa? Akan saya pesankan dulu,” kata Naya.“Apa saja boleh,” balas Mira.Naya mengangguk. Dia pergi untuk memesan makanan dari layanan restoran
“Arlo, sarapan dulu. Papa setelah ini harus ke kantor. Arlo di rumah dulu bersama Paman Bams karena masih belum sembuh,” kata Aksa yang bicara sambil mengikat dasi.Aksa tidak mendapat balasan dari Arlo, membuat pria itu menoleh dan melihat putranya duduk di sofa sambil bersidekap.“Arlo, kenapa malah diam begitu?” tanya Aksa.Pagi itu, Aksa sengaja meminta pelayan membawa sarapan Arlo ke kamar agar dia bisa mengawasi sambil bersiap-siap ke kantor.“Alo nggak mau makan. Maunya disuapi Mama.” Arlo memasang wajah cemberut. Bibirnya mengerucut panjang.Aksa menghela napas kasar. Dia bingung karena Arlo merajuk lagi padahal dia ada rapat penting. Aksa juga tidak mungkin menghubungi dan meminta Mira datang lalu dianggap merepotkan.Aksa mendekat, lalu duduk di samping Arlo.“Arlo makan, ya. Janji setelah rapatnya selesai, papa akan segera pulang,” ujar Aksa membujuk.“Nggak mau. Alo maunya disuapi Mama.” Arlo kekeh tidak mau mendengar bujukan Aksa, bahkan dia sampai memalingkan muka.Aksa
Bams datang menghampiri Mira dan Naya yang ada di ruang keluarga sedang menemani Arlo menonton kartun.“Pak Aksa baru saja menghubungi, beliau berkata jika pulang sedikit terlambat karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan,” ujar Bams pada Mira.Mira menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah sore, seharusnya dia pulang ke hotel tetapi juga tidak bisa meninggalkan Arlo tanpa Aksa, Mira yakin Arlo tidak akan mau ditinggal.“Sepertinya kita harus menunggu sampai Aksa pulang,” ucap Mira pada Naya, “apa kamu bisa ambilkan baju ganti di hotel?” tanya Mira selanjutnya. Dia tidak mungkin memakai pakaian yang sudah dipakainya seharian sampai malam, kan?Naya mengangguk. Dia lalu berdiri untuk kembali ke hotel.Bams mendengar percakapan Mira dan Naya, lalu berkata, “Apa Anda mau pinjam baju Bu Alina. Pakaian beliau masih disimpan rapi di rumah ini.”Mira terkejut mendengar tawaran Bams. Dia menggeleng.“Jangan, itu tidak akan sopan,” jawab Mira, “biar
“Papa!” Arlo melihat sang papa berdiri termangu di kamarnya, membuat Arlo berteriak memanggil. Dia bahkan melambaikan tangan sambil melebarkan senyum dengan begitu ceria.Mira menoleh dan melihat Aksa yang ternyata sudah pulang.“Kamu sudah pulang, kupikir masih lama,” ucap Mira.Aksa sempat terdiam karena keterkejutannya melihat tahi lalat di leher belakang Mira, tetapi dia mencoba bersikap biasa dengan mengangguk menanggapi ucapan Mira.“Bams tadi bilang kalau kamu mungkin akan terlambat, jadi kupikir untuk mengurus Arlo sebelum kamu pulang,” ucap Mira agak canggung.“Ya, tadi ada beberapa pekerjaan yang memang harus diselesaikan, tapi semua sudah diselesaikan,” balas Aksa.Mira mengangguk-angguk.“Aku minta izin mandiin Arlo, dia berkeringat banyak karena seharian terus main,” ucap Mira begitu sopan.“Iya,” balas Aksa dengan anggukan kecil.“Ayo!” Mira menggandeng Arlo menuju kamar mandi.Arlo berjalan bersama Mira sambil melambaikan tangan pada Aksa.Aksa memandang Arlo yang begit
Mira baru saja selesai memandikan dan memakaikan baju Arlo. Naya di sana membantu Mira mengurus Arlo. “Arlo sudah tampan sekarang,” ucap Mira sambil menyisir rambut Arlo. “Alo tampan kayak Papa, tapi kayak Mama juga,” balas Arlo. Mira hanya tersenyum menanggapi ucapan Arlo. “Karena Papa sudah pulang, jadi aku harus pulang. Besok lagi kita mainnya, ya.” Ekspresi wajah Arlo langsung berubah. “Nggak mau! Mama nggak boleh pulang.” Arlo memeluk lengan Mira, takkan membiarkan Mira pergi dari rumah itu. Mira terkejut. Dia berusaha untuk membujuk. “Arlo, nggak boleh gitu, ya. Aku harus pulang, kan barang-barangnya ada di hotel, jadi harus pulang ke hotel,” ujar Mira. “Kalau begitu balang-balangnya dibawa ke sini!” Arlo tetap memeluk lengan Mira, takkan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Mira sampai menatap pada Naya dengan ekspresi bingung. “Mama nggak boleh pelgi!” Arlo melepas pelukan di tangan Mira, lalu mulai berguling di lantai. Mira dan Naya terkejut, apalagi Arlo terus
“Ini sudah malam. Aku balik ke kamar dulu, takutnya Arlo bangun dan mencari,” ucap Mira lalu berdiri dari posisi duduknya.Aksa mengangguk. Saat Mira akan melangkah pergi, Aksa memanggil.“Mira.”Mira menoleh dengan senyum manis di wajahnya.“Ya.”“Terima kasih karena mau menjaga Arlo dan menjaga perasaannya.”Mira terkejut Aksa sampai berterima kasih. Dia tersenyum sambil mengangguk lalu segera pergi meninggalkan dapur.Aksa masih ada di dapur, sampai beberapa saat kemudian Bams menghampiri dan duduk di kursi yang tadi Mira duduki.“Pak, apa Anda tidak berniat menemui dan bertanya pada Pak Restu soal Mira?” tanya Bams karena penasaran.Aksa hanya menatap tanpa menjawab, lalu Aksa berkata, “Cari informasi pasti ada hubungan apa antara Pak Restu dan Mira sampai Mira memiliki nama belakang Januarta, semisal memang Alina memalsukan kematiannya, tidak mungkin Pak Restu membantu begitu saja, kan? Pasti ada alasan yang masuk akal” ujar Aksa.Bams mengangguk-angguk mengerti.“Juga bantu seli
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.