Aksa duduk diam sambil mengingat nama yang tadi disebutkan wanita tadi. Aksa tidak mengerti, kenapa dia tidak bisa mengabaikan, rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu.“Elmira, bisa sangat kebetulan sama dengan nama Alina. Alina Deana Elmira.”Aksa mengingat-ingat nama lengkap sang istri. Dia menyadari, wajar jika nama sama, tetapi yang membuatnya merasa aneh dan terganggu, kenapa wajahnya juga harus sama?Aksa penasaran, lalu akhirnya mencoba mencari informasi tentang nama Elmira. Dia mendapatkan beberapa hasil untuk pencarian nama itu, hingga menemukan satu yang cocok dengan yang dia cari.Aksa membaca informasi yang terdapat di sana. Tidak ada yang penting selain informasi jika Elmira adalah seorang desainer. Bahkan tidak ada foto, informasi nama lengkap, atau yang lainnya. “Misterius,” gumam Aksa.**Saat siang hari. Kondisi Mira sudah membaik dan sekarang sedang turun ke lantai bawah untuk makan siang di restoran.“Raffan tidak menghubungimu untuk membuat
Akhirnya Aksa membiarkan Arlo bersama Mira. Setelah makan siang, Mira mengajak Arlo bermain di taman samping hotel.Arlo berlarian di sekitar taman, sedangkan Mira dan Naya duduk di bangku yang terdapat di sana.Naya memperhatikan Arlo yang sedang bermain, lalu dia menatap pada Mira.“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Mira dengan dahi berkerut halus.“Kalau dilihat-lihat, kok bisa ya, matanya Arlo sama seperti mata Anda, bulat kecil dan bola matanya berwarna coklat muda,” ujar Naya masih memperhatikan Mira.Mira terkejut sampai mengalihkan pandangan dari Naya, lalu dia berkata, “Bisa saja hanya kebetulan. Yang punya mata coklat bukan hanya aku saja.”“Ah, iya juga. Memang kebetulan mirip, tapi ya seperti kebetulan saja,” balas Naya karena Arlo sendiri terus memanggil Mira dengan sebutan mama.“Anda tidak punya saudara kembar ‘kan, Nona? Siapa tahu Anda terpisah dari saudara Anda, lalu saudara Anda itu jadi ibunya Arlo, makanya Arlo menganggap Anda ibunya,” ujar Naya asal m
Mira sangat terkejut hingga berteriak sangat kencang. Dia menutup mulut saat melihat apa yang terjadi.Aksa membalikkan badan dengan cepat. Tepat ketika penjahat itu menghujamkan belati ke arahnya, Aksa berhasil menghalaunya dengan memegangi bagian metal belati itu karena sudah tidak mampu menghindar, membuat tangannya terluka dan darah segar menetes sampai ke tanah.Aksa menahan belati itu sampai penjahat tidak bisa menariknya. Dengan satu pukulan dia menghantam wajah pria itu sampai kembali tersungkur di rerumputan.Aksa merasakan nyeri di telapak tangan. Dia membuang belati itu setelah melumpuhkan penjahat.Security yang mendengar teriakan Mira sudah berlari menghampiri, mereka langsung meringkus dua pria yang tersungkur di rumput, sedangkan sopir mobil itu langsung kabur begitu security fokus ke dua tersangka lain.“Ya Tuhan!” Mira sangat panik dan syok melihat darah terus mengalir dari telapak tangan Aksa.Mira mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya, lalu melilitkan ke telap
Saat sore hari. Perawat datang membawa jatah makan malam untuk Aksa. “Ini makan malamnya dan obat yang harus Anda konsumsi.”“Terima kasih,” ucap Aksa pada perawat.Mira tersenyum pada perawat yang berpamitan keluar dari ruangan, lalu memandang Aksa yang bersiap untuk makan. Mira melihat Aksa yang tampak kesusahan makan dengan tangan kiri, karena tangan kanannya terluka.“Papa nggak bisa makan? Kayak Alo kalau sakit, makannya disuapi,” celoteh Arlo lalu menoleh pada Mira.Mira terkejut melihat tatapan Arlo, saat memandang pada Aksa, dia melihat pria itu menatapnya juga.“Papa bisa makan sendiri,” kata Aksa meski agak kesusahan.Arlo menoleh pada Mira sambil mengedip-ngedipkan mata pada wanita itu seperti memohon agar membantu papanya makan.Mira terhenyak. Apa maksudnya ini?Mira bingung, tetapi karena dia merasa bersalah pada Aksa, akhirnya Mira bangun dan menghampiri Aksa.“Biar aku bantu,” ucap Mira hendak mengambil alih sendok dari tangan Aksa.“Tidak usah,” tolak Aksa.“Papa tid
“Mama halus pulang sama Alo.”Arlo tiba-tiba berguling-guling di lantai sampai membuat Aksa dan Mira terkejut.“Mama halus pulang sama Alo.” Sambil berguling-guling Arlo berharap Mira tidak pergi darinya lagi.Aksa sampai memejamkan mata sejenak. Tidak biasanya Arlo tantrum seperti ini, apalagi sampai berguling-guling di lantai.Mira kebingungan. Dia segera menghampiri Arlo lalu membujuk untuk menenangkan.“Arlo, Arlo tidak boleh nangis begini,” kata Mira.Arlo tetap menangis tak menghiraukan ucapan Mira.Mira mencoba mencari cara agar Arlo tidak terus menangis. Sedangkan Aksa, dia menatap Mira yang kebingungan. Dia juga seperti tidak berniat membantu menenangkan. Entah apa yang diharapkan, mungkinkah dia juga berharap Mira ikut ke kota bersama mereka?Mira masih mencoba membujuk Arlo dengan berkata, “Aku ada urusan di sana, Arlo. Nanti kalau sudah selesai, janji akan pergi ke rumahnya Arlo. Bagaimana?”Arlo berhenti berguling-guling, lalu menatap pada Mira yang menunggu reaksinya.“
Mira berjalan perlahan dan waspada. Dia mengambil payung yang terdapat di dekat pintu, untuk berjaga-jaga karena dia tidak tahu siapa yang ada di dalam apartemennya.Mira berjalan mengendap-endap, hingga langkahnya terhenti saat melihat punggung seorang pria sedang menghadap pada meja makan.“Kukira penjahat mana yang masuk apartemenku.”Mira melihat pria itu berbalik setelah dia bicara, lalu dia melihat senyum manis adik satu-satunya itu.“Untung aku tepat waktu datang dan menyiapkan kejutan. Kamu terkejut aku di sini?” tanya Daniel saat melihat Mira.“Aku sangat terkejut dan terharu.” Mira langsung menghampiri sang adik, lantas memeluk adik kesayangannya itu.“Bagaimana acaramu di luar negeri?” tanya Daniel.“Sangat lancar meski di Singapore ada masalah,” jawab Mira lalu mengembuskan napas kasar.Daniel mengusap-usap lembut punggung sang kakak, lantas dia melepas dan meminta kakaknya duduk.“Aku sengaja memesan makanan dan menyiapkan ini karena kamu pasti capek setelah menempuh perj
Aksa dan Arlo baru saja sampai di kota mereka. Sepanjang perjalanan pulang Arlo tak sesemangat saat berangkat. Dia terus melamun.Aksa melihat perubahan Arlo, tentu saja dia cemas akan hal ini. Namun, Aksa tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih dia tidak bisa memaksa Mira untuk ikut bersama mereka, sedangkan dia bukan siapa-siapa wanita itu.Mobil yang menjemput mereka sudah sampai di rumah. Kaira menunggu di depan teras setelah mendapat kabar kalau Arlo dan yang lain sudah mendarat dengan selamat.“Arlo.” Kaira berjalan cepat menghampiri Arlo yang baru saja keluar dari mobil.Kaira memeluk Arlo, lalu menciumi bocah itu karena rindu.“Bagaimana liburannya? Sudah lihat singanya?” tanya Kaira sambil menatap Arlo.Kaira keheranan, kenapa Arlo tidak bersemangat dan cerewet seperti biasanya. Dia sampai menatap pada Aksa dan Ilham bergantian, meminta penjelasan kenapa Arlo jadi pendiam.“Arlo pasti capek, ajak masuk dulu,” kata Ilham.Kaira langsung menggendong Arlo dan membawanya masuk. Mere
Setelah Daniel pergi. Mira membersihkan diri lalu bersiap untuk istirahat. Dia sudah ada di kamarnya, duduk di kamar sambil memeluk bantal.Mira memikirkan Arlo. Meski dia baru mengenal dan dekat dengan Arlo, tetapi entah kenapa tanpa adanya Arlo di sini, dia merasa seperti ada yang kurang.Mira mengambil ponsel lalu membuka kontak yang tersimpan, tetapi Mira baru sadar kalau dia tidak punya nomor Aksa.“Ah, sial! Kenapa aku bisa lupa?” Mira merasa bodoh sendiri. Bagaimana caranya dia bicara pada Arlo kalau tidak memiliki nomor Aksa?Baru kali ini Mira tidak fokus sampai tidak ingat apa yang seharusnya dilakukan, padahal Mira sudah berjanji akan menemui Arlo lagi.Mira diam sejenak, bingung. Namun, sedetik kemudian dia ingat sesuatu. Mira mendial nomor seseorang.“Ada apa, hm?” Suara seorang pria terdengar dari seberang panggilan.“Paman, Paman sekarang ada perjalanan bisnis di mana?” tanya Mira saat panggilannya dijawab sang paman.Mira mendengar suara sang paman menyebutkan nama kot
Aksa baru saja sampai rumah sore itu. Dia keheranan, kenapa rumahnya sangat sepi, biasanya Arlo berlarian ke sana-kemari atau bermain di depan.“Alina sudah pulang?” tanya Aksa pada pelayan.“Sudah, Tuan.”Aksa mengangguk dan tidak bertanya lagi. Dia pergi ke lantai atas untuk mencari sang istri.Ternyata benar jika Alina ada di kamar.“Arlo di mana? Tumben sekali sepi, tidak mungkin dia tidur di sore hari, kan?” tanya Aksa seraya melepas jas dan dasinya.Alina sedang duduk di sofa ketika mendengar suara Aksa. Dia segera berdiri untuk menyambut suaminya itu.“Tadi Papa telepon, bilang katanya mau pergi memancing di laut, jadi mau mengajak Arlo. Berhubung Arlo juga mau ikut, jadi tadi aku antar ke sana setelah selesai mengurus apartemen Dani,” jawab Alina.Aksa langsung menatap penuh arti. Ada rasa senang, bahagia, dan seperti bebas.“Jadi, di rumah ini hanya ada kita berdua?” tanya Aksa dengan senyum yang sulit dideskripsikan.Alina mengerutkan alis.“Ada pelayan, sopir, tukang kebun,
Siang itu Alina membantu Daniel pindah ke apartemen. Alina juga membantu Daniel memilih perabot untuk mengisi apartemen, disesuaikan dengan kebutuhan Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.“Aku tidak perlu banyak barang, ini sudah cukup.” Daniel sampai menggaruk kepala. Padahal bisa saja tinggal pesan dan kirim, tetapi Alina memaksa untuk tetap memilih sendiri.Alina masih mengecek barang-barang yang dibutuhkan Daniel, baru kemudian merasa tenang jika semua sudah terbeli.“Bagaimana dengan pakaianmu?” tanya Alina setelah selesai melakukan pembayaran dan menggunakan jasa toko untuk mengangkut barang yang dibelinya ke apartemen.“Aku minta tolong sopirnya Bibi untuk mengemas dan mengantar ke sini. Jadi tidak usah boros dengan beli pakaian baru,” jawab Daniel.Alina mengangguk-angguk.“Mama, Alo lapal.” Arlo sejak tadi ikut Alina ke sana-kemari, membuat bocah kecil itu sekarang kelelahan.Alina dan Daniel menoleh bersamaan pada Arlo, mereka sibuk sampai lupa kalau bocah kecil itu ikut d
Naya melihat wanita itu seperti gemetar. Apa wanita itu tidak menerima kedatangan mereka, atau ada hal lain sehingga respon wanita itu seperti ini?Bams mendekat pada sang ibu. Dia lalu memeluknya.Dalam sekejap, Naya melihat wanita itu menangis begitu kencang sambil mengusap punggung Bams.“Kamu akhirnya mau pulang. Ibu pikir kamu membenci ibu dan hina jika menemui ibumu ini.”Naya melihat wanita itu meraung. Dia menatap Bams yang memeluk erat tubuh wanita tua itu.“Yang penting aku pulang sekarang.”Bams melepas pelukan. Dia menatap sang ibu yang masih menangis.“Aku hanya tidak mau menjadi masalah buat Ibu. Kalau aku membencimu, untuk apa aku memintamu pindah ke sini?”Wanita itu masih menangis meski Bams sudah menjelaskan.“Aku datang karena ingin mengenalkan Ibu dengan seseorang,” ucap Bams.Wanita itu menghentikan tangisnya. Dia menatap Bams dengan wajah masih penuh air mata.Bams menggeser posisi berdiri, lalu menunjuk pada Naya.Wanita tua itu menatap ke arah Bams menunjuk. Di
“Nona, ini sudah saya buat rincian pesanan desain. Ini juga jadwal undangan Anda untuk acara fashion show tema spring.” Naya memberikan tablet pintar berisi jadwal Alina.“Terima kasih, Nay.” Alina menerima tablet itu, lalu mengecek data di dalamnya.Naya menunggu Alina merespon, lalu atasannya itu memandang ke arahnya.“Kalian jadi pergi hari ini, kan?” tanya Alina.“Jadi, makanya saya berikan dulu rincian ini agar Anda bisa menyiapkan desainnya. Anda tahu ‘kan, Anda terkenal tepat waktu, jadi jangan sampai terhambat sehari dua hari karena saya pergi,” balas Naya.Alina melebarkan senyum.“Iya, kamu memang paling mengerti aku,” ucap Alina, “jika ada apa-apa hubungi aku, ya.” Alina bicara sambil mengusap lengan Naya.Naya tiba-tiba memeluk Alina, membuat wanita itu terkejut.“Terima kasih, Nona. Anda selalu ada untuk saya dan menjadi satu-satunya keluarga untuk saya selama dua tahun ini,” ucap Naya.Alina terkesiap. Dia tersenyum lalu membalas pelukan Naya.“Kalau aku ini keluargamu,
“Dani bilang masih ada urusan di luar, jadi kita tidak perlu menunggunya makan malam,” ujar Alina setelah membaca pesan dari Daniel.Aksa baru saja berganti pakaian. Dia kemudian mendekat pada Alina yang masih duduk di tepian ranjang.“Bagaimana kondisi Anya? Dia sudah lebih baik?” tanya Aksa.Aksa juga bersimpati pada kondisi mental Anya karena selama dua tahun harus melihat sang ayah yang melakukan kekerasan pada sang ibu.“Jika dilihat dari luar, ya dia baik-baik saja. Dia bermain bersama Arlo dengan riang, bukankah itu bagus? Hanya saja, Jia tetap akan membawa Anya ke psikolog, hanya untuk memastikan saja, apa benar Anya baik-baik saja atau ada gangguan mental,” ujar Alina panjang lebar menjawab pertanyaan Aksa.Aksa mengangguk-angguk paham.Mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama. Sudah ada Naya, Bams, dan Arlo di sana.“Mama.” Arlo berlari menghampiri Alina yang baru saja datang.Aksa menghela napas, dia harus pasrah jika Alina diambil alih Arlo.Alina menggandeng
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc