nggak jadi 3 bab, udah 4 bab, tapi kalian jangan lupa kasih komentar di tiap bab ya ... selamat berdag dig dug ria ya, wkwkwkwkwkkw
“Ada apa?” tanya Aksa saat memperhatikan Alina dan melihat ekspresi wajah istrinya itu berubah.Alina langsung menatap pada Aksa. Sorot matanya memperlihatkan sebuah amarah dan rasa kesal yang membuncah. Alina berdiri, lalu memperlihatkan apa yang didapatnya.“Apa maksudnya ini? Apa maksudnya, hah?” Alina memberikan paksa ponselnya agar Aksa melihat sendiri apa yang membuatnya benar-benar ingin mengamuk.Aksa mengambil ponsel Alina. Dia melihat foto-foto dirinya saat ada dalam acara bersama para pengusaha, juga ada video di mana semua orang hormat dan tunduk padanya ketika di pesta, jangan lupakan ada sebuah rekaman di mana Sasmita mengakui kalau Aksa memang kaya.Aksa terkejut. Dia sudah berniat jujur, tetapi malah ada yang sudah membongkarnya lebih dulu. Tentu saja dia geram.“Aku bisa menjelaskan. Inilah yang--” Aksa ingin bicara, tetapi Alina memotong ucapan Aksa dengan cepat.“Ternyata apa yang dikatakan Bima semuanya benar! Benar kalau kamu kaya dan hanya ingin memanfaatkanku sa
Alina sangat panik saat Aksa mengejarnya, untungnya pintu lift segera tertutup dan Aksa tak bisa mencegahnya pergi. Dia tidak tahu, kenapa harus berlari. Alina tiba-tiba saja ingin pergi karena kekecewaan yang dirasakannya atas semua sandiwara dan kebohongan Aksa.Alina sudah berada di lift. Dia mencoba menahan tangisnya agar tidak meledak di sana. Bahkan sesekali Alina mendongak agar air mata tak jatuh dari pelupuk matanya.Saat pintu lift terbuka di lantai tujuh, Alina melihat Bima yang hendak masuk lift.“Al.” Alina melihat Bima yang tampak terkejut, mungkin Bima menyadari kalau dia sedang tidak baik-baik saja.Tiba-tiba Alina terpikirkan sesuatu. Dia segera keluar dari lift, lalu mendorong Bima untuk kembali ke unit apartemen pria itu.“Alina, ada apa?” tanya Bima bingung tetapi tetap melangkah karena Alina terus menggiringnya kembali ke unitnya.Alina yakin Aksa masih mengejarnya, sebab itu dia tiba-tiba berniat untuk bersembunyi lebih dulu di tempat Bima sampai semuanya aman da
Alina menatap pada Bima yang masih memandangnya dan menghalangi langkahnya. Saat itu pertahanannya sudah runtuh, Alina langsung menangis setelah sejak tadi terus mencoba bersikap kuat.“Kenapa kalian memperlakukanku seperti ini, hah? Apa aku ini sangat bodoh dan terlalu baik, sampai kalian kejam menipuku. Mau kamu atau dia, sama saja! Kalian brengsek! Kenapa semua pria jahat padaku? Kenapa, hah?!”Alina mengamuk, meluapkan semua kekesalan yang bercokol di dada. Dia benar-benar merasakan pahit dan kepedihan karena cinta, setiap kali dia mencoba percaya dan menerima sebuah hubungan, maka saat itu dia harus dihantam dengan sebuah rasa sakit yang begitu perih.Bima diam. Dia menatap Alina yang terus marah. Sikap Alina sekarang seperti saat patah hati padanya ketika tahu dia berselingkuh dengan Marsha. Mungkinkah sekarang Alina sudah mencintai Aksa? Karena itu Alina begitu sedih dan menderita?Bima tidak bisa melihat Alina yang seperti ini, sehingga dia berkata, “Kamu butuh apa? Aku akan m
Aksa keluar dari lift diikuti Bams dan Ilham. Mereka berjalan menuju unit apartemen Bima karena Aksa menebak Alina di sana.Meski tidak pasti karena tidak melihat jika Alina memang keluar di lantai itu, tetapi Alina ke mana lagi, sedangkan Alina tidak terlihat keluar dari pintu mana pun di gedung itu.Saat sampai di depan unit apartemen Bima. Ilham menekan bel, tetapi setelah beberapa saat, tidak ada yang membuka pintu dan membuat Ilham menekan bel lagi tetapi tidak ada respon.“Apa tidak ada orang? Mungkin saja Bu Alina tidak di sini,” kata Ilham.Namun, Aksa tidak percaya atau menyerah begitu saja. Dia menggendor pintu itu, membuat Bams dan Ilham kaget dengan tingkah atasannya itu.“Pak.” Ilham takut tetangga Bima terganggu dengan yang dilakukan Aksa.Aksa tidak peduli. Dia akan terus menggedor sampai Bima keluar.Kecemasan Ilham terbukti. Tetangga Bima membuka pintu, lalu menegur mereka.“Kalian cari siapa? Kenapa membuat keributan?” tanya seorang wanita sambil menatap pada tiga pr
“Ada apa? Kenapa kamu diam? Bahkan kamu tidak terkejut sama sekali?” tanya Alina curiga. Dani bersikap aneh.“Bu-bukan begitu,” elak Dani, “aku terkejut sampai tidak bisa berkata-kata,” ucap Dani dengan ekspresi panik.Dani sudah tahu kalau Aksa kaya, tetapi tidak berani jujur karena melihat sang kakak yang saat ini begitu emosi.“Kak, mungkin Kak Aksa bersandiwara demi kebaikan,” ucap Dani membela Aksa agar kakaknya tidak marah.Alina terkesiap. Matanya menyipit, sungguh Alina bingung. Bagaimana bisa Dani berkata demikian? Padahal dia sudah sangat sakit dibohongi, tetapi adiknya malah membela Aksa?“Kebaikan yang mana maksudmu? Kebaikan karena sudah berbohong? Begitu?!” Alina bicara dengan nada tinggi karena emosi. Bahkan bola matanya membulat sempurna, menandakan amarah yang benar-benar sudah memuncak.“Bu-bukan begitu, Kak.” Dani menatap bingung, bagaimana cara menghadapi kakaknya yang sedang marah?Selama ini Alina adalah sosok kakak yang sangat penyabar, tidak sekalipun murka mes
Aksa benar-benar frustasi karena belum menemukan Alina. Dia hampir membanting ponsel saat mendengar Dani berkata kalau Alina pergi dengan emosi. Ilham dan Bams hanya bisa diam. Mereka menunggu instruksi dari Aksa. “Bams!” Aksa memanggil dengan nada tinggi. Bams langsung sigap menatap pada Aksa. “Retas semua Cctv di jalan, aku ingin kamu menemukan Alina secepatnya!” perintah Aksa. Bams langsung menjalankan perintah itu. “Satu lagi, lacak siapa pemilik nomor yang mengirimkan pesan ini pada Alina!” perintah Aksa sambil memberikan ponsel Alina. Bams mengambil benda pipih itu lalu melihat nomor yang ada di aplikasi berbalas pesan itu. Dia pun melacak keberadaan Alina juga melacak pemilik nomor itu secara bersamaan. Tugas yang sulit. Kini tatapan Aksa tertuju pada Ilham, membuat asistennya itu langsung tegang. “Minta orang berjaga di pelabuhan, terminal, stasiun, juga bandara, pokoknya semua akses keluar dari kota. Perintahkan untuk menangkap Alina jika melihatnya berniat kabur ke
“Kamu yakin?” Karissa menegakkan badan saat mendengar kabar tentang Alina yang kabur meninggalkan Aksa. “Saya sangat yakin. Sekarang Pak Aksa sedang mencarinya.” Karissa tersenyum puas. Dia sangat senang Alina sadar diri dan pergi dari kehidupan Aksa. Jangan salahkan dia melakukan semua ini, salahkan Alina yang sudah membuat Aksa membentaknya. Sekarang, bukankah bagus kalau Alina pergi dan kalau perlu Aksa tidak bisa menemukannya. ‘Apa aku harus turun tangan?’ batin Karissa. Pikiran jahat tiba-tiba saja melintas di kepala. Dia tersenyum licik. Benar, seharusnya dia menyuruh orang untuk menculik Alina lalu membuatnya tidak pernah bisa lagi bertemu Aksa. Haruskah dia melenyapkan Alina juga? “Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku,” ucap Karissa pada pria yang masih terhubung dengannya melalui panggilan telepon. Seringai jahat muncul di wajah Karissa. ** Aksa tidak tidur semalaman. Dia masih memantau Bams yang sedang mencari keberadaan Alina. Bams harus bekerja eks
Bima masih di depan bandara setelah Alina turun. Dia mengamati Alina, hingga melihat Alina yang dibawa dua pria tak dikenal.Namun, Bima memilih diam dan tak menolong meski melihat kejadian itu karena dia sudah tahu siapa yang membawa Alina.“Maaf, Alina.” Bima menatap sampai Alina dimasukkan mobil para pria itu.Pagi tadi, saat Bima menunggu Alina keluar dari motel. Bima memandangi ponselnya cukup lama. Sampai akhirnya dia memutuskan mengetik pesan untuk dikirimkan ke seseorang.[Aku tahu di mana Alina.]Bima mengirim pesan itu, lalu beberapa saat kemudian mendapat pesan balasan.[Siapa kamu?]Bima memutar bola mata malas. Andai tidak demi kebahagiaan Alina, Bima tidak akan melakukan ini.[Sainganmu! Jika kamu mau mendapatkan Alina kembali, jemput dia di bandara. Dia berniat pergi ke luar kota.][Dia sangat mencintaimu, karena itu aku menghubungimu dan berharap kamu bisa memperbaiki hubungan kalian.][Aku memberimu kesempatan membahagiakan Alina, tapi jika kedua kalinya aku tahu kamu
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser