Alina memperhatikan wajah Daniel. Dia menyadari jika adiknya itu sepertinya kebanyakan minum.“Kamu kebanyakan minum?” tanya Alina.Daniel memegangi kepala.“Sepertinya,” jawab Daniel.Alina mengembuskan napas kasar. Dia akhirnya merangkul lengan sang adik, lalu mengajaknya ke kamar untuk beristirahat.“Sudah aku bilang jangan banyak minum. Kenapa kamu malah banyak minum?” Alina menggerutu karena sang adik susah sekali dinasihati.Alina mengantar Daniel ke kamar, lalu meminta sang adik istirahat.“Sudah, tidur saja di sini. Jangan keluar dan minum lagi,” ucap Alina.Daniel hanya mengangguk.Alina akhirnya meninggalkan Daniel di kamar sendirian. Dia itu tak habis pikir, Daniel jarang mabuk, kenapa sekarang mendadak mabuk.Alina kembali ke taman. Dia bertemu Jia yang sedang menuang jus.“Mau kutuangkan?” tanya Jia.Alina mengangguk.Jia menuang jus ke gelas lalu memberikan pada Alina.“Di mana Daniel?” tanya Jia karena tak melihat pria itu.Alina memilih menenggak jusnya, baru kemudian
Di rumah Jia. Dia baru saja menemani Anya gosok gigi, lalu mengajak putrinya itu untuk tidur.“Sudah gosok gigi, sekarang berdoa dulu, lalu tidur,” ucap Jia seraya menarik selimut untuk menutupi kaki Anya.Anya mengikuti apa yang dikatakan Jia. Dia berdoa lalu setelahnya menatap Jia lagi.“Mama, janji kita bakal balik ke sini lagi, kan?” tanya Anya seraya memegang ujung selimutnya.Jia menanggapi ucapan Anya hanya dengan seulas senyum.“Mama, Anya suka Paman Daniel. Dia baik, perhatian, sayang Anya juga. Kenapa papanya Anya nggak seperti Paman Daniel?”Jia terdiam mendengar ucapan Anya karena terkejut, tetapi setelahnya dia mencoba tersenyum.“Anya jangan membandingkan, ya. Setiap orang punya karakter sendiri-sendiri, jadi anggap saja memang Anya belum dapat papa terbaik seperti teman Anya yang lain,” ujar Jia mencoba memberi pengertian sebisanya.Anya memejamkan mata, tetapi bibirnya masih berucap, “Kalau boleh minta sama Tuhan, Anya mau papa seperti Paman Daniel, ya. Atau seperti pa
Daniel mengajak Anya ke taman bermain. Semenjak masuk sampai melihat-lihat, Anya terus menggandeng Daniel, sedangkan Jia berjalan di samping Anya.“Paman, apa Anya boleh makan gula kapas?” tanya Anya.Daniel langsung menatap pada Jia, lalu berkata, “Anya harus tanya Mama.”Anya menoleh sang mama. Dia takut bertanya karena sudah tahu jawabannya.“Untuk hari ini pengecualian. Anya boleh main dan makan apa pun yang Anya mau.”Bola mata Anya berbinar mendengar jawaban Jia. Dia sangat senang dan tersenyum begitu lebar.“Mama ngizinin. Ayo beli, Paman.” Anya begitu bersemangat, sehingga dia segera menarik tangan Daniel tetapi meninggalkan sang mama.Jia tersenyum melihat Anya begitu bahagia. Hal yang tak pernah dilihatnya dari Anya saat bersama Edwin, kini bisa dilihatnya setelah lepas dari pria itu.Jia menyusul Anya dan Daniel yang sudah lebih dulu pergi ke stand penjual gula kapas.“Mama mau?” tanya Anya seraya mengulurkan gula kapas miliknya.Belum juga Jia menjawab, Daniel sudah lebih
Aksa dan Daniel berada di rooftop gedung. Aksa berdiri seraya melipat kedua tangan di dada, pinggangnya bersandar pada tembok pembatas rooftop.Daniel sendiri berdiri menghadap ke depan, menggunakan kedua lengan untuk bertumpu pada tepian tembok pembatas..“Kamu mau bicara apa?” tanya Aksa sambil memandang adik iparnya itu.Daniel menghela napas, lalu menjawab, “Tidak tahu.”Aksa mengerutkan alis. Apa maksud tidak tahu itu?“Kamu ingin bicara denganku, tapi kamu tidak tahu apa yang mau kamu bicarakan?” Aksa menatap aneh pada adik iparnya itu.“Aku hanya sedang bingung,” ucap Daniel. Dia memandang ke kedua tangannya.“Bingung?” Satu sudut alis Aksa tertarik ke atas. “Bingung kenapa?”“Beberapa hari ini aku merasakan hal aneh. Seperti kesepian tapi aku tidak tahu kenapa.” Daniel bicara tanpa menatap pada Aksa.Aksa langsung menegakkan badan, dia menatap aneh pada Daniel.“Kesepian?” Aksa sedang mencoba mencerna maksud ucapan Daniel.Daniel menoleh pada Aksa lalu menganggukkan kepala.“En
Saat sore hari. Aksa mencari keberadaan Alina yang ternyata ada di ruang studio. “Masih belum selesai?” tanya Aksa ketika menghampiri Alina.Alina sedang memasang kain di manekin untuk disesuaikan dengan desain buatannya. Dia menoleh saat mendengar suara Aksa.“Baru pulang?” Alina tersenyum manis. Dia langsung meletakkan kain yang dipegangnya ke meja, lalu menghampiri sang suami.Aksa langsung mencium kening Alina dengan lembut, kemudian menatap penuh kasih sayang pada istrinya itu.“Apa kamu perlu karyawan baru?” tanya Aksa cemas karena akhir-akhir ini Alina bekerja dengan sangat keras.“Nanti saja, kalau studio yang kamu janjikan sudah selesai dibangun,” ucap Alina seraya mengusap dasi Aksa. “Untung sekarang, aku masih bisa melakukan semuanya sendiri,” imbuh Alina.“Dani tadi menemuiku,” ucap Aksa.Alina terkesiap. Dia menatap pada Aksa.“Apa ada masalah?” tanya Alina mendadak cemas.“Iya, masalah kenapa dia bersikap aneh akhir-akhir ini,” jawab Aksa.Alina menatap dengan rasa cema
Daniel benar-benar pergi ke rumah Jia meski sudah dilarang. Saat sampai di sana, ternyata Anya sudah menunggu bersama pembantu di depan teras. “Paman!” Anya terlihat sangat senang. Dia begitu sumringah saat berlari menghampiri Daniel yang baru saja keluar dari mobil.Daniel tersenyum melihat keceriaan di wajah Anya. Dia langsung mengulurkan tangan dan disambut oleh gadis kecil itu.“Paman jangan pulang sebelum Mama pulang, ya.” Anya menatap penuh harap pada Daniel.Daniel tersenyum seraya menganggukkan kepala.Gadis kecil itu tersenyum lebar. Dia menarik tangan Daniel untuk mengajaknya masuk kamar.“Paman mau lihat koleksi jepit rambutku?” tanya Anya seraya terus menggandeng tangan Daniel.“Boleh,” jawab Daniel, “memangnya Anya punya berapa banyak?” tanya Daniel kemudian.“Banyak sekali,” jawab gadis itu penuh semangat.Daniel hanya tersenyum. Dia mengikuti langkah Anya menuju kamar gadis kecil itu. Kamar dengan cat berwarna merah muda dan ranjang kecil yang lucu.“Paman duduk sini, A
Jia menghela napas. Dia bingung harus bagaimana.“Mungkin aku tunda dulu sampai kondisi Papa membaik,” ucap Jia.Tanpa sadar Daniel tersenyum mendengar ucapan Jia.Jia melihat senyuman pria itu, membuatnya mengerutkan dahi.“Ada apa?” tanya Jia.Daniel baru saja tersadar, dia langsung menggeleng.“Tidak ada,” jawab Daniel agak canggung.Jia mengangguk. Dia ingin pergi menyusul Anya, tetapi ternyata gadis kecil itu sudah kembali menghampiri mereka.“Mama, aku lapar,” ucap Anya.“Biar mama minta Bibi siapin,” balas Jia lalu hendak pergi ke dapur.Namun, saat baru saja membalikkan badan. Jia kembali menoleh pada Daniel.“Kamu sudah makan malam?” tanya Jia.Daniel terkesiap, lalu segera menggeleng kepala.“Makan malam di sini sekalian, ya.” Jia menawari dengan ramah.Belum juga Daniel menjawab, Anya sudah dulu berteriak, “Asyik, makan malam sama Paman lagi.”Melihat Anya yang sangat senang, tentu saja membuat Daniel tak tega menolak.“Baiklah.” Daniel mengiyakan.Anya langsung menggandeng
Aksa duduk di ranjang. Dia mengecek ponselnya karena mendapat pesan dari Daniel.“Melihat apa? Serius sekali?” tanya Alina yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia langsung naik ke ranjang dan duduk di samping Aksa.“Dani,” jawab Aksa seraya meletakkan ponsel di nakas, lalu merangkul Alina.“Dani? Ada apa?” tanya Alina selalu saja panik jika membahas tentang adiknya itu.“Kasih kabar, katanya Jia akan menunda keberangkatan ke Milan karena kondisi Pak Alex agak kurang baik,” jawab Aksa menjelaskan.Alina terkesiap. Dia sampai menegakkan tubuh dan terlepas dari rangkulan Aksa.“Lalu bagaimana sekarang kondisi ayah Jia?” tanya Alina.“Daniel bilang kalau ayah Jia hanya sesak napas, tapi tidak sampai diopname,” jawab Aksa.Alina mengangguk-angguk paham, lalu berkata, “Daniel dekat sekali dengan Jia dan keluarganya ya, sampai-sampai tahu kalau Jia batal pergi.”Alina menoleh Aksa setelah mengatakan itu. Dia melihat tatapan Aksa seperti mengisyaratkan sesuatu.“Tunggu ….” Alina baru ters
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p
Aksa mengusap perut Alina yang lumayan besar. Seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap malam harus menyentuh perut sang istri sebelum dia beristirahat.“Jam berapa ini? Kamu baru mau tidur?” Alina terbangun karena sentuhan Aksa.Alina sudah tidur lebih dulu karena Aksa berkata ingin menyelesaikan pekerjaan.“Tidurlah lagi, maaf kalau mengganggumu,” ucap Aksa lalu membetulkan selimut untuk menutupi tubuh Alina.Alina merangsek ke pelukan saat Aksa sudah berbaring. Dia memeluk suaminya meski sekarang terhalang perut yang agak besar.“Jangan terlalu capek bekerja, Aksa. Aku tidak mau punya suami dengan tampang tua, mata cekung karena kebanyakan begadang, padahal anak-anaknya masih kecil,” seloroh Alina seraya memejamkan mata.Aksa menahan tawa. Ada saja ucapan istrinya ini yang mampu membuat semua rasa lelah dan beban pikirannya hilang.“Tenang saja, aku akan perawatan melebihimu kalau sampai terlihat tua,” balas Aksa seraya memeluk Alina, tak lupa kecupan hangat juga didaratkan di keni
Beberapa minggu waktu berjalan dengan cepat. Alina berada di studionya sedang mempersiapkan untuk fitting gaun Jia. Alina sudah memiliki studionya sendiri di tengah kota, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan studio juga penjahit untuk membantunya.“Mama.” Arlo datang dan langsung berlari menghampiri Alina.Arlo baru saja pulang sekolah dijemput Jia sekalian.“Daniel belum datang?” tanya Jia.“Belum, dia bilang ada rapat dadakan, jadi mungkin akan terlambat datang,” jawab Alina.Jia mengangguk-angguk paham.“Mau mulai sekarang?” tanya Alina.Jia mengangguk. Dia ikut Alina masuk ke ruang fitting gaun, sedangkan anak-anak bermain di playground yang memang disiapkan di salah satu ruangan di studio itu.“Perutmu sudah kelihatan besar,” kata Jia.Alina melirik ke perutnya, lalu membalas, “Iya, sudah dua puluh minggu juga, kan.”Alina memberikan gaun yang dirancangnya tetapi belum selesai sempurna karena masih butuh pendapat Jia.Jia mengganti bajunya, lalu setelahnya dia berdiri di dep
Siang itu Mirza dan Sasmita datang ke kamar inap Nenek Agni setelah menemui dokter. Mereka berkumpul untuk membahas soal kondisi Nenek Agni.“Kami sudah berkonsultasi dengan dokter fisioterapi untuk pemulihan kondisi Mama agar lekas sembuh mengingat ada pergeseran tulang di punggung,” ujar Mirza.“Mama harus sembuh dan sehat seperti sedia kala,” timpal Sasmita.Nenek Agni menatap bergantian pada Aksa dan yang lain, lalu membalas, “Tentu saja aku harus sembuh. Aku masih mau melihat cicit keduaku.”Mirza dan Sasmita terkesiap, mereka secara spontan langsung menatap pada Alina.Alina tersenyum kecil, lalu berkata, “Aku sedang hamil, Ma, Pa.”Sasmita langsung menghampiri Alina, bahkan memeluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia.“Selamat, ya. Mama sangat senang mendengarnya,” ucap Sasmita seraya mengusap punggung Alina.“Terima kasih, Ma. Doakan aku sehat sampai melahirkan,” balas Alina.“Tentu, tentu saja.” Sasmita melepas pelukan, senyum kabahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajahnya
Aksa masih terjaga setelah meminta Alina untuk istirahat lebih dulu. Dia tidak bisa tenang sampai melihat Nenek Agni bangun. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Aksa melihat Nenek Agni mulai membuka mata.“Nek.” Aksa berdiri dari duduknya, lalu menunggu Nenek Agni membuka mata dengan sempurna.“Kamu di sini,” ucap Nenek Agni dengan suara lemah.Aksa menggenggam tangan Nenek Agni agar merasakan keberadaannya karena kelopak mata wanita tua itu belum terbuka sempurna.“Iya, aku di sini.”Nenek Agni mengembuskan napas panjang. Dia mencoba menatap pada Aksa, sampai akhirnya melihat wajah sang cucu.“Bagaimana bisa Nenek jatuh?” tanya Aksa mencoba mengajak bicara agar sang nenek bisa sadar sepenuhnya.Aksa melihat Nenek Agni meringis kesakitan saat akan bergerak, membuat Aksa mencegah agar Nenek Agni tidak menggerakkan tubuh lebih dulu.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Aksa.Nenek Agni menggeleng. Wanita tua itu akhirnya hanya terlentang karena punggungnya sakit.“Nenekmu ini sudah sanga