Jangan lupa komentarnya ya Kakak semua, sayang sekebon duren(◠‿◕)
Alina menghela napas kasar menatap siapa yang ada di apartemennya saat ini. Dia benar-benar tidak habis pikir, kenapa punya teman sebandel ini.“Papamu pasti akan marah besar karena kamu kabur,” ucap Alina sambil menatap pada Kaira yang sedang makan camilan.Kaira menatap pada Alina.“Aku sebenarnya lelah. Apalagi pesta ini mau dijadikan Papa sebagai ajang perjodohan, makanya aku kabur ke sini,” balas Kaira.“Kenapa kamu tidak jujur saja kalau sudah punya pilihan?” tanya Alina. Dia hanya merasa kalau Kaira akan merasa lebih baik jika mau jujur.“Ilham tidak kasih kepastian,” jawab Kaira.Alina terkejut.“Memangnya kamu sudah mengungkap perasaan?” tanya Alina penasaran.“Belum sih, tapi aku tanya apa Ilham sudah punya pacar, dia tidak jawab. Lalu setelah bertemu dengannya lagi, sikapnya biasa saja, seperti pertanyaanku sebelumnya tidak mengganggunya,” jawab Kaira menjelaskan, “lagi pula, aku tidak yakin Papa akan setuju, apalagi Ilham tidak punya jabatan dan hanya seorang karyawan bias
Keesokan harinya. Aksa mulai membuka mata dan merasa kepalanya sangat pusing. Dia menekan kepalanya begitu kuat, lalu tiba-tiba terkejut dan langsung duduk. Aksa panik karena sudah ada di apartemen, dia menyentuh pakaiannya masih utuh, hanya jas dan sepatu yang terlepas.Aksa mengumpat, harusnya dia mengganti pakaian sebelum pulang, kenapa sudah di apartemen masih dengan pakaian pesta? Apa Alina akan curiga?Aksa mendadak panik. Dia menoleh ke dapur dan melihat Alina yang sedang menyiapkan sarapan seperti biasa. Aksa mencoba tenang, dia harus memikirkan alasan tepat jika Alina bertanya soal pakaiannya.Aksa berjalan ke dapur untuk mengambil minum sekalian melihat respon Alina. Dia melihat Alina sudah menyadari kedatangannya, tetapi istrinya itu bahkan tidak menyapa atau bertanya.“Semalam siapa yang mengantarku?” tanya Aksa berbasa-basi apalagi Alina seperti menghindari tatapan matanya.“Ilham,” jawab Alina singkat tanpa memandang pada Aksa.Aksa merasa aneh. Apa Alina marah?“Aku sud
Saat sore hari. Aksa baru saja pulang dan kini masih ada di basement apartemen. Dia berpikir sejenak, jika Alina masih bersikap seperti tadi, maka dia harus segera meluruskan masalah yang terjadi.Aksa akhirnya turun dari mobil. Dia masuk lift dan menuju ke lantai delapan tempat unitnya berasa. Saat sampai di apartemen, Aksa melihat Alina sibuk di dapur. Alina benar-benar bersikap aneh dan tak acuh seperti pagi tadi.Alina bahkan tidak menyapa atau tersenyum seperti biasa, hal ini benar-benar membuat Aksa keheranan.Mungkin Alina masih kesal? Lebih baik Aksa membersihkan diri dulu, lalu baru kemudian kembali bertanya pada Alina.Setelah mandi. Aksa mencoba mengajak bicara Alina lagi. “Bisa kita bicara.” Aksa bicara dengan nada tegas.Alina menoleh pelan ke arah Aksa.Aksa mengajak Alina duduk di meja makan, tetapi Alina tidak mau menatap pada Aksa sama sekali.“Aku minta maaf kalau semalam mabuk, sepertinya aku dikerjai orang,” ujar Aksa berpikir jika kesalahannya hanya mabuk.Alina
Semalam. Alina terkejut saat Aksa menyentuh pipinya. Apalagi pria itu menatapnya begitu dalam dan tak teralihkan. Jantung Alina berdegup cepat, tetapi dia berusaha untuk tenang.“Biar aku lepas dasinya, lalu kembalilah tidur,” ucap Alina dengan suara lembut.Namun, siapa sangka Aksa tiba-tiba menekan tengkuk Alina hingga mendekat ke wajahnya lalu dia menyentuhkan bibir mereka.Bola mata Alina membulat lebar, kenapa Aksa tiba-tiba menciumnya. Tak cukup dengan itu, Aksa menarik tubuh Alina hingga jatuh di ranjang sempit itu, lalu terus melumat bibir Alina berulang kali. Keduanya dalam posisi berbaring saling berhadapan.Alina mencoba memberontak, dia mendorong tubuh Aksa tetapi gagal. Dia sangat panik, Alina tiba-tiba saja ketakutan. Saat pagutan bibir mereka sedikit melonggar, Alina buru-buru mendorong dada Aksa, hingga pria itu jatuh ke samping. Alina bangun dengan cepat, dia benar-benar panik lalu lari ke kamar.**“Memaksa apa?” Aksa kembali bertanya karena Alina masih diam.Alina b
Alina diam dengan wajah merona. Sesekali dia melirik Aksa yang duduk di sampingnya, Alina merasa sangat canggung dan salah tingkah, apalagi sekarang tangannya sedang digenggam erat oleh suaminya itu.Ini aneh! Apa benar pria yang di sampingnya ini sang suami? Kenapa sangat berbeda dengan Aksa yang dulu. Apa jangan-jangan pantai bisa mengubah kepribadian orang? Nyatanya, Aksa bersikap berbeda setelah pulang dari pantai.Entahlah, kenapa Alina merasa bingung karena apa yang baru saja terjadi semua berlangsung sangat cepat.Alina menoleh pada Aksa. Dia melihat ekspresi datar tidak bisa didefinisikan dari wajah pria itu. Ternyata tetap saja mukanya seperti itu, padahal genggaman tangannya sangat lembut.“Apa kamu yakin mau menerimaku? Aku wanita sederhana yang sama sekali tidak modis?” tanya Alina. Ya, meski dia seorang desainer, tetapi tak serta-merta membuat Alina berpenampilan berlebihan.“Ya,” jawab Aksa singkat.“Ya, apa? Jawabnya pelit sekali?” tanya Alina kesal.Aksa menoleh pada A
“Kamu keberatan?” tanya Aksa ketika melihat ekspresi wajah Alina panik.“Ti-tidak,” jawab Alina tergagap.Aksa tak membalas ucapan Alina. Dia pergi ke kamar karena ingin mengganti pakaian.Alina langsung memegangi dada. Apa benar dia harus seranjang dengan Aksa? Ini benar-benar aneh? Alina menangkup kedua pipi, mencoba menyadarkan dirinya jika ini mimpi, tetapi ini nyata dan Alina harus menghadapinya.“Hanya tidur, ingat sebelumnya juga pernah satu ranjang.” Alina berpikir positif.Alina dan Aksa sudah berada di ranjang yang sama. Namun, Alina belum bisa memejamkan mata, dia masih memandang langit-langit kamar sambil memainkan telunjuknya.Alina kembali merasa canggung. Dulu mereka seranjang tetapi belum memiliki perasaan apa-apa, sedangkan sekarang mereka sudah saling menerima status sebagai suami-istri yang entah kenapa membuat Alina sangat gugup atau sebenarnya dia takut?“Kenapa kamu belum tidur?” tanya Aksa.Alina terkejut. Dia menjawab, “Entah.”Aksa menoleh pada Alina dan melih
Ilham baru saja sampai di lantai ruangan Aksa berada. Dia menunggu atasannya itu datang, lalu beberapa saat kemudian Aksa keluar dari lift dan kini berjalan ke arahnya. Ilham merasa ada yang berbeda. Apa di wajah atasannya itu sebuah senyum? Kenapa aura Aksa terlihat berbeda? Ini aneh. “Pagi, Pak,” sapa Ilham saat Aksa sudah sampai di hadapannya. “Pagi.” Ilham tertegun. Apa itu? Aksa membalas sapaannya? Ilham melongo, ini luar biasa, dia sampai menatap tak percaya pada Aksa yang sedang berjalan masuk ruang kerja. Ilham penasaran lalu segera menyusul Aksa. “Apa ada kabar baik, Pak? Sepertinya perasaan Anda hari ini sedang sangat baik?” tanya Ilham nekat karena sangat penasaran. Aksa memasang wajah datar ketika menatap pada Ilham. Ilham menelan ludah melihat ekspresi wajah Aksa berubah. Dia berusaha tersenyum meski sedikit dipaksakan. “Bagaimana kalau aku seharian ini membuat masalah agar kamu lelah?” “Jangan!” Ilham panik. “Saya hanya bertanya dan memuji, Pak. Ya, ikut
Aksa memijat pangkal hidung beberapa kali. Dia pusing karena mendapat tekanan agar datang ke pesta ulang tahun Karissa, juga sekarang diminta untuk melakukan kencan buta dengan putri salah satu pebisnis besar.Aksa menghela napas kasar. Andai dia bisa mengatakan jika sudah menikah, dia mungkin akan melakukan itu. Namun, tidak pernah ada kabar kalau dia sudah menikah, tentu membuatnya kesulitan memberitahu sebab orang-orang pasti tidak akan percaya. Dan, ketika dia jujur ke semua orang, itu sama saja dengan mengungkap statusnya di depan Alina. Aksa belum siap.Ilham baru saja masuk ruangan Aksa. Dia melihat atasannya itu seperti sedang sangat pusing sampai tidak sadar kalau Ilham masuk ruangan itu.“Anda baik-baik saja, Pak?” tanya Ilham hati-hati.Aksa menatap pada Ilham, tetapi tidak menjawab pertanyaan asistennya itu. Terdengar helaan napas kasar dari mulutnya.Ilham memilih tidak bertanya lagi daripada salah ucap. Dia meletakkan berkas yang harus ditandatangani di meja Aksa.“Pak R
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.