“Bisa minta tolong? Badanku lengket, mau mandi,” pinta Cal. “Ternyata pikiran kita sama.” Ekspresi Al berubah ceria. “Dengan senang hati Nyonya.” Pria itu memangku wanitanya ke kamar mandi, dan menyiapkan air hangat. Al berharap perhatian ini dapat meluluhkan hati Cal. “Kenapa bajunya dibuka sendiri?” Al menoleh dan jakunnya sedikit bergerak. “Tanganku sudah sembuh, jadi melepas pakaian pekerjaan yang mudah.” Cal mengangkat bahu. Melalui cara pandang sepasang iris biru safir, Cal tahu suaminya kecewa. Akan tetapi ia tidak akan membiarkan dirinya bergantung sepenuhnya pada Al. Kedua tangan Al sangat hati-hati menyabuni tubuh Cal dan membasuhnya dengan air hangat. Setelah selesai, ia tetap membantu wanitanya mengenakan pakaian, serta mengeringkan rambut di depan meja rias. “Hari ini kamu bolos kerja lagi,” gumam Cal. Ia menatap Al melalui cermin. “Umm … semoga dewan direksi tidak memecatku,” sahut Al dengan santai. “Kondisiku jauh lebih baik Al. Sebaiknya mulai besok kamu k
Al sedang menghubungi Xavi di dalam bilik toilet. “Di mana kamu simpan kalungnya?! Jangan membuatku malu di depan istriku!” sentak Al memaki ponsel. [Maaf Tuan, saya lupa memberitahu. Kalung untuk Nyonya ada di dashboard.] Setelah mendapat informasi itu, Al bergegas mengambil hadiah untuk Cal. Ia tersenyum lebar ketika berhasil menemukannya dan berlari menemui Cal di dalam restoran. Beberapa menit sebelumnya, Cal ragu-ragu menerima panggilan suara dari kakak kembar. Entah mengapa tangan serta otak Cal tidak sejalan. Ia diam beberapa detik hingga telepon terputus, kemudian satu pesan masuk. [Terima Cal! Ini penting, tentang suamimu!] Cal membaca pop up pesan. Tidak lama kemudian, kakak kembar menghubungi lagi. “Halo Clair ada apa?” [Sepertinya sampai sekarang kamu masih menikmati peran sebagai Nyonya Torres.] Cal mendengar intonasi sinis dari balik telepon. Ia menelan ludah, dan mengembuskan napas karena kata-kata Clair menyinggungnya. “Bukankah pernah ku bilang, kalau kamu
‘Ketiga kalinya … dia menghancurkanku,’ batin Cal. Pukul empat pagi wanita itu terbangun, samar-samar melihat asap tipis di balkon. Cal tahu Al tidak tidur semalaman, buktinya sisi kosong di atas tempat tidur tetap rapi dan dingin. “Pembohong!” gumam Cal. Ia ingin bangun dan melarikan diri tetapi tubuhnya benar-benar lemas. Entah obat apa yang disuntikan Al semalam karena … menyakitikan. Cal hanya bisa memandang nanar pintu balkon yang terbuka lebar. “Mereka bilang efeknya akan hilang satu sampai dua jam setelah kamu bangun.” Suara Al terdengar parau. Ia berjalan memasuki kamar. Pria itu meletakkan botol anggur serta kotak rokok di atas meja kecil. Al menghampiri ranjang dan berdiri di samping. Iris biru safirnya menatap lurus-lurus punggung Cal. “Schatzi … aku—“ “Aku ingin bercerai!” tegas Cal. Bibir wanita itu bergetar, ia hampir menangis tetapi berhasil menguasainya. Ia kembali berkata dengan tenang, “Mari kita akhiri ini.” “Tidak!” Al naik ke atas tempat tidur. Ia m
Di Mansion Caldwell“Benarkah mereka bertengkar? Itu bagus! Sudah aku bilang pada akhirnya dia yang tersingkir.” Clair tersenyum penuh kemenangan. Wanita itu mengakhiri panggilan suara bersama seseorang. Clair duduk di atas sofa putih panjang menghadap ke lukisan dinding. Gambar dua orang anak perempuan sedang berlarian dan tertawa riang.“Itulah akibatnya karena kamu berani merebut dia!” Sorot mata Clair berubah tajam.Clair kembali menghubungi seseorang yang dapat membantunya di waktu yang tepat, dan selama ini berjalan cukup baik walaupun hasilnya belum terlihat. Wanita itu yakin, dengan memanfaatkan keretakkan hubungan antara Al dan Cal rencananya berhasil.“Kamu di mana? Temui adikku, kasihan dia sendirian di Wellcoffee. Bawalah dia ke rumahmu! Jangan lupa cuci otaknya supaya menceraikan Al dalam waktu dekat!”[Apa kamu melakukan sesuatu padanyaa, Clair? Jangan sakiti Cal!]“Lakukan saja perintahku! Kita sama-sama menuai keuntungan. Cepatlah sebelum Al menemukannya!” Clair membe
“Tanda tangan surat perceraian! Dan jalani hidup masing-masing!” Cal melepas lilitan sepasang tangan kekar. Al menekuk dalam alisnya. Bukan langsung memberi tanggapan, justru pria itu membawa Cal kembali ke ruang kerja. Di sana, Al menunjukkan amplop yang baru diterima beberapa saat lalu. “Kamu sudah menandatanganinya?” seru Cal tidak sabaran. “Setelah bercerai, apa kamu yakin memaafkanku? Tanpa cela sedikit pun, bisa?” Al tersenyum miring. Dalam sekejap amplop berwarna coklat berubah menjadi empat bagian. Setelah merobeknya, Al membawa kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah. “Kamu bebas meminta apa pun kecuali bercerai!” tegas Al kemudian beranjak menuju lantai dua. Berbeda dengan Cal mengepalkan tangan di depan ruang kerja. Ia menatap jengah tingkah laku pria itu. Setelah menyakiti berulang, kini Al semakin membuat Cal terluka. “Tidak peduli kamu merusaknya, Al! Karena pengacara bisa mengirimkannya lagi!” ucap Cal dengan intonasi tinggi. Sayangnya, Al tidak mengacuhkan k
“Menurutmu?” Cal tersenyum masam kemudian melenggang pergi keluar ruang kerja.“Aku bukan barang!” sahut Al, suara dinginnya mampu menghentikan langkah kaki Cal.Wanita itu menolehkan kepala, netra abu-abunya menatap datar paras menawan Al yang berkeringat. Cal tahu suaminya seorang manusia yang memilik hak serta beragam pilihan untuk menentukan hidup. Sama sepertinya dirinya ‘pernah’ memilih menyerahkan Al kepada gadis lain.Al melangkah maju mendekati Cal di depan pintu. Ia mengulurkan ibu jarinya dan menaruh di bawah dagu tirus Cal. Al menarik pelan dagu Cal hingga wajah cantik itu sedikit maju.“Sekalipun aku sebuah benda, aku akan memilih pemiliknya yang pantas.” Al melabuhkan kecupan di pipi Cal yang dingin.Setelah itu, Al bergegas ke lantai dua meninggalkan wanitanya.Cal mematung di tempat yang sama. Bahkan pandangan matanya tidak mengikuti ke mana Al pergi. Wanita itu mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut suaminya.‘Dan aku … ingin memiliki barang itu sendirian,’ li
“Maaf Cal. Sebagai wanita yang melahirkannya … aku malu, sekali lagi aku minta maaf,” tutur Livy, setelah dokter selesai mengobati luka dan keluar kamar. Sesaat Cal bergeming, hanya mengedipkan kelopak mata. Saat ini, ia tidak tahu harus menjawab apa, berbohong atau jujur? Cal menemani ibu mertuanya duduk di tepi ranjang. Ia tidak bisa pergi, sebab wanita paruh baya itu selalu menggenggam tangannya. Ia juga tidak berkata apa pun, karena menceritakan masa lalu sama saja mengorek luka lama. Livy mengalihkan tatapannya pada langit-langit kamar. Ibu mertua berkata lirih, “Dia bilang menyukai seseorang, mau menikahinya di usia muda.” Mendengar ucapan ibu mertua membuat Cal memandangi pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tahu pria itu ada di balik sana, mungkin sedang menguping atau … berdialog bersama Clair. “Dia membeli cincin itu dari uang tabungannya.” Livy melirik cincin di jari manis Cal. Wanita paruh baya itu mengulurkan tangan dan membelai pipi Cal, lalu berkata, “Ternyata lama
Beberapa jam sebelumnya, ketika Cal selesai mandi tidak mendapati Al di dalam kamar.“Di mana dia?” gumamnya.Cal keluar dari kamar, ia langsung mencari Al. Menurut informasi seorang maid, pria itu mengantar Clair ke rumah sakit. Ia berusaha mengerti, sebab mengetahui alasan suaminya menolong Clair. Namun, Cal menyayangkan Al pergi tanpa meninggalkan pesan.Akhirnya, Cal kembali ke kamar dan merebahkan tubuh di atas pembaringan. Sial, ia tidak bisa tidur, karena memikirkan suami dan kakak kembarnya. Ia berniat menghubungi Al tetapi tangannya ragu-ragu meraih ponsel di ujung kasur. Cal menggelengkan kepala, dan memilih memejamkan mata.Memasuki dini hari, Cal merasakan tubuhnya berubah hangat padahal beberapa saat lalu cukup dingin. Bahkan ia sangat nyaman dan tersenyum manis seolah mendapat mimpi indah.“Kamu sangat cantik dan baik, bagaimana mungkin aku melepasmu Cal?” bisik suara pria membuat Cal membuka lebar kelopak mata.Kening wanita itu mengerut, “Al?” Cal berniat menjauhkan
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b