Sore Kak ( ◜‿◝ )♡ dua hari ini maaf ya satu bab karena kondisinya lagi kurang sehat Ó╭╮Ò
“Menurutmu?” Cal tersenyum masam kemudian melenggang pergi keluar ruang kerja.“Aku bukan barang!” sahut Al, suara dinginnya mampu menghentikan langkah kaki Cal.Wanita itu menolehkan kepala, netra abu-abunya menatap datar paras menawan Al yang berkeringat. Cal tahu suaminya seorang manusia yang memilik hak serta beragam pilihan untuk menentukan hidup. Sama sepertinya dirinya ‘pernah’ memilih menyerahkan Al kepada gadis lain.Al melangkah maju mendekati Cal di depan pintu. Ia mengulurkan ibu jarinya dan menaruh di bawah dagu tirus Cal. Al menarik pelan dagu Cal hingga wajah cantik itu sedikit maju.“Sekalipun aku sebuah benda, aku akan memilih pemiliknya yang pantas.” Al melabuhkan kecupan di pipi Cal yang dingin.Setelah itu, Al bergegas ke lantai dua meninggalkan wanitanya.Cal mematung di tempat yang sama. Bahkan pandangan matanya tidak mengikuti ke mana Al pergi. Wanita itu mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut suaminya.‘Dan aku … ingin memiliki barang itu sendirian,’ li
“Maaf Cal. Sebagai wanita yang melahirkannya … aku malu, sekali lagi aku minta maaf,” tutur Livy, setelah dokter selesai mengobati luka dan keluar kamar. Sesaat Cal bergeming, hanya mengedipkan kelopak mata. Saat ini, ia tidak tahu harus menjawab apa, berbohong atau jujur? Cal menemani ibu mertuanya duduk di tepi ranjang. Ia tidak bisa pergi, sebab wanita paruh baya itu selalu menggenggam tangannya. Ia juga tidak berkata apa pun, karena menceritakan masa lalu sama saja mengorek luka lama. Livy mengalihkan tatapannya pada langit-langit kamar. Ibu mertua berkata lirih, “Dia bilang menyukai seseorang, mau menikahinya di usia muda.” Mendengar ucapan ibu mertua membuat Cal memandangi pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tahu pria itu ada di balik sana, mungkin sedang menguping atau … berdialog bersama Clair. “Dia membeli cincin itu dari uang tabungannya.” Livy melirik cincin di jari manis Cal. Wanita paruh baya itu mengulurkan tangan dan membelai pipi Cal, lalu berkata, “Ternyata lama
Beberapa jam sebelumnya, ketika Cal selesai mandi tidak mendapati Al di dalam kamar.“Di mana dia?” gumamnya.Cal keluar dari kamar, ia langsung mencari Al. Menurut informasi seorang maid, pria itu mengantar Clair ke rumah sakit. Ia berusaha mengerti, sebab mengetahui alasan suaminya menolong Clair. Namun, Cal menyayangkan Al pergi tanpa meninggalkan pesan.Akhirnya, Cal kembali ke kamar dan merebahkan tubuh di atas pembaringan. Sial, ia tidak bisa tidur, karena memikirkan suami dan kakak kembarnya. Ia berniat menghubungi Al tetapi tangannya ragu-ragu meraih ponsel di ujung kasur. Cal menggelengkan kepala, dan memilih memejamkan mata.Memasuki dini hari, Cal merasakan tubuhnya berubah hangat padahal beberapa saat lalu cukup dingin. Bahkan ia sangat nyaman dan tersenyum manis seolah mendapat mimpi indah.“Kamu sangat cantik dan baik, bagaimana mungkin aku melepasmu Cal?” bisik suara pria membuat Cal membuka lebar kelopak mata.Kening wanita itu mengerut, “Al?” Cal berniat menjauhkan
“Jaga dirimu baik-baik! Jangan keluar mansion!” tegas Al sebelum meninggalkan kediaman Torres. Wajah tampan pria itu kentara sekali menunjukkan sesuatu. Bahkan Al berangkat kerja menggunakan mobil sport-nya, bukan kendaraan operasional kantor sehingga Xavi mengikuti dari belakang. “Sebenarnya ada yang terjadi?” gumam Cal. Entah mengapa perasaannya berat melepas Al pergi ke kantor. Cal kembali ke kamar dan mengambil ponselnya di atas nakas. Wanita itu hendak mengirim pesan kepada Xavi, tetapi mendapat satu panggilan suara dari Clair. Tanpa berpikir panjang Cal menerimanya. “Dari mana kamu tahu nomor telepon baruku?” [Adik tidak sopan, bukannya bertanya tentang kondisiku!] Sebelum membalas perkataan Clair, Cal menghela napas dan menjauhkan ponsel dari telinga. “Aku dengar kamu overdosis. Bagaimana keadaanmu? Sebaiknya kamu pulang Clair, tidak baik berkeliaran jauh.” [Aku tidak akan pergi sebelum kalian bercerai. Sekarang datanglah ke rumah sakit, ayah mertuamu pingsan da
“Kepalaku sakit,” keluh Cal. Ia memegangi dan meremas pelipisnya. Samar-samar Cal melihat beberapa orang berkelahi di depan badan mobil. Ia berbinar karena sosok yang dinantikan datang untuk menolongnya. “Al, aku di sini tolong Al!” Cal memukul-mukul pintu yang begitu sulit dibuka.Namun, setelah ketiga orang berhasil dilumpuhkan, netra abu-abu Cal bisa melihat dengan jelas. Ia terbelalak karena orang itu sedang berjalan mendekati mobil.“Kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya pria itu sambil membuka pintu penumpang.“L-Lionel, bagaimana kamu—“Lionel menimpali, “Ceritanya panjang. Sekarang ikut aku! Di sini tidak aman.” Pria itu mengulurkan tangan dan membantu Cal turun dari mobil. “Sepertinya kakimu cidera lagi Cal,” ucap pria itu lemah lembut.“Hu’um. Ini sakit tapi bukan masalah. Aku bisa mengunjungi rumah sakit.” Cal membuka tas tetapi … tangan Lionel menggenggam jemarinya. Ia langsung menepis sentuhan itu dan berkata tegas, “Apa yang kamu lakukan?!” Cal mengerutkan kening sebab ked
Satu jam sebelumnya, Al memeriksa beberapa hotel di sekitar bandar udara, tetapi sia-sia. Tidak ada tanda keberadaan Lionel atau Calantha. Namun, Al menerima informasi dari anak buahnya yang berjaga di perbatasan kota. Keberadaan Cal tertangkap kamera pengawas di jalan raya. Tentu saja Al menggeram sebab seorang pria dengan santai membawa kabur wanita miliknya. “Sekarang juga ke Villa Pedrosa!” titah pria itu sambil mengepalkan tangan di udara. “Baik Tuan.” Sialnya lagi, akses jalan menuju perbatasan kota ditutup, betapa murkanya seorang Alessandro. Ia hendak mencaci maki deretan beton di atas aspal, tetapi percuma karena tidak akan menyelesaikan masalah. Al berpikir cepat hingga iris biru safirnya menangkap satu unit kendaraan roda dua terparkir di pinggir jalan. “Motor itu bisa membantu. Cari tahu pemiliknya!” Perintah Al pada Xavi. Xavi mengangguk patuh. Lima menit kemudian berhasil mendapat data pemilik sepeda motor. Al tergesa menemui pemiliknya di dalam salah toko pe
“Xavi, di mana Al?!” Satu kalimat meluncur bebas setelah Cal siuman. Ia tidak perlu bertanya mengapa dirinya ada di rumah sakit atau alasan Xavi menemaninya. Sudah tentu itu semua karena Al.Asisten pribadi yang tengah berdiri membelakangi ranjang pasien sembari memegang ponsel itu terkejut seketika. Xavi hampir menjatuhkan telepon genggam miliknya. Namun fokus Cal bukan pada benda pipih, melainkan ucapan seseorang di balik ponsel.“Katakan di mana Al? Kenapa dia tidak ada di sini? Bukankah kamu selalu mengikutinya?” cerca Cal sambil mengangkat dagu.“Nyonya … ini—“Cal menimpali, “Jangan bertele-tele Xavi!” Untuk pertama kali wanita cantik itu berteriak kepada orang lain. Seluruh kelembutan serta keanggunan Cal lenyap, sebab kekhawatiran berhasil menguasai seluruh tubuhnya. Wanita itu menyibak selimut kemudian turun dari ranjang. Ia mendekati Xavi dan merebut ponsel.“Nyonya Calantha—“Cal menempelkan telunjuk pada bibir tipis pucatnya, lalu berujar lirih, “Aku tidak apa-apa.”Wanit
“Melepas?” Cal bergumam. Ia terkekeh-kekeh mendengar betapa mudah kakak kembarnya itu mengucap serangkai kalimat tak tahu diri. Cal menatap lekat-lekat sepasang iris abu-abu yang serupa dengannya. Ia mengembuskan napas panjang lalu tersenyum setipis benang. “Bagaimana? Itu cara termudah menebus segala kesengsaraanku di masa lalu!” Clair mengangkat bahu. “Tidak. Aku tidak mau Clair,” jawab Cal pada akhirnya. Ia berkata dengan tegas, “Al bukan barang! Dia berhak memilih, dan aku tidak akan memaksanya lagi.” Bola mata Clair membulat sempurna mendengar kata-kata penolakan itu. Sebagai wanita tentu perasaannya hancur karena tidak bisa memiliki … lebih tepatnya merebut pria yang dicintai. Apalagi Clair telah melakukan segala cara agar Al berpaling kepadanya. “Jangan lupa Cal, dia ….” Clair menunjuk Al di atas ranjang. “Pria itu sudah merusak masa depanmu! Bahkan, Al tidak berani berkata jujur,” sindir wanita itu. Meskipun hatinya membenarkan, tetapi ekspresi wajah Cal tampak biasa saj
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b