Seperti halnya seorang pencuri yang ketahuan mengambil suatu barang, begitulah yang dirasakan oleh Amanda sekarang.Papa mertuanya duduk santai dan sepertinya paham semua pembicaraannya dengan ibunya di telepon. Tak dinyana pria paruh baya itu hanya diam menguping tanpa merasa bersalah sedikitpun."Papa?" Amanda belum bisa merespon secara benar. Logikanya masih tumpul."Kenapa kamu tidak jujur pada kami kalau kalian dirundung hutang? Hmm..." Papa mertuanya bangkit dari tidur."Papa, maaf Pa. Ini masalah internal keluarga kami saja. Saya tidak pantas jika harus membawa masalah ini ke keluarga Papa dan Mama. Itu akan terkesan lancang dan tidak tahu sopan santun!" Tuturnya penuh dengan kesopanan dan kesantunan.Amanda menunjukkan kebijakannya pada mertua. Meski memang dia tak terlalu dekat dengan Papanya ini."Siapa bilang kalau jujur itu lancang? Justru di keluarga kita, kejujuran adalah hal yang dijunjung tinggi dan diutamakan di atas segalanya..." Papa mertuanya mulai berkhotbah.Ini
Suara desiran ombak yang berkejaran membuat Amanda tak bisa mengalihkan pandangannya.Ia seperti anak remaja yang dibuat kagum oleh keindahan alam pantainya."Kamu sudah bangun?" Ronald menempelkan dagunya di ujung kepala Amanda.Istrinya itu sedang menikmati panorama yang selama ini tak pernah ia saksikan sendiri. Berada di villa yang lokasinya cukup dekat dengan pantai, membuatnya bisa menikmati keindahan alam ini kapanpun dia mau."Iya... aku tak bisa tidur sejak kita sampai. Rasanya sangat disayangkan kalau aku tak menikmatinya." Tuturnya sambil menegang sejenak ketika suaminya menyentuhnya dari belakang."Aku bisa cemburu, Amanda. Kalau kamu terlalu lama memandangi pantai itu. Aku khawatir kalau kamu sebenarnya sedang mencari seorang bule tampan yang barangkali mau membawamu pulang ke negara mereka." Goda Ronald pada istrinya itu.Lantas Amanda memukul pundak suaminya. "Sembarangan kamu, Mas?!""Aku tidak bohong. Ada salah satu i
Rasanya Ronald ingin melemparkan handphone itu ke laut saja. 'Kamu sudah tidur Princess?' Pesan yang masuk tentu saja membuat matanya tak percaya kalau dia tak melihatnya sendiri sekarang. Pengirimnya adalah Simon, kakaknya. Tak ada jawaban dari Amanda. Rupanya selama ia tinggalkan meeting tadi, seharian Amanda bertukar pesan dengan kakaknya. Meski Amanda tak menjawab dengan jawaban sama-sama mesranya, bagi Ronald ini sama saja. Karena di sederetan pesan-pesan itu, tak sekalipun Amanda meminta kakak iparnya untuk berhenti menggunakan kata-kata sebutan sayang ataupun princess. Seharusnya kelakuan saudara ipar tidak seperti ini, bukan? Namun karena Amanda masih terlelap, Ronald tak ingin membangunkan apalagi mengajaknya berdebat untuk urusan yang satu ini. Bisa jadi, Simon memang menyukai istrinya namun tidak halnya dengan Amanda. Bisa saja ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan! Segala kemungkinan muncul di benaknya, apakah memang ini yang sedang terjadi? Tapi... hal se
"Apa yang membuat kamu masih ragu memiliki anak, Mas?" Amanda menyela kegiatan sarapan Ronald. Suaminya langsung berhenti seketika.Bukannya Ronald tak suka pada anak-anak, dia suka dan bahkan semua orang juga tahu kalau dia begitu menyayangi Mila selama ini melebihi siapapun."Mas, aku janji aku akan merawatnya dengan sepenuh hati. Bukannya aku tidak akan berbakti juga padamu. Tapi, buatku anak akan membuat hari-hariku nanti menjadi lebih bahagia dan menyenangkan!" Tutur Amanda sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelasnya."Amanda, aku tahu kamu sangat menginginkan seorang anak. Tapi itu tidak mungkin untuk bisa terwujud dalam waktu dekat. Menurutku, kamu belum memiliki mental yang stabil..."Apa yang dimaksudnya dengan mental yang belum stabil? Apa Amanda ini sakit mental di mata Ronald?Hmm, ada-ada saja dia."Mas, aku sehat wal afiat. Aku baik-baik saja. Memang banyak masalah terjadi dan begitu juga dengan keadaan di rumahku sendiri. Tapi.. ini sama sekali tidak ada kaitannya de
Ronald akhirnya sampai di villa juga. Matanya terasa pedih setelah berhadapan dengan debu dan sengatan matahari."Mas, aku yakin kamu pasti akan terkejut setelah mengetahui ini..." Amanda berbeda ekspresinya dengan saat ditinggalkan oleh Ronald tadi.Kini dia sudah terlihat berbunga-bunga dan tak lagi kusut."Sini, Mas..." Amanda menarik lengan suaminya agar segera masuk ke dalam villa. "Sini cepat Mas..."Wanita muda cantik itu menunjukkan sebuah pesan yang masuk di handphone yang ia miliki. Suaminya masih belum paham dan menanyakan apa isi dari pesan panjang itu. "Mas... Kakakku sudah ditangkap kepolisian. Dugaan kita benar. Dia memang sedang terjerat kasus narkoba dan miras."Terlihat sebuah kelegaan terpancar dari kedua manik mata Amanda. "Mas?" Suaminya tak juga menanggapi apa yang sekarang dia ingin bagikan.Wanita cantik itu seketika tak melanjutkan kalimatnya. Dia menyadari ini bukanlah saat yang tepat.Ronald urung menanggapi dan masih larut dalam lamunannya sendiri. Belum i
Setiap orang memang memerlukan waktu untuk jeda sejenak. Begitu juga Ronald yang saat ini masih mencoba menata ulang hidupnya.Dipandanginya istrinya yang sedang tertidur lelap di dini hari. Sejak menjelang waktu malam, Amanda sudah menunjukkan sinyal untuk mencoba lagi malam ini peruntungan mereka. Sayangnya Amanda tak terlalu pandai dalam menyembunyikan semua.Ronald yakin kalau memang istrinya sekarang sedang hamil. Ini sama persis dengan kejadian beberapa tahun lalu ketika Olivia mengabarkan padanya perihal kehamilannya.Mila.Saat itu ia tak pernah menyangka kalau hubungan mereka akan menghasilkan seorang bayi cantik bermata bening.Hatinya gusar, adakah ini adalah balasan dari Tuhan atas apa yang diperbuatnya dulu?Ronald yakin dan tahu siapa kemungkinan ayah yang janinnya sekarang sedang tumbuh di tubuh istrinya. Siapa lagi kalau bukan Simon, kakaknya sendiri.Firasatnya benar-benar kuat."Mas, belum tidur?" Amanda terbangun. Lalu dia tak sengaja mengelus pipinya yang dingin.
"Simon, apa sebaiknya Mama ke Bali saja ya menyusul mereka?"Mamanya bertanya pada Simon yang seakan sudah pergi ke dimensi lain. Meraba-raba akan bagaimana jadinya anak itu kelak jika saja ia bisa hidup dan bertahan lebih lama.Bahkan dia belum bisa dipeluk atau dicium. Belum terlihat wujudnya akan seperti siapa nanti."Simon?" Panggilan itu terdengar lagi."Ah, apa? Iya Ma! Sepertinya iya." Jawabnya asal. Itu adalah kalimat yang aman ketika akan digunakan untuk menjawab pertanyaan apapun.Sebenarnya dia tak terlalu berkonsentrasi atas apa yang tadi dikatakan oleh mamanya."Jadi, Mama nggak apa-apa kan kalau menyusul mereka?" Mamanya meminta izin karena sepertinya Simon akan sedikit kerepotan meng-handle Mila sekaligus pekerjaan tanpa sang mama."Hm... sebenarnya aku sedang ada rencana meeting di Bali, Ma. Klien-ku dari Australia mengajak ketemu besok lusa." Simon teringat pada beberapa rekanan bisnis yang akan mengajaknya bertemu juga besok lusa itu.Rencana awalnya, Simon tak akan
"Anak kita?" Simon menegaskan sekali lagi pernyataan Amanda.Apakah benar dugaan dan perhitungannya kalau memang anak dalam rahim wanita yang kini terbaring lemah ini, adalah anaknya?Jadi, Simon benar-benar bisa memiliki keturunan!"Simon... diamlah dulu. Aku mau istirahat." Amanda keberatan saat dia ditanya-tanya dengan berbagai pertanyaan sulit."Tunggu, kamu bilang itu anak kita kan?" Simon sekali lagi bertanya.Jadi, instink-nya selama ini benar adanya. Adanya perasaan terikat secara batin dengan bayi yang dikandung Amanda, itu berarti memang sebuah sinyal adanya hubungan darah.Bahkan ketika bayi itu belum bernyawa sempurna.Atau..."Aku sudah merasakan detak jantungnya, Simon..." Bisik Amanda pelan.Wanita bermata bulat itu ingin sekali menangis. Tapi kekuatannya belum sepenuhnya pulih untuk melakukan itu."Amanda, aku ikut berduka cita... Itu bukan semata-mata salahmu. Kamu... tidak bersalah. Ini ada
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di