"Simon, apa sebaiknya Mama ke Bali saja ya menyusul mereka?"Mamanya bertanya pada Simon yang seakan sudah pergi ke dimensi lain. Meraba-raba akan bagaimana jadinya anak itu kelak jika saja ia bisa hidup dan bertahan lebih lama.Bahkan dia belum bisa dipeluk atau dicium. Belum terlihat wujudnya akan seperti siapa nanti."Simon?" Panggilan itu terdengar lagi."Ah, apa? Iya Ma! Sepertinya iya." Jawabnya asal. Itu adalah kalimat yang aman ketika akan digunakan untuk menjawab pertanyaan apapun.Sebenarnya dia tak terlalu berkonsentrasi atas apa yang tadi dikatakan oleh mamanya."Jadi, Mama nggak apa-apa kan kalau menyusul mereka?" Mamanya meminta izin karena sepertinya Simon akan sedikit kerepotan meng-handle Mila sekaligus pekerjaan tanpa sang mama."Hm... sebenarnya aku sedang ada rencana meeting di Bali, Ma. Klien-ku dari Australia mengajak ketemu besok lusa." Simon teringat pada beberapa rekanan bisnis yang akan mengajaknya bertemu juga besok lusa itu.Rencana awalnya, Simon tak akan
"Anak kita?" Simon menegaskan sekali lagi pernyataan Amanda.Apakah benar dugaan dan perhitungannya kalau memang anak dalam rahim wanita yang kini terbaring lemah ini, adalah anaknya?Jadi, Simon benar-benar bisa memiliki keturunan!"Simon... diamlah dulu. Aku mau istirahat." Amanda keberatan saat dia ditanya-tanya dengan berbagai pertanyaan sulit."Tunggu, kamu bilang itu anak kita kan?" Simon sekali lagi bertanya.Jadi, instink-nya selama ini benar adanya. Adanya perasaan terikat secara batin dengan bayi yang dikandung Amanda, itu berarti memang sebuah sinyal adanya hubungan darah.Bahkan ketika bayi itu belum bernyawa sempurna.Atau..."Aku sudah merasakan detak jantungnya, Simon..." Bisik Amanda pelan.Wanita bermata bulat itu ingin sekali menangis. Tapi kekuatannya belum sepenuhnya pulih untuk melakukan itu."Amanda, aku ikut berduka cita... Itu bukan semata-mata salahmu. Kamu... tidak bersalah. Ini ada
"Hmm, hmm..." Suara Amanda terdengar lagi. Dia bangun dan melihat Simon sudah tak ada di dekatnya lagi. Yang ada justru Ronald. Lelaki itu tertidur pulas di kursi panjang untuk penunggu pasien. "Ke mana Simon?" Dia lupa kalau handphone-nya ketinggalan di kamar villa. Eh, tapi setelah dia melihat sekilas, ada handphone dengan casing warna pink yang dia punya. Bisa saja tadi Ronald mengambilkannya saat di rumah. Sebuah pesan masuk dari Simon. 'Cepat pulih ya. Aku harus pergi soalnya mau persiapan untuk meeting besok.' Amanda sedikit gugup karena tak pernah membuka pesan dari Simon di saat Ronald ada di dekatnya, apalagi dalam ruangan kecil begini. Dia tak kunjung membalas dan meletakkan handphone-nya kembali. Sekitar satu jam kemudian, barulah suaminya terbangun dan terkejut melihat istrinya sudah duduk di tempat tidur. "Kamu sudah bangun?" Ronald menguap. "Aku mau minum..." Apa? Bukankah harus menunggu sampai nanti sore baru minum? Ronald menghitung kembali kapan Amanda ke
Papanya lantas terdiam karena melihat sang istri yang tak seperti biasanya. Baru kali ini saja saat dia membuat candaan, istrinya tidak menyahut sama sekali.Bisa jadi karena apa yang dia sampaikan untuk bercanda tadi adalah hal yang secara tak langsung membuat salah satu orang yang ada di meja ini sakit hati."Apa sebaiknya Amanda ini diperiksakan ke dokter saja?" Mertua perempuannya itu berkata.Ada rasa cemas dan khawatir bagaimana kondisi kandungan menantunya pasca tragedi keguguran. Apalagi dia baru mendapatkan kabar dari salah satu teman arisannya kalau anak perempuannya setelah keguguran tak kunjung hamil lagi."Apa kamu tidak mau mengecek rahim kamu lagi?" Sambung mama mertuanya khawatir.Bagaimanapun Amanda diharapkan oleh keluarga besar untuk segera mengandung dan menjadi penerus generasi di keluarga Ronald. Secara resmi, Ronald belum memiliki keturunan sah yang tercatat. Ini akan berpengaruh pada proses kelangsungan pembagian waris di kemudian hari. Mamanya tidak mau anak s
Saat Ronald membuka kamarnya dengan pelan-pelan, Amanda tampak sedang mengenakan pakaian. Rupanya dia baru saja mandi dan membersihkan diri. Aroma wangi khas sabun yang dia pakai memenuhi seluruh ruangan. Wangi yang dulu sering dia pakai saat awal-awal masa pernikahan. Ronald menganggap ini adalah sebuah perubahan yang boleh dibilang baik. Itu tandanya Amanda ingin memulai sesuatu yang baru dengan kehidupannya. "Amanda?" Ronald menyapa. Wanita muda bertubuh berisi itu kini cepat-cepat memakai baju luarnya. "Mas Ronald?" Dia kaget karena baru saja selesai memakai bra dan celana dalam berwarna senada. Terhitung hari ini, tepat sebulan lebih setelah Amanda keguguran. Barulah Ronald sadar sudah selama itu pula dia tak menyentuhnya sama sekali. Menghirup aroma tubuh istrinya, membuatnya merasakan rindu yang membuncah seketika. "Apa kamu sudah baikan?" Ronald sengaja mengetes istrinya. Jika dia berun
"Amanda... terima kasih!" Ucapan itu didengarkannya di telinga istrinya berkali-kali.Bahkan ketika keduanya makan pagi di depan banyak orang. Tatapan mata mereka saling beradu. Sudah lebih mirip seperti manisnya sepasang pengantin baru.Amanda tersipu malu dan menunduk.Ia pun melepas keberangkatan suaminya ke tempat kerja dan mengantarkannya sampai depan pintu.Mama mertuanya tampak sibuk sehingga tak berlama-lama di meja makan seperti biasanya. Tinggal Amanda sendirian apalagi Mila juga sudah berpamitan akan berangkat bersama Ronald.Papa mertuanya juga hari ini harus ke kantor karena ada urusan penting yang harus diselesaikan."Semua orang sudah berangkat?" Simon tampak tergesa-gesa turun dari tangga dan mendapati meja makan sudah kosong.Hanya beberapa pembantu bekerja membereskan hidangan yang masih tersisa."Iya. Semua sudah pergi." Amanda rupanya berdiri di dekat pintu lebar yang menghadap ke kolam renang.Simon
"Amanda?!" Mamanya terus menggedor pintunya. Suaranya semakin terdengar jelas. "Apa anak itu tertidur di dalam?" Mertuanya bergumam sendiri. Dia sebenarnya hanya ingin pamit mau ke luar kota sebentar. "Iya, Ma?" Sahut Amanda seolah-olah baru bangun tidur. "Kamu tidur?" Mamanya bertanya tapi masih menempelkan telinganya di pintu. "Iya, Ma. Ketiduran. Mama ada perlu apa?" Tanya Amanda masih dengan nada malas. "Tidak ada apa-apa. Mama hanya mau bilang akan ke luar kota. Kebetulan Mama dan Papa mau pergi. Ini Mama mau menyusul Papamu ke kantor. Jadi, hati-hati di rumah ya? Kalau perlu apa-apa kamu bisa minta tolong pembantu. Mama pergi dulu..." Tak lama kemudian Mamanya pergi menjauh. "Bagaimana bisa Mama pergi sementara Ronald katanya juga mau melakukan business trip minggu ini?" Amanda bergumam sendiri. Mengkhawatirkan bagaimana nanti dirinya jika tidak ada seorangpun di rumah. Mila dikabarkan juga akan ikut karena langsung dijemput ke sekolahnya."Apa yang kamu khawatirkan?"
Amanda benar-benar menjadi sosok yang sangat manja.Setelah dia bangun dengan sempurna dan bermaksud untuk mandi di hari yang sudah malam, dia tak mau ditinggalkan oleh Simon. Pikiran lelaki tampan itu mulai gusar karena apa jadinya jika dia berada di sini lebih lama lagi.Tentu bisa-bisa nanti kekacauan yang lebih dahsyat akan terjadi. Tapi saat ini dia tak punya pilihan selain menuruti apa yang dimau oleh Amanda. Dia memang keras kepala, tapi itu juga yang membuat kamu menyukainya! Bisik-bisik dari kata hatinya mulai mengusik.Tunggu saja nanti setelah dia selesai mandi, lalu katakan kamu ngantuk dan mau istirahat di kamar. Gitu saja kok repot... Bagian dirinya yang lain ikut mengusulkan.Simon bingung berada di antara dua pilihan. Bunyi shower di kamar mandi sudah terhenti.Tak lama kemudian, Amanda keluar dari kamar mandi dan menjumpainya lagi."Simon, aku minta maaf merepotkanmu ya?" Katanya dengan penuh arti."Iya, aku mengantuk sekarang. Aku mau tidur dulu." Bagus, Simon. De
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di