Maunya apa Ronald ini sebenarnya?Setelah Amanda menemukan bukti bungkusan bekas alat pengaman itu, pikirannya mulai kacau. Kenapa harus menemukannya di saat dia sedang berikhtiar untuk memiliki keturunan?!Tangan Amanda meremas-remas bungkus plastik kecil itu dengan kedua jarinya. Ingin sekali dia membakar untuk menghilangkan barang bukti itu agar pikirannya tidak dipenuhi oleh bayang-bayang tak senonoh soal suaminya."Hai... kenapa melamun?" Sikap Ronald memang semakin perhatian setelah dia memproklamirkan untuk bersedia mengandung anaknya.Tangannya meraih punggung Amanda yang sekarang untuk mendekatinya.Dia terkejut dan ingin menjauh karena tahu kelakuan suaminya di luar rumah."Amanda, apa ibumu menelpon lagi? Atau kakakmu mendatangimu saat aku tidak di rumah?" Ronald menanyainya dengan penuh perhatian.Dia menggeleng. Matanya masih menatap ke depan tapi tidak ke arah Ronald. Rasanya sudah tak sudi lagi dia memandang suaminya sendiri.Percuma Ronald mengatakan padanya untuk menj
Mertuanya seakan tahu begiti banyaknya rasa yang sekarang bergulat di benaknya.Tak tahu lagi Amanda harus memulai bercerita dari mana. Dia masih merapatkan setiap momen kurang menyenangkannya dengan Ronald dalam otaknya.Rasanya dia mau mati saja kalau ingat rasa sakit hati yang ia alami sekarang ini. Tumpukan luka yang seakan tak ada habisnya.Ronald memang ahlinya membuat Amanda menangisi nasibnya."Ma..." Amanda tak kuasa melanjutkan cerita. Dia lebih memilih untuk diam dan menikmati setiap belaian mertuanya pada rambutnya yang panjang."Amanda... Maafkan Mama yang tak di sampingmu ya selama ini..." Mertuanya mengelus rambut itu dengan penuh kasih.Seandainya mertuanya tidak baik begini, meski sebelumnya Amanda pernah memergoki perbuatan gibah mertuanya dengan temannya soal dirinya, sekarang ia sudah bisa menjalin hubungan dengan baik.Baginya sekarang hanya mertuanya seorang di rumah ini yang bisa diajak kompromi."Apa Ronald berbuat ulah lagi? Bersabarlah Amanda... Mama minta m
"Apa maksud kamu ini bekas milik Papa?" Kalimat spontan yang keluar dari mulut Ronald membuat Mamanya meradang.Siapa yang kuat dengan pengakuan tulus anak soal suaminya sendiri? Dan sudah tentu ini bukanlah yang pertama kali."Mama cari saja di loker tempat ruang kerja Papa. Pasti menemukan tidak hanya satu atau dua. Kecuali kalau pelakunya sudah disuruh untuk membersihkan barang bukti ini dan membuangnya ke tong sampah." Kata Ronald sambil mengelap bibirnya dengan lap makan disusul dengan mengambil kunci mobil di meja makan."Ronald, jangan bercanda kamu! Ini fitnah kalau apa yang kamu sampaikan adalah dusta." Mamanya mengingatkannya. Ronald tak bergeming. Sebenarnya dia tak mau melakukan ini tapi karena dirinya terpojokkan, dia mulai berpikir untuk menyelamatkan pernikahannya sekarang."Aku tidak mengada-ada, Ma. Semua ini adalah fakta. Siapa yang memangnya mau menuduh dan pura-pura memperburuk citra keluarga?" Ronald tentu saja membalik argumen Mamanya. "Papa memang sejak dulu kan
Kata-kata mertuanya itu masih terngiang-ngiang di telinga Amanda.Siapa orang yang kemungkinan sedang dekat dengan Papa mertuanya selama ini? Hmm, Amanda sendiri tak yakin apakah dugaannya ini benar.Beberapa hari berlalu, namun pembicaraan mereka masih seputar siapa wanita idaman lain yang biasanya menghabiskan waktu dengan Papa Ronald."Siapa ya Ma?" Amanda saat berbincang itu hanya meraba-raba kemungkinan yang ia tahu.Itupun sebatas insting yang bisa jadi meleset jauh dari fakta yang sebenarnya. Sepengetahuannya, ada beberapa orang pembantu di rumahnya yang ia jadikan tersangka.Dua di antaranya memang masih berusia muda, di antara usia dua puluh limaan.Ada lagi dua orang yang Amanda sempat menaruh curiga, yaitu pembantu yang biasanya mengambil baju kotor di tempat tidur Papa mertua dan Mama mertuanya. Usianya sudah empat puluhan.Kalau dilihat penampilannya, memang dia masih terlihat cukup muda meski sudah menginjak kepala empat.Setahu Amanda, dia adalah yang paling lemah lembu
Seperti layaknya seorang pengamat profesional, Amanda sedikit menyembunyikan pengamatannya dari Dahlia.Ronald yang tak tahu apa-apa ikut-ikutan menyelidiki. "Dahlia, apa kamu sudah membersihkan kamar-kamar Simon dan Papa?"Dahlia tentu saja terkejut. Bukankah mereka belum kembali? Untuk apa dibersihkan..."Memangnya kenapa Tuan Ronald?""Kamu belum tahu kalau Papa dan Simon akan segera pulang ke sini?" Tanya Ronald lagi.Dahlia menggelengkan kepala dan pandangannya tertuju pada Ronald. Amanda baru menyadari kalau Dahlia terlihat juga 'bernafsu' pada pemuda yang lebih muda usianya darinya."Benarkah?"Amanda melihat sendiri kalau Dahlia terlihat berkaca-kaca dan tampak sumringah ketika mendengar Ronald menjelaskan kabar baik itu."Betul. Mereka pulang minggu depan. Kabar baiknya lagi, kalian diperkenankan untuk menyambut kedatangan mereka Sabtu depan dan jangan lupa... Karena Simon baru saja dari luar negeri dalam waktu yang lama, kalian para staff dan yang lain boleh berdandan bebas
Selesai acara penyambutan, Simon tampak sibuk menemani Zara mengelilingi rumah. Namun sesekali mereka tampak duduk karena memang ia belum diperbolehkan berjalan jauh atau terlalu capek."Kamu terlihat semakin gagah, Simon." Puji Mamanya."Sama aja lah, Ma..." Dia malu-malu mendengarnya. Matanya masih melirik di kejauhan tampak Mila bermain dengan Amanda.Keduanya tampak seru memainkan boneka-bonekaan dan merasa dunia hanya milik mereka berdua."Ya memang itu kenyataannya. Mama senang akhirnya kamu bisa berubah menjadi lebih baik lagi." Mamanya memujinya lagi."Ma, ini semua berkat doa dan dukungan Mama juga!" Simon memeluknya namun perhatiannya tetap pada Amanda yang berada di sisi belakang mamanya berdiri.Lama tak bertemu, Amanda terlihat semakin glowing dan menawan."Ngomong-ngomong, Zara apa tidak mau istirahat dulu? Antarkan dia ke kamarnya..." Mamanya menyuruh Simon untuk menunjukkan ruangan tidur Zara."Mmm, tidak apa-ap
Amanda tak lagi bereaksi saat Ronald mulai menyentuhnya malam ini. Dia hanya diam dan menyerahkan diri sepenuhnya pada suaminya."Amanda, kamu kenapa ini?" Ronald menghentikan ciumannya karena istri cantiknya hanya terdiam."Kamu sakit?" Tanya Ronald lalu memeriksa kening istrinya. Hanya sedikit lebih hangat dari suhu tubuhnya."Nggak, Mas. Hanya saja aku tidak mood malam ini. Maaf ya?" Kata Amanda sambil menatap suaminya.Mengetahui kejujuran istrinya, Ronald seolah merasakan disiram air es pada hasratnya yang tadinya menggelora. Padam seketika!"Maaf ya Mas..." Ia menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Begitu juga Ronald yang tiba-tiba memakai kembali kaos dan celana pendeknya lalu membaringkan diri di sofa kamar. Sejenak terlihat dia frustasi namun walau bagaimanapun dia tak bisa memaksa sang istri untuk melayaninya.Sudah dua kali berturut-turut Amanda mengatakan sedang tidak mood. Ronald hanya berbaik sangka dan mengira mungkin saja ia sedang hamil? Bisa jadi.Karena suasana r
"Ronald sudah berangkat, Amanda?" Mertuanya menyusul berdiri di teras depan.Amanda menganggukkan kepala lalu menunggu, biasanya sang mertua akan membutuhkan sesuatu jika mendekatinya.Entah itu hanya untuk sekedar mengobrol atau menemaninya berbelanja. Terkadang juga menemaninya kontrol ke dokter untuk medical check up rutin."Sudah, Ma. Apa Mama perlu sesuatu?""Nggak juga. Mama hanya ingin ditemani belanja. Bisa?"Sudah dia duga kalau mertuanya ingin ditemani belanja. Amanda mengangguk setuju. Ia juga sedang ingin merefresh pikirannya yang sejak semalam seperti dihantui rasa bersalah."Saya ganti baju dulu, Ma. Sebentar ya?" Amanda kembali ke kamar lalu memilih beberapa pakaian yang akan dia kenakan. Karena tak mau membuat mertuanya lama menunggu, dia putuskan memakai midi dress warna hitam dengan hand bag warna senada.Sepatu yang ia kenakan sengaja warna kecokelatan yang dulu ia sempat beli di Jerman. "Bagus sepatunya..." Mertuanya memuji. Penglihatannya selalu awas jika ia mem
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di