Selesai acara penyambutan, Simon tampak sibuk menemani Zara mengelilingi rumah. Namun sesekali mereka tampak duduk karena memang ia belum diperbolehkan berjalan jauh atau terlalu capek."Kamu terlihat semakin gagah, Simon." Puji Mamanya."Sama aja lah, Ma..." Dia malu-malu mendengarnya. Matanya masih melirik di kejauhan tampak Mila bermain dengan Amanda.Keduanya tampak seru memainkan boneka-bonekaan dan merasa dunia hanya milik mereka berdua."Ya memang itu kenyataannya. Mama senang akhirnya kamu bisa berubah menjadi lebih baik lagi." Mamanya memujinya lagi."Ma, ini semua berkat doa dan dukungan Mama juga!" Simon memeluknya namun perhatiannya tetap pada Amanda yang berada di sisi belakang mamanya berdiri.Lama tak bertemu, Amanda terlihat semakin glowing dan menawan."Ngomong-ngomong, Zara apa tidak mau istirahat dulu? Antarkan dia ke kamarnya..." Mamanya menyuruh Simon untuk menunjukkan ruangan tidur Zara."Mmm, tidak apa-ap
Amanda tak lagi bereaksi saat Ronald mulai menyentuhnya malam ini. Dia hanya diam dan menyerahkan diri sepenuhnya pada suaminya."Amanda, kamu kenapa ini?" Ronald menghentikan ciumannya karena istri cantiknya hanya terdiam."Kamu sakit?" Tanya Ronald lalu memeriksa kening istrinya. Hanya sedikit lebih hangat dari suhu tubuhnya."Nggak, Mas. Hanya saja aku tidak mood malam ini. Maaf ya?" Kata Amanda sambil menatap suaminya.Mengetahui kejujuran istrinya, Ronald seolah merasakan disiram air es pada hasratnya yang tadinya menggelora. Padam seketika!"Maaf ya Mas..." Ia menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Begitu juga Ronald yang tiba-tiba memakai kembali kaos dan celana pendeknya lalu membaringkan diri di sofa kamar. Sejenak terlihat dia frustasi namun walau bagaimanapun dia tak bisa memaksa sang istri untuk melayaninya.Sudah dua kali berturut-turut Amanda mengatakan sedang tidak mood. Ronald hanya berbaik sangka dan mengira mungkin saja ia sedang hamil? Bisa jadi.Karena suasana r
"Ronald sudah berangkat, Amanda?" Mertuanya menyusul berdiri di teras depan.Amanda menganggukkan kepala lalu menunggu, biasanya sang mertua akan membutuhkan sesuatu jika mendekatinya.Entah itu hanya untuk sekedar mengobrol atau menemaninya berbelanja. Terkadang juga menemaninya kontrol ke dokter untuk medical check up rutin."Sudah, Ma. Apa Mama perlu sesuatu?""Nggak juga. Mama hanya ingin ditemani belanja. Bisa?"Sudah dia duga kalau mertuanya ingin ditemani belanja. Amanda mengangguk setuju. Ia juga sedang ingin merefresh pikirannya yang sejak semalam seperti dihantui rasa bersalah."Saya ganti baju dulu, Ma. Sebentar ya?" Amanda kembali ke kamar lalu memilih beberapa pakaian yang akan dia kenakan. Karena tak mau membuat mertuanya lama menunggu, dia putuskan memakai midi dress warna hitam dengan hand bag warna senada.Sepatu yang ia kenakan sengaja warna kecokelatan yang dulu ia sempat beli di Jerman. "Bagus sepatunya..." Mertuanya memuji. Penglihatannya selalu awas jika ia mem
"Si-Simon? Apa yang kamu lakukan di sini?" Amanda meletakkan kembali gaun itu ke raknya dan cepat-cepatt mengambil jarak dengan iparnya itu."Mama yang memintaku datang sekalian mau diajak makan siang..." Jawabnya santai.Sejak bisa berjalan lagi, Simon kerap mendadak berada di dekatnya. Ini yang membuat Amanda salah tingkah."Simon, kamu sudah datang?" Bella menyambutnya.Diapun memeluk dan membiarkan Simon mencium pipi kiri dan kanannya. Sedangkan Amanda mengalihkan pandangan karena tak nyaman menyaksikan hal itu.Mata Simon melirik dan tertawa dalam hati melihat reaksi wanita itu.Tangannya sengaja tetap diletakkannya di pinggang Bella sambil berjalan menuju ke lobby depan."Ma, sudah?" Tanya Amanda saat tahu mertuanya selesai berganti baju."Iya, sudah. Itu Simon sepertinya sudah datang. Ini rencananya mau tak ajak makan siang sama Bella sekalian. Kamu ikut ya untuk memberi skor ke Bella. Mana tahu kamu bisa menilai lebih obyektif dari Mama..." Kemudian mertuanya menyerahkan baju
Amanda tak punya pilihan selain masuk ke mobil dan duduk manis layaknya seorang penumpang biasa. Simon yang sepertinya di masa lalu memang mahir menyetir, kini sudah mendapatkan kembali keahliannya itu. "Mana alamat rumahmu?" Tanya Simon memecah keheningan. Amanda tak menjawab dan masih saja diam menunjukkan marahnya. "Turunkan aku di perbatasan saja. Lalu kamu boleh kembali ke resto." Ucapnya dingin. Amanda sudah seperti tercekik rasanya berada semobil dengan iparnya itu. "Lalu bagaimana kamu menuju tempat ibumu?" Simon sedikit memelankan mobilnya lalu minggir ke kiri agar bisa menepi. "Kenapa berhenti?" Amanda bertanya pada Simon yang tiba-tiba memberhentikan mesin. "Aku tahu masalahmu. Kamu tidak suka aku mengantarkanmu, bukan?" Simon membuka pintu mobil lalu keluar. Dia banting sekeras mungkin pintu mobilnya. Lalu berdiri di pagar pengaman jembatan sambil entah meneriakkan apa. Amanda hanya duduk di mobil menahan diri. Jika saja dia bisa menyetir, pasti mobil ini sudah
"Siapa yang ke rumah?" Ibu Amanda bertanya balik karena tidak bertemu dengan siapa-siapa. Bahkan Amanda sudah tak pernah bertemu maupun kontak sama sekali setelah bertemu dengannya beberapa minggu lalu. "Amanda!" Mertua Amanda menjelaskan. Bagaimana mungkin Amanda ke rumahnya? "Saya tidak pernah bertemu Amanda selama berhari-hari." Dia malah gantian curhat mumpung ada besannya sekalian. Sebenarnya ia datang berkunjung demi menanyakan cek yang sampai saat ini belum juga diberikan oleh anak perempuannya itu. Rupanya Amanda jg sedang ada masalah di rumah. Hmmm, ini adalah sebuah kesempatan. "Bagaimana bisa, sejak tadi dia tidak ada di rumah. Saya juga tidak mendapatkan telpon darinya juga." Kesempatan aji mumpung ini, batin ibunya.Kapan lagi bisa mencari celah untuk lebih dekat dengan besan kalau bukan sekarang! Ibu Amanda sekarang sudah mulai ancang-ancang untuk menaklukkan besannya agar lebih percaya padanya daripada anaknya sendiri. Siapa tahu setelah ini bisa dapat banyak aliran
Amanda malu semalu-malunya saat Simon berhasil menelisik kelemahannya. Rupanya lelaki itu berhasil mendeteksi kalau dia juga ikut hanyut dalam buaiannya."Simon, aku hanya terbawa suasana." Akunya sambil mencoba meyakinkan Simon dengan kalimat yang terkesan tegas."Oke, oke, aku percaya kalau kamu terbawa suasana..." Simon meletakkan backpack itu ke atas meja lalu mendekati Amanda yang terlihat bimbang."Simon, jangan dekat-dekat aku! Menyingkirlah karena aku akan mencari baju-bajuku." Amanda tak bisa berkonsentrasi hanya dengan melihat tatapan iparnya."Aku tidak melakukan apapun. Kenapa kamu merasa salah tingkah begitu? Aku hanya membantumu mencari di mana bajumu!" "Hmmm... di mana-mana tidak ada. Apa kamu sembunyikan?" Tuduh Amanda pada Simon.Pria berwajah tampan itu lantas tertawa. "Iya, aku memang sengaja sembunyikan agar kamu tetap berada di sini dan tak bisa ke mana-mana. Mau apa kamu?"Raut muka Amanda merah padam. Betapa teganya Simon pada dirinya dan mengurungnya di sini d
Tak tahu harus bagaimana lagi yang diperbuat, Amanda merasa satu-satunya cara sekarang yang bisa dia lakukan adalah pulang ke rumah Ronald."Antarkan aku pulang sekarang!" Matanya sudah terlihat berkaca-kaca hampir menangis.Wanita yang biasa manja itu kini terlihat lemah dan tak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi kesalah pahaman ini."Dengan baju seperti ini? Rambutmu masih acak-acakan dan aku minta maaf...aku meninggalkan jejak di..." Tangan Simon membuka baju yang dinekakan Amanda. Lalu dia menunjuk ke dada atas bagian kanan dan punggung sebelah kiri. "Di sini...dan di sini lagi."Terdapat bekas gigitan di sana sini di kulitnya yang putih bersih itu. Warna kulit tempat Simon meninggalkan jejaknya tampak lebih memerah dan nyata perbedaannya dengan kulit yang lain.Matanya tampak dari cermin di hadapannya menunjukkan ekspresi malu-malu. Simon baru kali ini merasa speechless dan tak tahu kalau perbuatannya tadi meninggalkan tanda sebanyak ini.Amanda merasa ini bukan waktunya untu
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di