Amanda memang seperti seorang yang berkepribadian layaknya buku yang terbuka. Dia mudah dibaca oleh siapapun.Termasuk oleh Simon. Meski dia lebih belakangan kenal dengan wanita itu, tapi Amanda merasa dialah yang lebih mengenalnya daripada Ronald.“Amanda, sekarang tidurlah. Besok di acara outbond, anak-anak harus ditemani oleh ibu masing-masing.” Kata Simon dan kemudian baru menyadari kesalahan kalimatnya. “Ehm, maksudku ditemani oleh anggota keluarganya yang perempuan.”Lalu Amanda tersenyum dan menutup matanya sebelum Simon pergi. Karena jika dia tak melakukannya, Simon tidak akan pernah meninggalkan tendanya.Keesokan harinya, Mila bangun kesiangan. Mungkin karena pengaruh cuaca yang dingin dan suhu benar-benar turun di bandingkan hari-hari sebelumnya.“Tante, semua temanku sudah mandi?” Mila nampak gugup saat melihat semua sudah siap.“Tidak apa-apa. Sekarang kamu bawa perlengkapan mandi saja.
Acara outbound selesai lebih awal dari yang direncanakan. Di luar perkiraan, turun hujan yang cukup deras di kawasan pegunungan."Siapa sangka hujan turun di musim kemarau begini ya, Mila." Amanda mencoba menghibur keponakannya yang terlihat murung karena tidak bisa menikmati permainan sampai selesai."Kenapa harus dihentikan? Padahal aku pengen main manjat-manjat tadi, Te!" Rengeknya lagi."Kita tunggu saja nanti kalau sudah reda hujannya nanti baru kita main lagi." Amanda mengatakannya hanya untuk menenangkan keponakannya. Dia tahu kalau mendung yang penuh seperti ini tentu saja hujan akan berlangsung lama."Jam berapa redanya?" Tanya Mila sambil tersedu-sedu. Tangisannya belum bisa berhenti karena sebenarnya dia sangat menyukai main hujan-hujanan juga."Ya kita lihat saja. Semoga tidak lama lagi bisa reda ya?" Tantenya menghibur agar keponakannya tidak terus menerus menangis."Sekarang kita main apa ya enaknya?" kata Amanda untuk mengalihkan perhatian Mila."Tante, kenapa kita ngg
"Kakak, apa baik-baik saja?" Seorang pelayan toko langsung menghampiri Amanda dan membantu mengumpulkan roti-roti yang berjatuhan.Tangannya masih gemetaran tidak bisa bergerak. Tak dinyana rupanya Ronald memang sama saja dengan playboy super rich lainnya."Iya saya agak kepleset tadi." Jawabnya menutup-nutupi alasan yang sebenarnya.Suara pembaca berita melanjutkan deskripsi singkat tentang sosok berinisial C tadi.[...Nona C ini adalah seorang high quality single lady yang menjadi perbincangan hangat karena dia dikabarkan bukan orang sembarangan. Sementara ini belum bisa dikonfirmasi lebih lanjut karena sedang mengikuti konferens.Tidak dipungkiri ketertarikan di antara keduanya terjadi. Siapa yang tidak kenal dengan Ronald Anderson. Pria berusia tiga puluh lima tahun ini adalah seorang entrepreneur yang kiprahnya di dunia bisnis tidak diragukan lagi....]Amanda mencoba menutup rapat telinganya dari suara pembawa acara itu. Tanpa banyak bicara lagi, segera dia mengeluarkan dompet un
Rencana Amanda untuk pulang ke rumah ibunya lagi ia batalkan. Dia bukanlah seorang pengecut yang menggunakan upaya lari dari masalah untuk solusinya.Kali ini dia harus berani dan membuat rencana baru.Mama mertuanya yang terlihat amat menyayanginya rupanya hanyalah sebatas kedok. Orang kaya memang sering dikatakan oleh ibunya bermain dua kaki.Tak pernah tahu ke mana hatinya condong."Amanda, setelah kamu siap, nanti tolong kamu awasi Mila ya? Mama sudah tua, jadi kalau di bandara tentu sulit untuk mengkondisikan dia." Ujarnya ramah seperti biasa.Jika kemarin-kemarin ini terdengar sangat manis, sekarang bagi Amanda terdengar seperti racun yang dibungkus dengan madu."Baik Ma, akan saya jaga dan awasi dia. Mama tenang saja ya?" Dia memastikan tidak ada yang berubah dan tidak ada yang perlu dicurigai."Oke, barang-barangmu sudah dibawa ke bawah semua?" Mertuanya menanyakan soal koper dan bawaan lain.Terdengar begitu perhatian dan sangat baik. Jika Amanda tidak menguping pembicaraan d
"Amanda, tak kusangka kamu akan melakukan hal semacam ini. Kamu memang wanita murahan dan rendahan!" Kalimat sumpah serapah dan makian terdengar jelas di telinga Amanda sekarang.Terlebih dia melihat langsung ekspresi Ronald yang tak bisa ditutup-tutupi lagi. Matanya melotot dan nafasnya mulai berjarak semakin pendek.Berhasil. Akhirnya dia merasakan apa yang dirasakan oleh dirinya kemarin."Ronald, dengarkan dulu penjelasanku." Amanda pura-pura ketakutan dan pura-pura takut kehilangan."Tidak perlu. Aku sudah tahu wanita macam apa kamu sekarang! Kamu hanya haus kasih sayang laki-laki. Baru aku tinggal seminggu lebih, kamu sudah berbuat mesum dengan kakakku. Menjijikkan!" Umpatan Ronald sama sekali tidak membuat Amanda marah apalagi naik pitam.Dia menghadapi reaksi itu dengan santai dan tenang meski mata dan wajahnya dia buat sesedih mungkin."Maafkan aku, Ronald. Aku... aku bukan istri yang baik. Sebaiknya memang aku mundur dari pernikahan ini!" Ucapnya sambil menangis sesenggukan.
Amanda merasa ngilu di bagian intinya. Ada sisa-sisa rasa remuk yang menyelimuti dirinya.Dibukanya selimut yang dikenakan tinggal menutup pinggangnya saja. Area bawahnya terasa tak memakai apa-apa.Astaga! Di mana ini?Dia melihat sesosok pria berjambang tipis yang terlelap di sampingnya. Simon?Barulah sekarang dia ingat kalau semalam... ah, padahal mereka berdua tidak sedang mabuk.Bagaimana mungkin dia bisa terbawa suasana dan menghabiskan malam terlarang dengan kakak suaminya?Ini tidak benar.Kakinya menyentuh kaki Simon yang menindihnya. Gerakan itu sudah cukup membuat pria tampan itu membuka mata meskipun belum sepenuhnya."Hai, Amanda. Good morning..." sapanya sambil mengelus pangkal rambutnya. Ini adalah hal asing yang jarang dilakukan oleh Ronald. Ya, dan Ronald masih berstatus sebagai suami sahnya.Diliriknya kanan maupun kiri. Ke mana perginya pakaiannya semalam? "Amanda, apa kamu baik-baik saja?" Tanya Simon sambil mencoba untuk duduk."Aku, aku... aku mohon jangan ber
Berpindah dari satu negara ke negara lain dulu hanya bisa disaksikan Amanda di film-film Hollywood. Rupanya sekarang dia bisa merasakan ini juga.Sebuah pengalaman yang sebenarnya membuat dirinya takut. Apakah ini yang disebut sebagai culture shock karena selama ini dia berada di lingkungan keluarga sederhana dan tiba-tiba dia berada di keluarga yang seratus delapan puluh derajat."Oma, di sini makin dingin ya?" Mila terdengar sedikit lebih sulit bicara karena suhu di luar bandara semakin ekstrem dibandingkan dengan situasi di Berlin."Iya, kita di Oslo yang posisinya lebih di utara lagi. Tapi tenanglah, besok kabarnya suhu akan sedikit naik." Mertua Amanda ternyata selalu memantau kondisi ramalan cuaca selama dia berada di Eropa."Mila, ayo segera masuk ke mobil jemputan. Kita akan segera bertemu dua kesayanganmu, Om Ronald dan Opa! Apa kamu senang?" Omanya memang ahli dalam membuat cucunya gembira.Mila melompat-lompat ke atas dan tersenyum bahag
"Apa kamu bilang?" PLAAKKKK! Sebuah tamparan melayang di pipi kanan Amanda. Ini adalah untuk pertama kalinya dia ditampar seumur hidup. Bahkan orang tuanya sendiri tak pernah melakukan tindakan kekerasan padanya. Amanda memegang bekas tamparan Ronald yang terasa panas dan pedih. Dia menangis dan mengurung diri di kamar mandi. Ada penyesalan di diri Ronald kenapa dia melakukannya. Tapi itu semua juga salah istrinya yang terus memancingnya untuk membalas perkataan pedasnya. Amanda sengaja melakukan ini untuk membuat dirinya berlaku seperti ini. "Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang, Amanda. Akan aku buat kamu menderita!" Ronald geram dan menggenggam tangannya. Amanda kelelahan dan dia tertidur di bath tub yang kering di kamar mandi. Saat Ronald melihatnya, muncul bekas kemerahan di pipi yang dia tampar tadi. Merasa iba dengan istrinya yang kedinginan, Ronald menutup tubuh itu dengan selimut d
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di