"Kenapa kamu nggak kabari mama sih, Jo?"Reni melangkah masuk ke sebuah kamar yang sejak beberapa bulan yang lalu sudah Jonathan siapkan untuk kelahiran Sabrina, kamar yang baru sempat ditempati sekarang setelah badai itu datang memporak-porandakan kehidupan Jonathan. "Kejutan!" jawab Jonathan asal yang segera mendapat gebukan gemas dari Reni. Reni melangkah perlahan menuju box bayi, di dalamnya Sabrina nampak tidur dengan begitu damai. Senyum Reni merekah, tangannya terulur, mengusap lembut pipi Sabrina yang memerah. Di sisi lain box, ada Asha yang berdiri dan menatap interaksi itu dengan seulas senyum. "Ya ampun cucu oma. Cantik banget kamu, Sayang!" desis Reni dengan suara bergetar. Jonathan menepuk lembut bahu ibunya, ikut menatap ke arah Sabrina sampai kemudian bayi itu menggeliat dan tangisnya pecah. Baik Asha maupun yang lain terkejut, tangan Reni terulur, meraih Sabrina dalam gendongan lalu menatap Asha yang ikut panik. "Sudah waktunya Bina nyusu, Sha. Ini!"Asha mengang
"Omanya Bina nggak suka ya, Bu, sepertinya sama saya." Ucap Asha ketika sosok itu sudah melesat keluar. Reni tersenyum, dari ekspresi wajah dan sorot mata, Asha sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan pada Reni. "Itu tidak penting, Sha. Jangan kamu pikirkan. Fokusmu hanya ke Bina, bukan yang lain."Mendengar itu, Asha tersenyum dan mengangguk perlahan. Benar apa yang dikatakan Reni. Tugas dan kewajiban Asha hanya pada Bina. Ia tidak ada urusan dengan entah siapa tadi nama perempuan itu. Asha tinggal di rumah Jonathan, bukan di rumahnya, jadi kenapa Asha harus risau? Hanya saja, melihat wajah perempuan itu, benar-benar membuat Asha bergidik karena teringat pada ibu mertuanya, ah mungkin lebih tepatnya mantan mertua. "Ibu tinggal ke bawah nggak apa-apa, kan? Nanti kalau ada apa-apa, kamu bisa panggil ibu atau Jonathan.""Baik, Bu."Reni mengusap lembut puncak kepala Bina, ia lantas membalikkan badan dan menghilang dari pintu yang ditutup. Sepeninggal Reni, Asha menghe
"Saya tinggal dulu, Sha."Jonathan tidak menunggu jawaban dari Asha, ia segera mempersilahkan Reza keluar lebih dulu. Sama seperti Gina, ekspresi wajah Reza nampak tidak suka. Jonathan menunggu langkah mereka sedikit lebih jauh dari kamar, hendak bertanya apa yang terjadi ketika Reza ternyata lebih dulu bersuara. "Pantas mamamu langsung jelek begitu wajahnya, Jo." Ucap Reza sembari menuruni anak tangga. "Memang kenapa, Pa? Ada apa?" tanya Jonathan sekalian. Reza menghela napas panjang, ia menoleh ke arah Jonathan, menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Papa rasa kamu paham apa yang membuat papa dan mama bersikap seperti ini, Jo. Putri papa belum lama meninggal, kamu tentu belum lupa, kan?"Ditanya seperti itu, kesedihan itu semakin kuat mencengkram hati Jonathan. Bayangan wajah itu kembali terlintas membuat Jonathan menghela napas sembari menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Tentu! Jonathan tidak akan pernah lupa dalam seumur hidup, Pa." ucapnya dengan suara bergetar. "Bagusla
"Dok, sa--""Ini di rumah, Sha. Bukan di rumah sakit." potong Jonathan yang nampak tidak nyaman dengan panggilan itu. "Ma-maaf, Pak." ucap Asha pada akhirnya. "Ada apa?" tanya Jonathan tanpa memalingkan wajah dari Sabrina yang tertidur dalam box-nya. Asha memainkan ujung kaosnya, ada perasaan ragu dan canggung dalam diri Asha. Namun bagaimanapun, Asha harus mengungkapkan permintaannya, kalau tidak .... "Nanti akan ada orang ke sini buat geserin barang di kamar, Sha. Saya udah pesen kasur buat kamu. Nggak nyaman pasti tidur di sofa seperti itu. Nanti sofa panjang yang di jendela biar dibawa keluar."Diluar ekspektasi, sebelum Asha mengungkapkan permintaannya, Jonathan sudah selangkah lebih maju mewujudkan permintaan Asha. Ia memang perlu kasur, tidak peduli seempuk apa sofa yang ada di bawah jendela, tapi tidur di sana benar-benar tidak nyaman untuk Asha. "Kamu nanti bisa bantu atur, mau kamu tempatkan di mana dan dibuat seperti apa. Sesuaikan saja senyaman kamu." lanjut Jonathan
"Mbak, aku turun dulu, ya? Udah semua, kan?"Asha menoleh, nampak Sani sudah menggendong keranjang berisi sprei dan beberapa sarung bantal kotor yang hendak dicuci. Kasur yang dipesankan Jonathan sudah datang, Asha sudah mengatur ulang kamar, memindahkan sofa panjang yang tadinya menjadi tempat tidur Asha keluar kamar. Semua sudah rapi, dan sekarang waktunya fokus pada tugas utama Asha, menjaga dan merawat bayi cantik yang masih begitu lelap di dalam box-nya. "Makasih banyak ya, Mbak. Maaf malah jadi nambahin kerjaan kamu." ucap Asha tulus. Wanita itu menggeleng, senyumnya tersungging begitu manis. "Nggak kok. Santai saja." Sani melangkah menuju pintu, baru beberapa langkah, ia kembali menoleh. "Mbok Iin bikin camilan, mau aku anterin, Mbak?" tawarnya ramah. Mata Asha membulat. Sebuah tawaran yang begitu Menggiurkan. "Aku turun sendiri aja, na--""Mau ajak non Bina turun? Aduh jangan, Mbak! Ketauan bapak kita kena marah nanti. Aku bawain aja ke sini, bentar ya!" Tanpa menunggu
"Aku kurang paham masalah medis, Mbak. Cuma cerita bu Reni, kondisi ibu pas sampai bru kau sakit masih hidup cuma sudah kritis dan sudah sangat kecil harapan hidup, jadi langsung dioperasi buat keluarin bayinya. Satu-satunya cara supaya bayinya selamat. Begitu cerita ibu."Asha menyimak dengan kepala terangguk. Otaknya membayangkan bagaimana paniknya kondisi yang diceritakan Sani padanya. "Jadi secara tidak langsung, operasinya cuma buat selamatin Sabrina aja, nggak sekalian ibunya?"Sani mengangguk cepat. "Entah bagaimana parahnya kondisi ibu, tapi para dokter tentu sudah bisa memprediksikan, Mbak, bisa tidak pasien selamat, berapa harapan hidupnya dan ibu emang tidak selamat. Katanya begitu di detik-detik terakhir sayatan perutnya dilakukan, nafas ibu udah nggak ada."Tess! Tak terasa air mata Asha menitik. Ia merasa begitu kasihan pada nasib perempuan itu. Antara dia dan Tania, mereka punya satu kesamaan yang sama. Yaitu tidak bisa sekedar menggendong anak yang mereka perjuangka
"Saya boleh masuk?"Asha tengah menggendong Bina, bayi itu sudah selesai dia mandikan. Nampak setelan lengan panjang warna pink dengan gambar kelinci yang lucu, ia pilihkan untuk sore ini. Belum sempat Asha menjawab, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok itu muncul dengan menenteng kantong plastik di tangan. "Silahkan masuk, Pak. Ucap Asha gugup. Bagaimana tidak, mereka sama-sama dewasa dan berada di dalam kamar hanya berdua. Ah tidak! Ada Bina dalam gendongan Asha, mereka tidak benar-benar berdua. "Buat kamu!" Jonathan meletakkan plastik itu di meja yang ada di dekat sofa menyusui. Asha melirik bungkusan itu, sejenak ia kembali menatap Jonathan, menyunggingkan senyum sembari berucap. "Terimakasih banyak, Pak. Sebenarnya Bapak ti--""Biar Bina sama saya. Kamu bisa mandi atau istirahat barang sejenak. Saya mau bawa dia ke kamar." Ucap suara itu tegas. Asha mengangguk, ia segera menyerahkan bayi dalam gendongannya. Nampak lelaki itu menatap bayi dalam gendongannya dalam-dalam. Matan
Asha kembali melangkah masuk ke kamar, matanya segera tertuju pada bungkusan plastik yang tadi Jonathan letakkan di atas meja. Dari baunya ... Asha bergegas mendekat, membuka bungkusan itu dan mematung ketika tebakannya tentang apa isi dari plastik itu adalah benar. Air mata Asha membayang, tak beberapa lama air mata itu jatuh menitik. Asha bahkan sampai jatuh bersimpuh di depan meja dengan tangan menutupi wajah. Isaknya terdengar lirih. Apakah ia lebay begitu sedih dan sakit hati melihat makanan ini? Sekotak martabak telor hangat lengkap dengan saus dan acar. Berapa harga makanan ini? Apakah semahal sushi viral yang ada di Bali? Sepertinya tidak, tapi makanan ekonomis ini pernah membuat Asha begitu sakit hati yang teramat sangat. "Mas, pesenan aku mana?"Kala itu pukul sepuluh malam, Dimas baru saja pulang dari nongkrong di kedai kopi yang baru buka di dekat kantornya. Asha dengan perut membukit, menyambut sang suami, berharap Dimas membawakan makanan yang entah mengapa sangat ini
"Loh gimana sih, Jo? Kalian nggak jadi pergi?"Jonathan merebahkan tubuh di atas kasur, ia langsung menghubungi Reni, membatalkan permintaan Jonathan yang meminta Reni kemari sepulang praktek. "Nggak jadi, Ma. Bina lagi nggak mau ditinggal. Lagi mode nempel terus sama Asha." jawab Jonathan sambil memejamkan mata. "Bina kenapa, Jo? Sakit?" tanya suara itu langsung berubah panik. "Aman, Ma. Bina nggak sakit. Dia sehat, cuma kata Ferdi lagi di fase wonder week."Wonder week. Entah dulu Jonathan yang tidak memperhatikan atau bagaimana, ia malah lupa ada istilah itu di ilmu pediatri."Oalah, rewel terus berarti? Perlu mama ke sana, Jo?""Agak sih, Ma. Cuma masih bisa Asha handle. Mama istirahat saja di rumah, nanti semisal Jo perlu bantuan, pasti Jo udah telpon Mama. Tapi semoga tidak, Ma. Bantu doa saja." ucap Jonathan mencoba menenangkan sang ibu. "Ya sudah kalau begitu. Kamu juga jangan cuma diem, Jo. Bantuin Asha gendong atau apa." perintah Reni yang seketika direspon dengan bibir
“Bina kenapa?”Nafas Jonathan sedikit terenggah, bagaimana tidak? Ia sangat panik tadi, ketika membaca chat yang Asha kirimkan mengenai kodisi Sabrina yang rewel.“Rewel terus, Pak. Maunya digendong terus.” Lapor Asha yang nampak kewalahan.“Coba baringkan, biar saya periksa.”Jonathan mengeluarkan stetoskop, benar saja! Begitu Bina turun dari gendongan Asha, ia langsung menangis keras sampai kulit wajahnya memerah. Jonathan menghela nafas panjang, ia berusaha untuk tetap tenang meskipun jujur ia sangat panik mendengar Sabrina menangis begini.Meskipun bukan spesialisasinya, Jonathan masih bisa membedakan tanda-tanda vital yang normal dan tidak itu yang seperti apa dengan bantuan stetoskop. Jonathan tidak menemukan hal aneh, semua normal dan baik.“Coba ambilin termometer, Sha!” perintah Jonathan seraya melepaskan stetoskop.Dengan segera, Asha melangkah ke rak yang ada di dekat box Sabrina, ia segera kembali dengan benda yang diminta oleh Jonathan.“Normal. Tidak ada demam.” Ucap Jon
"Pak!"Jonathan menghentikan langkah, ia segera membalikkan tubuh dan mendapati sosok itu tengah melangkah dengan sedikit tergesa ke arahnya. Jonathan melirik arloji di pergelangan tangan, masih ada waktu dua puluh menit sebelum ia harus visite pasien. "Gimana?" tanya Jonathan dengan nada serius. "Saya udah dapat, Pak. Kapan Bapak mau diantar kesana?" tanya suara itu dengan nada serius. Kening Jonathan berkerut, ia tidak menyangka bahwa orang satu ini bisa dengan begitu cepat mendapatkan informasi yang dia minta. "Serius? Kamu nggak lagi bercanda, kan?" Bukan salah Jonathan kalau dia tidak percaya, ia baru saja memberikan tugas itu pada Adit kemarin malam dan sepagi ini Adit sudah mengatakan bahwa semua informasi yang Jonathan minta sudah dia dapatkan! "Saya bercanda juga buat apa sih, Pak? Saya serius!" ujar Adit menyakinkan Jonathan. Jonathan tercengang barang beberapa menit, ia kemudian menatap Adit dengan saksama, mengangguk kepala sembari menghela napas panjang. "Tidak sek
"Mikir apa?"Jonathan benar-benar tidak bisa hanya diam, semenjak masuk ke dalam mobil, Asha hanya merenung dengan tatapan kosong. Meskipun matanya fokus ke depan, namun beberapa kali Jonathan bisa lihat Asha sibuk menyeka air mata. "Oh ti-tidak ada, Pak. Tidak mikir apa-apa." Sahut suara itu nampak gugup. Dengan tatapan yang masih lurus ke depan, Jonathan mendengus kasar. Ia melirik Asha sekilas, nampak ia tidak tenang di joknya. "Kamu nggak bisa bohongin saya, Sha." ucap Jonathan lirih. Asha tidak langsung menjawab. Perempuan itu malah menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak terdengar isak tangis, namun Jonathan yakin dia tengah menangis sekarang. "Nangis aja dulu, Sha. Biar lega." ucap Jonathan lirih. Susah memang berurusan dengan perempuan, mereka lebih mengedepankan perasaan. Cukup lama wajah itu tertutup dengan tangan, sampai kemudian tangan itu berangsur turun dari wajah, jemari-jemari Asha sibuk menyeka air mata, membuat Jonathan meraih kotak tisu di dashboard, meny
"Ma-Mas?"Asha tercekat, bayangan segala perkataan dan perlakuan kasar lelaki itu kembali berkelebat. Tubuh Asha bergetar, ia mengigil dengah keringat dingin yang seketika mengucur membasahi dahi. Asha ingin lari, namun entah mengapa langkah kakinya terasa begitu berat. "Kamu benar masih hidup? Aku pikir kamu sudah mati bunuh diri." ejek suara itu yang perlahan memunculkan keberanian dalam diri Asha. "Kenapa aku harus melakukan hal gila itu?"Dimas tertawa, ia melipat kedua tangan di dada sembari menatap Asha dengan tatapan yang begitu merendahkan. "Malang banget nasib anakku harus punya ibu nggak becus macam kamu. Kenapa bukan kamu saja yang mati waktu itu?" Keberanian yang semula membara, kontan lenyap seketika saat kata 'anak' keluar dari mulut Dimas. Rasa sakit yang sudah berangsur sembuh, kini kembali terasa mencekik Asha dengan begitu kuat. Kenangan saat bayi itu masih dalam kandungan, berkelebat dalam benak Asha. Bagaimana kaki kecil itu sering menendang-nendang perut Asha,
"Biar Asha yang beli, Mbok."Asha muncul ketika mbok Iin kebingungan, beberapa bumbu dapur ternyata habis, padahal ia masih harus masak beberapa hidangan. "Non Bina?" tanya mbok Iin dengan wajah yang masih panik. "Kan ada ibu, itu lagi sama ibu. Jadi nggak apa-apa biar Asha yang belikan."Wajah tegang itu berangsur tenang, ia tersenyum sembari melangkah menuju pintu yang tak jauh dari dapur. Tak beberapa lama, sosok itu kembali muncul dengan membawa dompet. "Apa-apa yang harus dibeli, simbok chat aja, ya?" ujarnya sembari menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan. "Siap kalau gitu, Mbok. Asha pamit sama ibu dulu." ucap Asha sembari membalikkan badan. "Kunci motor ada di dekat pintu garasi, ya!"Asha menoleh, menganggukan kepala sembari tersenyum. Ia segera menapaki anak tangga, mencari keberadaan Reni yang sedari tadi tidak terlihat. Samar-samar Asha mendengar percakapan yang berasal dari kamar Jonathan, dengan segera Asha mendekat, mengetuk pintu yang terbuka sedikit dan menun
"Halo, mana ini cucu oma?"Asha menoleh, ia tersenyum begitu melihat Reni muncul dari balik pintu. Nampak ia datang masih dengan seragam rumah sakit, dengan paper pag yang ada di tangan sebuah paper bag dengan brand pattiserie kenamaan yang terkenal ekslusif dan mahal. "Tuh Oma datang, Bina!" ucap Asha sembari bangkit dari sofa menyusui. "Kata Jonathan, tadi dokter Ferdi ke sini? Gimana hasil pemeriksaan Bina tadi?" Reni meletakkan paper bag di meja, ia melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. "Baik, Bu. BB Bina juga sudah di garis hijau. Semua aman." lapor Asha dengan senyum lebar. "Hebat cucu oma, ya? Sini gendong oma, Sayang!"Asha tersenyum, ia menyerahkan Bina ke gendongan Reni. Wajah perempuan itu nampak begitu gembira, menimang Bina lalu mencium lembut pipi gembul bayi itu. Ada rasa bahagia dan bangga melihat interaksi itu, terlebih saat tadi Asha melaporkan perkembangan Bina pada sang nenek. Melihat bayi yang awalnya sangat kecil, bisa tumbuh sesuai kurva Bina su
"Nah sudah tidur!"Asha menghela napas panjang, ia menatap Sabrina dengan senyum di wajah. Bayi itu sudah mandi, menyusu sampai kenyang dan sekarang tertidur dengan begitu pulas. Ia membetulkan rambut Sabrina yang berantakan, lalu teringat bahwa ia harus mengambil peralatan Sabrina yang berada di kamar Jonathan. "Mbak, makan dulu!" Secara kebetulan, mbok Iin muncul dan masuk ke dalam kamar. Perempuan paruh baya itu membawa nampan, berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk dan semangkuk sayur di mangkuk. "Nah kebetulan Simbok datang. Nitip Bina sebentar, Mbok." pinta Asha sembari menghampiri mbok Iin. Kening perempuan itu berkerut, ia menatap Asha dengan penuh penasaran."Loh, mbak Asha mau kemana?" "Cuma ambil peralatan Bina di kamar bapak, Mbok. Kemarin Bina dibawa ke kamar bapak." jawab Asha apa adanya. "Oh pantes tadi bapak kayak kurang tidur. Yaudah buruan gih, biar Bina simbok jagain dulu." Asha mengangguk pelan, ia segera melangkah keluar kamar begitu mbok Iin setuju
Asha mengerjapkan mata, ia melirik jam dinding dan bergegas bangun ketika menyadari jarumnya sudah berada di angka lima. Sejenak Asha tertegun, ketika matanya menatap box bayi yang kosong. "Ah! Lagi sama papanya." ucap Asha lega ketika ingat Sabrina tengah diasuh oleh Jonathan. Asha hendak turun dari kasur, sejenak ia kembali tertegun ketika mendapati meja ganti popok Sabrina sudah bersih. Padahal semalam ia meninggalkan begitu saja beberapa peralatan pendukung pumping di atas sana. Dan tak lupa, ia menyadari bahwa kotak martabak telor itu juga sudah berpindah tempat. "Mungkin bapak masuk, ya?" gumam Asha ketika ingat Jonathan meminta izin padanya kemarin. Dengan segera Asha bangkit, ia merasakan payudaranya sudah penuh. Tangannya bergegas mengambil satu set pompa ASI bersih dari dalam mesin sterilisasi, tak lupa mesin pompanya. Dan benar saja baru beberapa detik Asha menghidupkan mesin, kucuran demi kucuran ASI itu sudah tumpah ruah memenuhi botol penampung. Asha tersenyum melih