"Ya udah, tapi kamu udah izin sama Bima, kan?""Aahh soal itu." Jenny bingung untuk menjawab, karena teringat ucapan Lily. "Dari kemarin kebetulan Pak Bima susah buat dihubungi, Bu. Dia juga belum sempat pulang. Jadi aku nggak enak minta izinnya, takut dia sibuk. Lagian aku perginya nggak akan lama kok." Mungkin jawaban ini yang bisa membantunya."Sebentar... biar aku yang coba telepon dia." Eka merogoh kantong celananya, hendak mengambil ponsel. Tapi dengan cepat, Jenny menahan tangannya."Enggak usah deh, Bu. Aku nggak mau merepotkan Ibu. Lagian aku cuma sebentar kok beneran, cuma mau ngecek doang ke dokter." Jenny sudah berdiri dan mengambil tasnya di dalam lemari."Ngecek?!" Dahi Eka tampak berkerut. Sepertinya Jenny keceplosan, dan itu membuat Eka semakin penasaran. "Ngecek apaan, Jen?""Eemmm itu ...." Jenny mulai berpikir keras, mencari alasan yang masuk akal karena sudah terlanjur dia membawa-bawa dokter. "Mengecek kesehatan maksudnya, Bu. Soalnya akhir-akhir ini aku sering mu
Di sebuah restoran yang hangat dan nyaman, Lily duduk di salah satu meja. Sudah hampir satu jam dia menunggu kedatangan Jenny, namun perempuan itu belum juga muncul."Ke mana sih, Jenny? Kok lama banget?" gumam Lily dengan nada kesal, menunjukkan rasa tidak sabarnya.Dia merogoh tasnya dan mengambil ponselnya, berniat untuk menghubungi Jenny sekali lagi. Namun, sebelum dia sempat melakukan panggilan, ponselnya berdering. Panggilan itu datang dari Lukman."Halo, Sayang," sapa Lily, mengangkat panggilan tersebut."Bagaimana? Apakah kamu sudah melakukan tes dengan Jenny, Sayang?" tanya Lukman dari seberang sana."Jangankan melakukan tes, ketemu sama Jenny aja belum aku, Yang," jawab Lily dengan ekspresi yang sedikit merengut."Lho, bagaimana bisa? Bukankah kamu sudah pergi sejak satu jam yang lalu?" tanya Lukman dengan nada heran. Dia tampaknya tidak mengerti mengapa Lily belum juga bertemu dengan Jenny."Iya. Jenny sih bilang dia lagi mompa ASI dulu buat Kaila. Tapi aku tungguin daritad
"Kamu—""Eh, Pak! Ayok cepat ke sana! Itu penjualnya mau pergi!" potong Jenny cepat. Suaranya bergetar, manik mata hitamnya membesar dalam kepanikan saat melihat penjual rujak itu mulai mendorong gerobaknya.'Ah kayaknya nggak mungkin, masa secepat itu, sih?' batin Bima, hatinya berdebar. Dengan cepat, dia memutar balik mobilnya dan menuju ke sana.Setelah membeli satu bungkus rujak untuk Jenny, mereka pun melanjutkan perjalanannya.Jenny tampak gembira, dia memakan rujak itu dengan lahap, seolah-olah menikmati setiap gigitan. Bima yang melihatnya hanya bisa meringis sambil menelan ludah.Bukan dia menginginkannya, hanya saja Bima merasa rujak yang dimakan Jenny terasa asam dan pedas.Padahal sebelumnya Bima sudah meminta kepada pedagangnya untuk tidak terlalu pedas, tapi tetap saja dia merasa khawatir. Mengingat Jenny juga selalu mengalami masalah dengan perutnya."Tapi kamu udah sarapan 'kan, Jen, tadi pagi?" tanya Bima dengan suara penuh kecemasan."Udah kok, Pak." Jenny mengangguk
Sri menghela napas dengan berat, lalu dengan hati-hati dia menjelaskan situasi yang terjadi. "Jadi, Pak ... sebelumnya, aku mengurus sebuah panti asuhan sebelum panti ini. Saat itu, Bu Lily menitipkan bayinya yang terlihat masih sangat kecil, baru beberapa hari dilahirkan."Setelah Jenny berusia 7 tahun, dia diadopsi oleh pasangan almarhum Pak Wiranto dan Bu Mira. Namun, beberapa hari setelah itu, panti asuhan tempat itu terpaksa dipindahkan karena ada masalah pribadi dengan pemiliknya sendiri. Aku pun terpaksa ikut pindah bersama mereka."Bima mengangguk, mencoba memahami hubungan antara panti asuhan tersebut dengan keadaan sekarang. "Terus, apa hubungannya dengan panti asuhan ini, Bu? Dan bagaimana Bu Lily bisa sampai ke sini menemui Ibu? Bukankah panti asuhannya berbeda?"Sri menggeleng pelan, ekspresinya penuh kebingungan. "Aku kurang tau soal itu, Pak. Mungkin Bu Lily mencari keberadaanku. Dan sebenarnya... surat perjanjian itu nggak sengaja aku bawa saat saya pindah ke sini. Awal
"Jangan membukanya, Pak! Biarkan saja!" perintah orang tersebut yang ternyata adalah Erwin. Dia baru saja pulang dari kerja."Ayah!" Soraya langsung menoleh ke arah sang mertua dengan tatapan bingung. "Kenapa Ayah melarangku bertemu dengan Kaila? Aku merindukannya, Ayah, aku ingin bertemu dengannya.""Baru sekarang kamu merindukannya? Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu lupa, Ray... saat Bima pergi mencari Jenny yang kabur, kamu malah menitipkan Kaila di sini," ujar Erwin dengan nada ketus, tatapannya penuh sinis."Kalian 'kan kakek dan neneknya, jadi wajar kalau aku menitipkannya. Apakah itu salah? Bunda sendiri nggak keberatan, Yah," balas Soraya dengan wajah sedih yang dibuat-buat."Lalu sekarang apa tujuanmu datang ke sini? Pasti kamu belum meminta izin pada Bima, kan?""Bagaimana bisa aku meminta izin pada Mas Bima, sedangkan dia memblokir nomorku? Aku kesulitan menghubungi dan menemuinya, Ayah. Mas Bima seolah-olah menghindariku.""Menghindar ya wajar, siapa juga yang mau menem
"Ya coba aja ceritakan pelan-pelan, Jen," ucap Sri dengan lembut seraya menyentuh punggung tangan Jenny.Jenny mengangguk, kemudian menarik napas dan membuangnya secara perlahan-lahan. "Sebenarnya... aku menikah dengan Pak Bima karena terpaksa awalnya, Bu.""Terpaksa?!" Sri tampak terkejut. "Jadi Pak Bima memaksamu, Jen?""Bukan Pak Bima, Bu." Jenny menggelengkan kepala."Lalu?!""Seorang polisi. Waktu itu sepulang sekolah, aku nggak sengaja melihat Om Lukman. Karena takut dan panik aku sempat ...." Jenny pun menceritakan kembali tentang awal mula dia dipaksa menikah, yang akhirnya menjadikan dirinya sebagai istri kedua Bima.Sri terlihat mengangguk-angguk kepala mendengarnya, meskipun sesekali dia merasa terkejut."Terus, Jen. Apa istri pertama Pak Bima tau?" tanya Sri penasaran, lalu menambahkan. "Maaf, apakah mungkin itu juga alasannya kenapa kamu sempat diminta untuk pergi dari Jakarta?""Sejauh yang aku tau
Hari pun berganti.Jenny secara perlahan membuka matanya yang terasa berat, terbebani oleh sinar matahari yang menyilaukan, yang berani menyelinap melalui celah jendela, memberinya sentuhan hangat pertama pagi itu.Kedua bola matanya yang masih merasa kantuk, mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya baru ini. Dengan rasa penasaran dan sedikit kebingungan, dia menoleh ke arah samping kanannya, mencari keberadaan Bima."Lho, ke mana Pak Bima?" bisik Jenny pada dirinya sendiri, mengerutkan dahinya dalam kebingungan.Ranjangnya kosong, tidak ada tanda-tanda Bima. Dia ingat dengan jelas, semalam, setelah mereka berbagi peluh, pria itu langsung tertidur pulas di sana."Apa mungkin Pak Bima udah bangun duluan?" pikir Jenny. Dia pun beranjak dari tempat tidur, lalu mengumpulkan pakaiannya yang tersebar di lantai dan memakainya kembali.Dia memutuskan untuk menyegarkan diri, pergi mandi. Tapi karena kamar mandinya berada diluar kamar, Jenny berjalan keluar kamar dengan
Kedatangan Eka di rumah sakit secara kebetulan bertepatan dengan seorang dokter pria yang baru saja keluar dari pintu UGD. Tanpa ragu, Eka segera menanyakan tentang kondisi Jenny."Dok, bagaimana keadaan Jenny? Apa yang terjadi?" tanya Eka dengan rasa ingin tahu yang besar.Dokter itu langsung menoleh ke arah Budi yang baru saja berdiri. "Sebelumnya, saya ingin tau apakah Anda adalah suaminya Jenny?" tanya dokter dengan penuh kehati-hatian."Bukan, Dok," jawab Budi sambil menggelengkan kepala."Lalu, apakah Anda adalah kerabat dekatnya?""Aku bukan kerabat dekatnya, Dok. Aku hanya asisten dari bosnya Jenny," jelas Budi."Kalau begitu, apa hubungan Anda dengan Jenny, Bu?" Sekarang dokter itu beralih bertanya kepada Eka sambil menatapnya. "Apakah Anda adalah ibu kandungnya? Atau mertuanya?""Bukan dua-duanya, Dokter," jawab Eka dengan wajah yang penuh keheranan. "Memangnya kenapa ya, Dok? Kenapa Dokter bertanya-tanya tentang kami yang disini?""Ini berkaitan dengan kondisi Jenny, Bu. Sa
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek