"Enyah dari Jakarta? Maksud Ibu apa?" Jenny terlihat tak mengerti. Tapi dia langsung membuka amplop tebal itu sebab merasa penasaran dengan isinya.Dan saat membukanya, sontak dia membelalakkan mata lantaran isinya adalah beberapa lembar uang seratus ribuan dan itu sangat banyak."Uang? Ini uang untuk apa?""Untukmu!""Kenapa untukku, Bu?""Masih aja kamu nggak paham, ya?? Bodoh sekali memang!" Soraya menjambak rambut Jenny dengan kuat dan kembali membuat perempuan itu meringis."Aaaww sakit, Bu!" jerit Jenny."Aku tau kalau selama ini kamu menaruh hati pada suamiku! Diam-diam kamu menggodanya, kan?? Kau ingin merebutnya dariku 'kan, Jen??!" geram Soraya sambil menggertakkan gigi."Enggak, Bu. Sumpah demi Allah aku sama sekali enggak punya perasaan sama Pak Bima," jawab Jenny yang sudah menangis. Asli rambutnya sakit sekali. Ingin melepaskannya pun tidak bisa, tangan Soraya terlalu kuat mencengkramnya.Soraya tersenyum menyeringai, lalu mendekat ke telinga kanan Jenny. "Pokoknya aku
"Bu ... saya ...." Ucapan Weni yang hendak menjelaskan langsung terhenti diujung bibirnya, lantaran Kaila sudah direbut oleh Soraya. Lantas perempuan itu masuk ke dalam rumah dengan membawa anaknya meninggalkan Weni.***Tibanya Bima di sekolah Jenny, suasana ditempat itu tampak sangat sepi. Tapi masih ada seorang satpam yang berdiri di dekat sebuah pos."Pak ... apa masih ada siswi yang bernama Jenny di sekolah?" tanya Bima yang sudah menghampiri gerbang."Semua siswa dan siswi di sekolah sudah pulang, Pak." Satpam itu menatap Bima dari celah gerbang."Kalau kepala sekolahnya sendiri, apa masih ada, Pak?""Kepala sekolah juga sudah pulang, Pak. Bapak cari siapa tadi? Jenny?""Iya." Bima mengangguk. "Namanya Jenny Salsabila, Pak. Dia siswi kelas 3. Sudah sore begini tapi dia belum pulang ke rumah.""Apa Bapak sudah menghubungi teman-temannya? Coba tanyakan kepada temannya, barangkali Jenny main," saran Pak Satpa
Merasa kesal karena panggilannya terus menerus tak mendapat jawaban, bahkan sudah lima kali dilakukan—akhirnya Bima memutuskan untuk pergi ke rumah Lily. Dia yakin, pasti Soraya pergi membawa anak mereka ke sana. Namun, sebelum sampai tujuan, Bima menelepon Budi terlebih dahulu. Untuk meminta bantuan padanya perihal Jenny. "Halo, Pak, selamat malam." "Malam, Bud. Tolong kamu pergi ke kantor polisi untuk melaporkan Jenny." "Melaporkan Jenny?!" Budi terdengar seperti kaget. "Lho ... kenapa Jenny dilaporkan ke polisi segala, Pak? Apa salahnya?" "Jenny nggak salah apa-apa, Bud. Yang aku inginkan kamu melaporkan dia karena hilang. Si Jenny hilang, Bud, dia nggak pulang ke rumah," jelas Bima begitu cemas. "Kok bisa, si Jenny hilang? Awalnya gimana, Pak?" Budi terdengar ikutan cemas. "Aku nggak tau awalnya gimana, tapi yang jelas hari ini Jenny izin pulang lebih awal di sekolahnya. S
"Aku sama sekali nggak berselingkuh dengan Jenny, Bun!" Bima membantah ucapan sang Bunda."Sudah jelas kamu tadi bilang mencintai Jenny, Bim!" sentak Erwin. "Ditambah Raya juga mengatakan kalau kamu sempat pergi keluar bersamanya.""Memang kamu pernah melihatku pergi bersama Jenny secara langsung, Ray?" Bima menatap nanar istrinya yang sejak tadi membungkam. Geram sekali rasanya dia di interogasi begini, padahal sejak tadi Bima begitu sangat mencemaskan Jenny."Melihat langsung sih nggak pernah, tapi aku pernah mendengar langsung ada suara Jenny saat aku menelepon Mas Bima," sahut Soraya yang baru bersuara."Oohh ... jadi masalah kemarin-kemarin kamu masih ingin membahasnya, ya? Oke ... aku jujur, aku memang saat itu bersama Jenny. Dan sekarang beritahu di mana Jenny, Ray! Kamu pasti tau dengan hilangnya Jenny!""Jenny sudah aku pecat, Mas! Jadi Mas nggak perlu mencari Jenny lagi."Bima sontak membelalakkan mata. "Apa kamu bilang
"Jenny itu istriku!!" tegasnya. Padahal Bima sudah ada niat ingin mengatakan nanti, setelah dia berhasil menemukan Jenny. Tapi karena terbawa suasana dan emosi, jadilah Bima mengatakan jujur sekarang. "Dan maaf ... aku nggak bisa menghadiri acara pernikahan Mama!" Bima langsung mematikan telepon. Malas lama-lama bicara, yang ada jadi bertengkar.*"Apa tadi, Ma?? Mas Bima bilang Jenny istrinya??" Diseberang sana, Soraya tampak terkejut mendengar apa yang Bima katakan. Jantungnya juga menjadi berdegup kencang."Pasti si Bima hanya ngasal bicara itu, Ray." Lily sendiri terlihat tak percaya, lagian tak ada bukti juga menurutnya. Apalagi Bima mengatakannya dengan keadaan emosi."Kalau misalkan beneran ternyata diam-diam dia sudah menikah gimana, Ma?" Soraya merasa takut jika itu benar. Takut juga kalau suaminya itu lebih memilih Jenny ketimbang dirinya.Lily menggeleng. "Enggak mungkin sih, Ray. Lagian nggak ada buktinya juga, kan?"
Seperti biasa di malam hari Bima mengendarai mobilnya, berkeliling Jakarta dengan perasaan frustrasi dan bingung. Dia mencari Jenny, yang sampai saat ini belum ada informasi tentang keberadaannya. Di tengah pencariannya, ponselnya tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Panggilan itu datang dari Aldi, salah satu anak buahnya. "Pak Bima, ini Aldi. Saya... saya punya berita tentang Bu Soraya," ucap Aldi dari seberang sana. "Ada apa? Apa yang terjadi?""Bu Soraya ... dia terlihat masuk ke sebuah hotel dengan seorang pria. Saya dan Ali mengikuti mereka dan ... mereka masuk ke salah satu kamar hotel bersama-sama." Berita itu seperti pukulan telak bagi Bima. Dia merasa seolah-olah udara di paru-parunya hilang.Segera, Bima pun meminggirkan posisi mobilnya lalu mematikan mesin mobil. Kalau dilanjutkan untuk mengemudi, dia takut akan terjadi kecelakaan. "A-apa? kamu yakin, Aldi? Apa kamu yakin itu Soraya?" tanya Bima
"Pak! Sudah cukup, Pak!" Ali segera meraih lengan Bima untuk menghentikannya menyerang Billy lebih lanjut. Billy tergeletak tak sadarkan diri setelah dipukuli habis-habisan oleh Bima. Wajahnya memar dan bengkak. "Ikat dia, Ali, Di," ujar Bima sambil mencoba mengatur napasnya dan meredakan ketegangan di wajahnya. "Kemudian bawa dia pergi dengan kalian dan pastikan dia mengakui apa yang telah dia lakukan bersama Raya, sebelum kita bertiga sampai disini." "Baik, Pak," jawab Ali dan Aldi serempak sambil menganggukkan kepala. Setelah itu, Bima membersihkan wajahnya dengan air dan meninggalkan tempat kejadian. Bima merasa perlu untuk segera pulang dan besoknya dia berencana akan menghadap pengadilan. Niat awalnya untuk mencari Jenny sepertinya tidak akan terlaksana malam ini.***"Mama... ini gawat!!" Soraya berteriak begitu dia tiba di rumah Mamanya.Niatnya lebih memilih datang ke sini karena dia ingi
"Kita harus ke sana besok, Yang. Kita harus segera menemukan adiknya Raya," kata Lily dengan suara penuh tekad. "Iya, Yang." Lukman mengangguk setuju. "Besok pagi kita langsung pergi ke sana, aku juga sudah mendapatkan alamatnya." Namun, Lily tampak ragu. "Tapi, Yang ... aku minta, kamu jangan kasih tau Raya, ya, soal ini. Takutnya Raya nggak setuju," pintanya. "Kenapa musti dirahasiakan? Bukannya kata kamu ... Raya itu tau, kalau dia selama ini punya adik?" Lukman terlihat bingung. "Iya, dia memang tau, Yang. Tapi Raya nggak pernah suka sama adiknya, itulah alasan mengapa aku menitipkan adiknya Raya ke panti asuhan dari semenjak dia lahir." Lily menghela napas, seolah berat untuk menceritakannya. 18 tahun yang lalu, Lily melahirkan seorang bayi perempuan, adik dari Soraya.Namun, bayi itu adalah hasil hubungan gelapnya dengan sopir pribadi almarhum suaminya. Saat suaminya mengetahui perselingkuhan tersebut dan meragukan bay
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek