"Masuk ke dalam mobil," titah Pak Polisi seraya membukakan pintu mobil polisi yang berada di belakang mobil Bima.Keduanya langsung saling memandang, tetapi pandangan mata Bima malah terjatuh pada belahan dada Jenny yang terlihat dari balik baju.'Wih, montoknya itu nennen,' batin Bima."Pak Bima, aku takut. Kenapa kita malah ...." Mata Jenny terbelalak kala Bima menyentuh baju di area dada. Mungkin niat pria itu ingin mengancingi kancing yang terlepas, tetapi Jenny malah salah paham. "Bapak mesum banget? Kenapa kancingku malah dibuka?!" omel Jenny marah. Cepat-cepat dia pun menepis tangan Bima, lalu meraih bajunya."Siapa yang mau dibuka? Justru aku ingin mengancinginya."'Sekalian sambil melihat isinya juga.' Bima membatin sambil terkekeh.Jenny membelalakkan matanya ketika sadar jika ternyata tiga kancing baju itu hilang. Mungkin itu alasan mengapa terlepas.'Kok nggak ada kancingnya? Perasaan tadi pagi semua lengkap,
Sampainya di kantor polisi, di dalam sana ada seorang pria dan wanita yang tengah melangsungkan proses ijab kabul. Dengan didampingi seorang ustadz, penghulu dan 3 orang warga yang menjadi saksi. Ada pula mungkin dari pihak keluarga yang menjadi wali.Yang menikah bukan hanya sepasang serta Bima dan Jenny saja, tetapi ada 3 pasang lagi. Mereka tengah duduk pada kursi belakang, seolah menunggu giliran."Kalian duduk di belakang. Ini nomor urutnya," ujar Pak Polisi seraya menunjuk kursi kosong yang berada di posisi paling ujung, lalu memberikan sebuah kertas yang bertuliskan angka 4.Bima dan Jenny mengangguk, lalu mereka pun duduk di sana. Sembari menunggu, Bima memanfaatkan momen itu untuk menghubungi Budi."Halo, Bud. Tolong pergi ke toko perhiasan yang biasa aku beli sekarang juga. Belikan cincin kawin!" perintah Bima pada sambungan telepon."Cincin kawin untuk siapa, Pak?" tanya Budi, pasti dia sedang kebingungan mendengar perintah se
"Pak Bima, aku harap ... pernikahan kita jangan sampai diketahui Bu Raya, ya?" pinta Jenny saat dirinya hendak turun dari mobil. Mobil itu sudah sampai di depan gerbang rumah mewah Bima."Kenapa memangnya?" Bima mencegah Jenny yang hendak turun. Mencekal lengannya."Kita menikah juga terpaksa, Pak. Dan aku nggak mau dengan Bu Raya tahu kalau aku menjadi istri kedua Bapak ... dia jadi makin membenciku." Meskipun sekarang Jenny telah menjadi istri kedua Bima, tapi sama sekali tak ada niatnya ingin merebut pria itu dari Soraya.Jenny menepis tangan Bima, lalu gegas dia pun turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gerbang.Mendadak, dada Bima terasa berdenyut nyeri. Jelas sekali kalau gadis itu tak menginginkan pernikahan yang telah terjadi beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, Bima justru yang senang duluan dan malah sempat memikirkan malam pertama.Namun sepertinya, keinginan itu harus Bima kubur dalam-dalam."Kok aku sedih ya, Bud. Dengar apa yang Jenny katakan," ucap Bima dengan
Jenny langsung menarik lengannya di tangan Weni, lalu menggeleng cepat."Mbak ini ngomong apa? Mana mungkin ini cincin kawin." Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar Kaila, lalu menaruh tas di atas meja juga dengan kantong merah yang sejak tadi berada dalam pelukannya."Habis modelnya mirip, Jen. Kayak cincin kawin tapi tipe yang mahal." Wedi melangkah masuk lalu menghampiri."Aku membelinya, tadi, Mbak. Kan aku habis gajian.""Iya, aku hanya nebak kok. Oh ya, ini apa?" Weni membuka kantong merah dan mengintip isinya."Alat-alat sekolah, aku dikasih sama kepala sekolah. Katanya dari pemerintah. Apa Mbak tahu ... aku juga nggak perlu bayar SPP lho, katanya dikasih juga sama pemerintah," ungkap Jenny dengan wajah ceria. Dia tentunya sangat bahagia mendapatkan itu semua. Dengan begitu dia tak pusing memikirkan untuk membeli. Mungkin hanya sepatu saja yang saat ini dia butuhkan."Alhamdulillah, itu rezeki buat kamu. Dan sepertinya ad
Keesokan harinya.Ceklek~Jenny membuka pintu kamarnya, dia sudah mengenakan seragam sekolah. Namun, langkah kakinya yang hendak melangkah keluar itu seketika terhenti lantaran melihat Bima ada di depannya.Matanya agak mendelik, sebab kaget. "Ah, selamat pagi, Pak.""Pagi, Jen." Bima mengulum senyum. Jantungnya langsung berdebar kencang."Ada apa, Pak? Aku mau berangkat sekolah." Jenny menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan sekitar. Ada perasaan takut, takut jika Soraya melihat dan nantinya marah.Bima langsung menarik tangan Jenny, lalu membawanya masuk kembali ke kamar itu dan menutup pintu."Bapak mau apa? Jangan macam-macam, ya! Aku takut dimarahi Bu Raya!" teriak Jenny dengan wajah takut."Aku nggak akan macam-macam," jawab Bima. Lalu melangkah mendekati Jenny. Gadis itu beringsut mundur hingga membuat punggungnya menempel tembok."Terus mau apa?" Jenny menundukkan wajahnya, tak berani rasanya menatap pria itu sebab jaraknya cukup dekat."Aku mau minta maaf sama kamu.""Minta
"Iya. Ya sudah, aku masuk dulu, Pak." Jenny menepis tangan Bima, lalu melangkah masuk ke dalam gerbang yang sudah dibukakan oleh seorang satpam."Sekolah yang rajin, Jen! Biar cepat lulus!"Jenny mendengar suara Bima yang berteriak, namun dia tak menoleh. Terus melangkah hingga masuk ke dalam kelas.'Apa sih yang mau Pak Bima katakan? Kenapa lebay sekali sampai menyusulku di sekolah?' Jenny bertanya-tanya dalam hati. 'Tapi semoga saja bukan hal yang membuatku pusing. Apalagi kalau tentang malam pertama. Aku nggak mau.'Teeeeett ... Teeeeett ... TeeeettJam kelas sudah berbunyi. Pertanda jika waktu jam pelajaran hari ini berakhir."Jen, habis pulang sekolah kamu mau ke mana dulu, nih?" tanya Dini yang tengah memasukkan buku dan pulpen ke dalam tas."Aku mau langsung pulang, Din, kenapa memangnya?" Jenny sudah selesai duluan masukkan alat tulisnya. Dan sekarang dia berdiri sambil menggendong tas ransel."Aku tadin
"Pak! Aku nggak mau ke hotel! Kan aku sudah pernah bilang ... kalau aku belum siap berhubungan badan dengan Bapak!" tegas Jenny sambil menghentakkan tangannya, hingga tangan Bima berhasil terlepas.Ucapan Jenny terdengar cukup keras, sehingga pasang mata yang berada disekitarnya itu menatap mereka. Dan begitu tajam menatap Bima."Lho, Jen, apa yang kamu katakan? Siapa juga yang mau mengajakmu berhubungan badan?" tanya Bima heran. Dia jadi malu sendiri karena terlihat mesum dimata orang-orang."Ini buktinya apa? Kok Bapak membawaku ke hotel?""Kita akan makan siang bareng.""Makan siang bareng kok ke hotel segala? Kan banyak warteg atau restoran, Pak!" Jenny hendak membuka pintu mobil Bima, berniat masuk kembali. Namun, Bima langsung mencegahnya. Menahan pintu."Kamu nggak boleh su'uzan dulu, Jen, aku benar-benar ingin mengajakmu makan siang di sini. Karena masakan di restoran ini sangat enak." Bima mencoba memberikan pengertian,
"Istri satu-satunya?!" Kening Jenny seketika mengerenyit. "Lho ... itu berarti Bapak ingin menceraikan Bu Raya, dong? Jangan, Pak! Itu nggak boleh!" tegasnya dengan gelengan kepala."Jen ... Jen, kamu ini kebiasaan, ya ... orang tanya kok malah ngasih pertanyaan balik?" Bima membuang napasnya dengan kasar, lalu mengusap wajah. Bicara dengan Jenny sepertinya harus memiliki ekstra sabar, sebab dia sangat sensitif sekali jika berkaitan dengan Soraya. "Minimal jawab dulu lah, Jen. Hargai orang yang nanya.""Maafin aku, Pak. Tapi pertanyaan Bapak sulit sekali aku jawab. Dan aku pun nggak mau kalau sampai Bapak dan Bu Raya bercerai.""Begitu, ya ...?" Bima menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Jadi kamu enggak mau, kalau aku dan Raya bercerai? Dan kamu juga nggak akan mencoba mencintaiku?"Jenny menganggukkan kepala."Ya sudah, kita geser ke pertanyaan lain." Meskipun jawaban Jenny sangat tidak memuaskan, tapi Bima mencoba untuk memaklumi. "Ka
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek