Raya menyandarkan tubuh di sudut dinding berlapis marmer. Mengatur nafas sambil pejamkan kedua mata, menikmati rasa nyeri yang kian hebat menyakiti fisiknya. ‘Sakit. Sakit. Sakit.’ Dalam lirih ungkapan atas rasa nyerinya tergambar melalui butiran air mata yang kini deras membelah permukan pipinya. Ketiga wanita itu sama sekali tidak peduli dengan apa yang dialami Raya. kedua wanita malah sibuk menghadang Raya sambil memperhatikan Meta yang mulai mengeluarkan benda-benda dalam tas ransel. Gadis itu tak mampu lagi melakukan apa-apa. Ia paham, sekali lagi ia melakukan banyak gerakan akibatnyakan akan lebih fatal. ”Buku kedokteran? Loe calon dokter? Gak ada panters-pantesnya” ucap Meta sambil membuang asal buku-buku Raya ke lantai. “Mba, saya mohon, jangan gini.” Raya mencoba mengeluarkan suara demi privasinya terjaga, namun ucapannya sama sekali tidak dihiraukan. ”Apaan nih, uang cuman ada dua puluh rebu! Cukup buat apa!? Miskin papa loe, ya?” la
Rizal mengaktifkan seluruh tombol mikrofon masih dengan ponsel menempel di telinganya. “AYA … angkat!” ucapnya kesal, mendapati gadis yang kerap ia hubungi lagi-lagi tidak mengangkat panggilannya. Kedua resepsionis dan kepala pengelola gedung memperhatikan ucapan dan bahasa tubuhnya, dalam hati mereka kompak menyuarakan. ‘Begini ya kalo duda lagi jatuh cinta!’ “TES, TES.” Memastikan bahwa mikrofon yang ia gunakan dalam keadaan baik dan ketika ia berbicara sama sekali tidak ada gangguan. Merasa mikrofon itu tidak ada masalah dan suaranya terdengar jelas, Rizal pun mulai angkat suara. ”Perhatian! Dengarkan saya baik-baik. Seluruh karyawan Z&T Corporation segera berkumpul di aula meeting Room. Semua! Tinggalkan pekerjaan kalian! Dalam waktu lima belas menit ,saya mau kalian semua sudah berada di aula! Seluruh manajer, bertanggung jawab atas semua anak buahnya! Security, pengelola gedung, tanpa terkecuali!" Suara tegas dan intimidasinya seolah menghipnotis seluruh karyawan. Dengan terg
“Mas Dika janji ya, gak bilang tuan Rizal tentang insiden tadi! Awas aja kalo bilang, saya gak mau lagi ikutin kemauan mas Dika.” Omelan gadis itu masih tak digubris Andika, ia masih membayangkan wanita cantik yang berbaring di ranjang pasien memberi senyuman indah pada dirinya. ”Mas Dika! orang ngomong dicuekin! Aku pulang nih!” “E-e-eh, enak aja pulang! Ketemu dulu sama si duda, baru pulang. Btw, Ya, kakak loe udah sembuh yak? Masa tadi senyum manis banget sama gue, kaya orang nyapa gitu.” ”Masa sih, Mas? Kapan? Di mana? Kok saya gak tau?” “Ya … tadi, pas loe ke kamar mandi ngompres memar. Em … kayanya gue suka deh sama kakak loe!” “Mas, aku mau pulang. Aku mau liat ka Nara!” seru Raya sambil melepas seatbelt. ”Eh … tar dulu.” Tahan Andika. ”Tunggu Rizal, bisa ngomel tuh anak kalo loe gak ada!” ”Biarin! saya mau liat ka Nara,” ucap Raya siap menuruni mobil Andika. ”Saya mau ketemu ka Nara! Mas Dika gak usah anter, mas Dika di sini aja, tunggu tuan Rizal. Saya balik!” Cepat da
Tiba di sebuah klub malam ibu kota, Rizal langsung turun dari mobil, menuju lantai dasar sebuah gedung perkantoran dan siap membooking salah satu ruang VIP yang ada di sana. Rizal mengedarkan pandangan. Tampak para wanita minim busana berjoget ria dengan beberapa pria. Alunan musik kencang dipimpin seorang DJ internasional membuat semua orang di sana menikmati hentakan musik yang terdengar. ”Loe yakin betah di sini?” tanya Andika, berbisik dengan suara dikeraskan. ”Di sini bukan loe banget!” lagi-lagi Andika berbisik, masih dengan cara yang sama. ”Nyoba doang, orang bilang ke tempat ginian bisa ngurangin beban dan masalah hilang,” balas Rizal ikut berbisik kencang. “Orang dipercaya! Masalah mau ilang, ya diselesain! Dasar duda jomblo!” ledek Andika, kali ini tak perlu berbisik karena mereka siap masuk ke ruang VIP. “Rizal?” Panggil seorang wanita dan langsung menghampirinya. “Kamu suka kesini juga? Ya ampun, aku gak menyangka, loh. Aku kira keseharian kamu monoton, ke kantor, teru
Rizal mengatur ritme nafasnya. “Tak banyak yang akan saya sampaikan, saya hanya ingin mengakui sesuatu pada anda. Oh ya, sorry. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Rizaldi Takki, seorang duda yang telah menyebabkan adik anda sengsara dan karena saya juga anda menjadi seperti ini,” ucapnya cepat, berharap kata-kata yang ia ungkapkan tidak mengakibatkan keraguan. Ingin menghentikan apa yang selanjutnya akan ia ucapkan namun logika kebenarannya berlawanan. ”Sayalah yang mengirimkan video dan foto-foto perselingkuhan suami anda dengan anak buahnya. Saya yang telah menyebabkan aibnya tersebar dan wanita sialan di sana adalah Ardila, mantan istri saya.” Rizal menelan saliva sambil meremas kuat sisi ranjang besi, berusaha menahan malu. Nara yang menyimak pengakuan duda itu hanya mampu terdiam. Jiwanya sedikit terguncang mengingat kepahitan yang ia alami terlebih perjuangan sang adik yang menyedihkan. Namun demi mendengar kelanjutan cerita duda itu, Nara berusaha tenang, mengontrol emosi da
Mendapati gadisnya mulai menaiki sebuah mini bus, dengan tergesa Rizal langsung menekan tombol autopilot kendaraannya. Satelit pribadinya langsung mengarah pada posisinya, sensor, radar, GPS, kamera pengintai dan teknologi canggih di dalamnya langsung bekerja. Tanpa menunggu lama, mobil itu pun mengemudikan dirinya sendiri. Rizal kembali mengamati Raya dibalik binokularnya yang canggih. Alat pengganti kedua indra penglihat yang mampu menampakkan Raya secara detail meski keduanya berada dibalik kaca, berjauhan. Mengamati gadis itu duduk terdiam bersandarkan dinding bus yang berkarat. 'Apa yang sedang kau pikirkan, hm?' 'Cantik.' 'Jika nanti kau menjadi istriku, tak akan pernah kubiarkan kau menaiki benda buruk itu!' 'Seharusnya kamu bersandar di bahuku.' 'Apa kamu sedang mikirin aku?' Tanpa ia sadari, celotehan-celotehan ringan itu keluar begitu saja. ’Kenapa ke rumah sakit ini?’ tanya Rizal ketika mendapati gadis itu memberhentikan mini bus, kemudian memasuki sebuah rumah sakit
“Ini kenapa bisa begini sih? Gue udah pake high security, kenapa masih aja bocor!? Ilham, Reza, Teguh, pada bener gak sih kerjanya?” omel Rizal pada Andika yang duduk di sampingnya. “Untung data anak perusahaan, kalo sampe kantor pusat mereka! Perusahaan gue bisa di tuntut!” Andika yang diajak berbicara hanya bisa diam, tidak memberi jawaban dan tidak berkomentar. “Tuan, saya mau pulang.” Ditengah-tengah keseriusan Rizal, gadis itu mengungkapkan isi hatinya. “Kamu lupa apa yang dokter katakan? Berbaring!” Gadis itu langsung gelengkan kepala. “Tetap disana, ingin sesuatu bilang padaku.” Rizal kembali sibuk dengan laptopnya. Sesekali telepon genggamnya berdering dan tak jarang ia tampak menghubungi seseorang. Lima hari sudah Raya menjalani penyembuhan, selama itu pula Rizal selalu mendampingi. Apa yang duda itu jalani akhir-akhir ini begitu menyenangkan menurutnya, meski pekerjaan entah mengapa tak bisa diwakilkan. Berlawanan terbalik dengan apa yang Raya rasakan, enam tahun selur
Perguliran waktu kian berlalu dengan cepat, Raya yang menjalani pengobatan kini telah diizinkan pulang. Dengan syarat tetap menjaga pola makan sehat, minum susu dan jangan melakukan hal-hal berat. Komunikasi dua sejoli itu masih terjaga meski Rizal mulai jarang menghubunginya. Berharap pekerjaan cepat selesai hingga ia mengurangi komunikasi intensnya dengan sang kekasih. Setelah menjenguk sang kakak, Raya mengajak Fayed mendatangi tempat di mana dirinya pernah bekerja. Sekedar mengingat kenangannya di tempat itu sekaligus mengecek kebutuhan apa saja yang harus ia beli dan lengkapi. Paska menekan digit-digit angka yang ia hafal, pandangannya dikagetkan dengan kondisi hunian yang tampak berantakan tak karuan. Kamera CCTV langsung mengarak padanya ketika pintu terbuka, dan tak menunggu lama duda pemilik hunian langsung melakukan panggilan. [Cantik! Jangan kausentuh benda-benda itu!] Kalimat pertama yang keluar ketika panggilannya terangkat. [Aku gak ngapa-ngapain.] Balas Raya cuek.
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la