Rizal acuh, tetap melangkah membiarkan Rosa berbicara sambil mengikuti langkahnya menuju mobil."Zal, aku ikut!" Rosa langsung membuka pintu belakang kemudian masuk ke dalam mobil Rizal.Malas meladeni wanita itu, Rizal mendiamkan saja. Ia lebih memfokuskan pikiran pada pencarian. Memaksimalkan waktu ia pun kembali berselancar menggunakan ponsel canggihnya.Lain halnya Rosa, sikap acuh Rizal saat ini justru membuatnya besar kepala. Merasa pria pujaan hatinya itu mulai peduli dan mulai membuka hati."Tito, aku yakin dia belum meninggalkan pulau Jawa. Bisa kau kerahkan seluruh anak buahmu untuk operasi gabungan? Terutama transportasi umum di seluruh Jawa." Menghubungi kembali salah satu pentolan penegak hukum negeri ini, mengupayakan segala cara demi menemukan istrinya."Jika kalian bisa menemukan istriku, aku akan buatkan Weaponized Drone* dan Bozena Riot* secara cuma-cuma.”Andika langsung menoleh pada sahabatnya, ia tahu kedua benda itu, Andika tak habis pikir dengan apa yang ada dal
“Ya, ada apa nih?” tanya Nara pada sang adik.Tiga pria berbadan kekar lengkap dengan seragam yang mereka kenakan, berbicara serius pada kenek dan sopir, tak lama kemudian mereka mulai memeriksa penumpang satu persatu.”Baru kita bahas. Sesuai rencana, Ka.” Raya langsung menutup wajah dan tubuhnya dengan selimut yang ia kenakan.Sedang Nara memberi anggukan paham dengan hati yang mulai deg-degan.Tiga pria itu menghampiri para penumpang, bertanya dari mana dan mau ke mana sambil memperhatikan satu-persatu wajah para penumpang terutama para perempuan.“Dari mana dan mau ke mana, Mba?” Kali ini Naralah yang mendapat giliran pertanyaan.Nara mengenakan kaca mata hitam sambil berpegang tangan pada badan kursi di depannya, mendengar pernyataan ia langsung memperagakan bahasa isyaratnya. ”Eh, emm, iyauu, laaa, jah!” Memberi tahu bahwa dia baru saja naik di halte sebelumnya dan bertujuan ke terminal di depan sana.”Oh, oke. Ini siapa?””Au, gaha. Em, yah, uah.” menyentuh kedua mata dan telin
“Sore, Bos,” sapa seorang security ketika Rizal memasuki halaman.Seperti biasa, Rosa telah menunggu di teras, namun kali ini penampilannya tampak berubah. Terlihat lebih santai terkesan dipaksakan.Rosa berdiri antusias menyambut kedatangan Rizal. ”Zal, papah sudah sadar.””Iya, aku tau,” jawab Rizal melangkah cepat berusaha memberi jarak.”Zal, kamu kurusan. Kedua matamu juga merah, sepertinya kamu lelah.””Sa, tidak usah memberi perhatian lebih padaku. Saat ini aku sudah cukup repot mencari keberadaan Raya.” Melangkah memasuki ruang tamu dan langsung menuju kamar sang papah.”Kamu gak perlu mencari Raya, aku bisa menggantikan dia. Ini aku sedang belajar jadi dia.” Menilai pakaian yang ia kenakan saat ini mampu membuat Rizal terkesan.Rizal masa sekali tak hiraukan apa yang Rosa ucapkan. ”Hai, Pah.” Rizal langsung menghampiri ranjang sang papah kemudian mencium tangannya, kuat.“Mengapa kamu kurusan, Nak? Wajahmu pun terlihat kusut dan pucat.””Aku baik-baik saja.” Kebohongan publik
Tepat ketika Andika datang, Rizal mengeluarkan seluruh isi perutnya di ruang tamu. Tanpa diperintah seluruh pekerja di rumah itu langsung bergegas membersihkan lantai yang berserakan muntahan.Beberapa tim medis langsung mengangkat Rizal, memindahkannya ke ranjang pasien, dan dengan sigap membawanya menuju mobil ambulans.Andika sudah mempersiapkan semuanya. Ia sangat paham kondisi sahabatnya, ketika sebuah perintah berkaitan dengan dokter Candra, pria tampan yang hampir menjadi duda untuk kedua kalinya itu pasti tidak dalam keadaan baik-baik saja.Rasa mual masih terasa dari perut hingga rongga mulutnya, tak menunggu lama Rizal kembali memuntahkan isi perutnya dan kali ini muntahan tersebut dalam bentuk cairan.Tampak pria tampan itu terlihat lemas, kedua matanya begitu lelah dan merah, nafasnya terengah seperti habis berlari ribuan kilo. ”Dik, loe bawa laptop gue?” tanya Rizal ketika sudah di dalam ambulans.Masih sempat memikirkan laptop dalam kondisi hampir tak sadarkan diri, sont
Melihat Rosa seperti ingin berbicara rahasia, Hendra pun memajukan kepalanya. ”Ada apa?””Eemm … Bagus kamu duluan ke mobil. Aku sudah lama tidak bertemu Hendra, aku ingin mengobrol sebentar dengannya.”Bagus gelengkan kepala, ia ingin tetap menemani sepupunya.”Aku hanya sebentar.”Dengan tegas Bagus kembali gelengkan kepala.”Aku akan baik-baik saja, kamu lupa Hendra seorang dokter dan jangan lupa dia sahabatku.””Oke, sebentar. Lebih dari sepuluh menit gue akan nyusul loe.””Iya, sudah sana!” usir Rosa, ketika melihat Bagus enggan untuk meninggalkannya.”Kita ke ruanganku,” ajak Hendra paham sahabatnya itu ingin membicarakan hal rahasia dan penting.Rosa langsung memberi anggukan kemudian berjalan berdampingan dengan Hendar yang menurutnya sudah lama tidak bertemu.Tiba di ruangan Hendra, Rosa langsung mengedarkan pandangan. Ruang peristirahatan seorang dokter yang cukup luas. Maklum, di samping Hendra adalah anggota organisasi profesi dokter negeri ini, ia pun merupakan wakil kepa
”Kenapa diam, berasa mimpi, ya? Sama, gue juga gak percaya.”Rizal tersadar dari lamunannya dan bergegas ingin turun dari ranjang. “Ayo jemput bini gue!”“Eits, tunggu dulu,” cegah Andika. “Gue yang akan jalan. Loe tetap di sini, mandi terus istirahat. Kasihan bini loe kalo ngeliat keadaan loe kaya gini, bau lagi.””Gue mau ikut! loe pasti pakai heli gue ’kan?””Gak ada! Loe harus tetap di sini! Gue akan balik cepat, gue jamin kita bakalan sampai dengan selamat!””Oh ya, neh berkas-berkas yang nunggu instruksi loe.” Andika mengambil beberapa berkas dari tangan anak buahnya kemudian meletakannya di atas kasur.Rizal langsung mengambil berkas yang tergeletak di kasur, membuka tiap lembarnya namun ia tidak bisa membaca, penglihatannya buram. Ia berusaha membaca tulisan-tulisan itu namun usahanya percuma, bagian sisi dan tengah tiap benda yang ia lihat tampak gelap.“Zal, loe gak bisa baca?”Rizal gelengkan kepala ragu.“Oke, fiks. Loe harus bener-bener istirahat.” Andika menutup berkas d
Bangun dari tidur panjang menggerak-gerakan kelopak mata, membuat Rizal kembali sadar bahwa kedua indra penglihatnya tidak lagi berfungsi. membuka ataupun menutup kedua kelopaknya tampak semuanya sama saja, gelap, tidak ada cahaya. ‘Bahkan aku tidak tau sekarang pagi, siang atau sudah malam.’ Merenungkan kehidupan macam apa lagi yang harus ia jalani.Merasa kebahagiaannya hanya sebentar, dan Tuhan dengan kuasanya kembali memberi ujian baru, ia pun berusaha bangkit dari keterpurukan. Apapun kondisinya saat ini waktu akan terus berjalan, pikirnya. Meski rasa sedih, takut, dan sedikit rasa tidak terima masih mendominasi perasaannya.Berusaha siap dan mampu menjalani hari dengan kebiasaan baru, Rizal pun berniat ke toilet sendirian tanpa bantuan siapa pun. Dengan percaya diri melepas selimut merasa menghafal semua letak benda di sana dan sudah memprediksi jaraknya, Rizal siap melakukan aktivitas rutin hari ini seolah kedua indra penglihatnya masih berfungsi dengan baik,BRUGH!Baru saja k
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la