Seharian perut tak masuk makanan di tambah lagi indra pengecapnya mengalami luka sobekan, mau tidak mau Rizal harus menghabiskan malam di rumah sakit. Merebahkan tubuh di atas ranjang pasien, dengan pergelangan tangan kanan ia letakan diatas kedua mata yang terpejam adalah cara ternyaman baginya saat ini.
"Nyosor aja si loe, kena batunya, 'kan!" goda Andika, membanting tubuh di sofa panjang."Apa perlu gue ngecek dia?" ucap Rizal tampak tenang."Cek aja, biar lega.""Gak, gak, gak, gue percaya sama dia. Dia gak mungkin macem-macem, dia beda. Dia bukan Ardila." Gelengkan kepala, seolah meyakinkan diri. "Gak usah di cek, gue percaya sama Raya.”“Serah loe daah … gue ngantuk!” Andika langsung memejamkan matanya.Rizal masih tak bisa tidur, mengirim puluhan pesan teks pada gadis yang dituju namun sayang gadis itu sama sekali tak membalas. Bahkan pesan terakhirnya kini berstatus tak terkirim, dan ia sangat paham apa penyebabnya.
MasSenja mulai berganti warna, ibu kota kembali berbisik klakson dan erangan kendaraan yang tak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Duda itu sama sekali tak beranjak, masih saja di ruangan kerjanya ditemani kelima layar datar yang masih menyala. Otak cerdas dan raganya saling bekerja sama, jemari asik menari-nari di atas keyboard dan sesekali mengusap layar lebar di hadapannya, mengganti, mengalihkan gambar dan tulisan di layar datar yang ia perhatikan.Dua buah benda bulat pipih berukuran kecil ia letakan dalam sebuah box tembaga berlapis titanium, box yang tampak elit itu mengalirkan energi listrik membuat benda pipih di dalamnya mulai mencharger dan menyempurnakan fungsi dirinya sendiri.Tubuh letih itu ia regangkan, senyuam manisnya tersimpul sempurna melukiskan gambaran hati yang senang karena benda ciptaannya selesai sesuai dengan fungsi yang diinginkan. ”Ah … lelahnya …””Heh dud
Rizal turun dari kendaraan, ponsel dalam genggaman bergetar menandakan sebuah email masuk, memberi kabar dalam huniannya ada seseorang. Merasa penasaran, Rizal pun langsung menekan gambar berlogo kamera di layar ponselnya, seketika wajah gadis yang dirindu terlihat begitu jelas, tegas dan sangat dekat. ‘Cantik,’ kata pertama yang Rizal keluarkan ketika melihat wajah Raya yang tampak begitu dekat. Ya, teknologi motion track yang ada pada benda pipih itu berputar 180 derajat secara apik mengikuti pergerakan Raya yang langsung tertangkap kamera dan secara otomatis benda itu langsung mengirimkan berita pada pemiliknya. Dilengkapi lensa fish eye canggih dan kamera beresolusi 3.200 megapixel benda pipih itu dengan mudahnya mengatur jarak, fokus, bahkan gadis itu masih dapat dikenali meski berada dalam tempat gelap sekalipun. Dan tanpa pikir panjang, demi kenyamanan dan keamanan Raya, Rizal pun memasang fitur licence plate recognition teknologi, hingga membu
"Rizal!" panggil Rosa kaget dihinggapi malu, mendapati duda itu melihat dirinya berbicara begitu kasar. "Apa yang kalian lakukan!?" tanya Rizal pada para karyawan yang sedang sibuk dengan posel mereka yang bermasalah. "LANJUTKAN PEKERJAAN KALIAN!" Rizal yang dikenal ramah dan tidak pernah marah baru kali ini mengeluarkan suara tinggi, membuat para karyawan terdiam tak percaya dengan apa yang diucapkan bos besar mereka. "KALIAN TIDAK PUNYA KUPING, HAH!?" Teriak Rizal menggema untuk yang kedua kalinya, membuat para karyawan tersadar dan bergegas meninggalkan ruang lobi. Mendapati Rizal begitu marah, kedua wanita itu tampak salah tingkah. Mencoba mengeluarkan suara, namun pita suara keduanya terasa kelu, hingga membuat Rizal kembali mengeluarkan suaranya, "kalian bisa pergi, tak ada yang berhak memberikan penjelasan. Yang saya tau, kalian membuat keributan dan membuat penghuni bangunan ini meras
Tiba di depan dua wanita yang asik adu argumen saling tak mau kalah, Rizal tampak terdiam, menunggu dua wanita itu menyadari kehadiran dirinya. Rizal menatap Ardila kasihan, pakaian yang ia kenakan kini banyak terdapat sobekan hingga membuat pahanya terlihat begitu jelas. Alas kaki yang semula dipakai pun kini sudah pergi tak tahu ke mana lengkap dengan rambut acak-acakan, dan lipstik berantakan. Penampilan yang menyedihkan bagi Rizal. Begitu pula Rosa, penampilan yang tak separah Ardila, namun Rizal yakin penampilan Rosa hari ini adalah penampilan terburuk yang pernah ia alami seumur hidupnya. Wanita berkelas itu, kedua kancing blazernya terputus hingga tang top mahal yang ia kenakan terlihat begitu jelas. Rambut harum yang tergerai indah dan terawat kini terlihat tak seperti biasanya. Tas branded yang semula di bahu kini tergeletak di atas lantai dengan tali yang sudah terputus. "Dasar pelacur!"
Sportcar itu menghantam keras transportasi umum yang sedang diam di halte pemberhentian. Seluruh kacanya pecah, bagian belakang mobil tampak baik-baik saja namun bagian depan mobil itu hancur parah. Tampak wanita di dalamnya masih terjaga, “Zal, Rizal … Zal,” Nama itu yang pertama kali keluar dari lisannya setelah insiden berbahaya yang hampir saja merenggut nyawanya. Ia masih terduduk di kursi pengemudi dengan seatbelt menyanggah kuat tubuhnya. Tubuh yang terkulai lemas, dengan darah segar memenuhi kening dan baju yang ia kenakan. ”Zal, Rizal … aah …” Sambil menggerak-gerakan kepala, wanita itu lagi-lagi memanggil nama yang sama berusaha menghilangkan sakit di seluruh tubuhnya. Tak menunggu lama, tempat itu langsung dipenuhi banyak orang dan siap mengabadikan kejadian, namun sayang, belum sempat orang-orang itu melakukan apa yang mereka inginkan aparat berwajib langsung menghalangi, melarang bahkan
Di sebuah rumah sakit swasta ternama los Angeles, Amerika Serikat. ”Huft.” Hela nafas Rizal terdengar lelah, membanting tubuh di sofa. Berbicara sebentar dengan gadis itu justru membuat Rizal kesal hingga lelahnya bertambah parah. ‘Apa susahnya bilang ‘iya kangen’ demi menyenangkan orang lain!’ ”Kamu cape, Nak? Ada apa, apa ada kerjaan yang harus kamu selesaikan? Pulanglah, papah gak masalah di sini menunggu Rosa.” tawar papah Dirga melihat anak angkatnya tampak begitu leleh. Entah sejak hari apa pria tua itu memanggil Rizal dengan sebutan ’nak’, namun yang pasti panggilan itu keluar begitu saja sejak mereka di Amerika. Kepercayaan dan rasa sayang pria tua itu semakin bertambah ketika melihat sang anak angkat begitu bertanggung jawab. Bagi pria tua itu Rizal sangatlah layak menjadi anak bahkan calon suami dari anak semata wayangnya. Tanpa lelah dan keluh Rizal selalu menjaga dan memfasilitasi seluruh kebutuhan Rosa. Memanjakan, memberikan obat, berkon
[Tuan maaf, di sini tengah malam. Boleh saya melanjutkan tidur?] Rizal menertawakan dirinya sendiri, marah tanpa alasan karena ia lupa perbedaan waktu kedua negara, namun perkataan Raya barusan membuatnya tidak suka. [Kamu gak suka ngobrol denganku? Kamu gak suka jika aku bicara apa adanya tentang perasaanku?] Pertanyaan Rizal seolah menggantung karena Raya sama sekali tak menjawabnya. [Baiklah, mungkin kamu sangat lelah, beristirahatlah. Nanti malam aku telepon dan kamu harus mengangkatnya. Bye!] Rizal langsung menutup panggilan. Sejujurnya ia masih ingin berbicara dengan Raya, ia butuh gadis itu untuk sekedar melepas rindu. Namun sepertinya gadis itu sama sekali tak menghiraukan perasaannya. Masih di ruang yang sama, demi menghilangkan rasa rindu duda itu kembali memutar rekaman video yang ada dalam emailnya, berharap waktu cepat berganti malam dan rindunya segera hilang, karena duda itu akan kembali menghubungi Raya nanti malam. Wak
“Aku tidak bisa, Pah. Maaf,” tolak Rizal menundukkan wajah mewakili permintaan maaf melalui sebuah gerakan. Apa yang Rizal katakan tak sesuai ekspektasi pria tua itu, sedikit kaget, namun sang papah siap memutar otak dan rencana demi membahagiakan anak semata wayangnya. ”Mengapa, mengapa tidak bisa? Apa kau tidak peduli lagi dengan papahmu ini?” “Bukan, bukan seperti itu, aku mau melakukan apapun untuk Papah, apapun itu. Tetapi untuk menikah dengan Rosa itu bukanlah sebuah pilihan. Aku pernah gagal dalam berumah tangga, aku tak ingin terjadi hal yang sama, aku harap Papah paham dan bisa mengerti.” Rizal berusaha meyakinkan sang ayah angkat, berharap pria tua itu mau menerima keputusannya. ”Itu bukan alasan yang tepat, Papah tau kamu hanya mencari-cari alasan.” Kali ini Rizal yang kaget dengan perkataan pria tua itu, pasalnya dia bingung harus memberi alasan apalagi agar pria tua itu bisa menerima keputusannya. ”Bagaimana, adakah syarat yang ingin kau
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la