“Aku tidak bisa, Pah. Maaf,” tolak Rizal menundukkan wajah mewakili permintaan maaf melalui sebuah gerakan.
Apa yang Rizal katakan tak sesuai ekspektasi pria tua itu, sedikit kaget, namun sang papah siap memutar otak dan rencana demi membahagiakan anak semata wayangnya. ”Mengapa, mengapa tidak bisa? Apa kau tidak peduli lagi dengan papahmu ini?”
“Bukan, bukan seperti itu, aku mau melakukan apapun untuk Papah, apapun itu. Tetapi untuk menikah dengan Rosa itu bukanlah sebuah pilihan. Aku pernah gagal dalam berumah tangga, aku tak ingin terjadi hal yang sama, aku harap Papah paham dan bisa mengerti.” Rizal berusaha meyakinkan sang ayah angkat, berharap pria tua itu mau menerima keputusannya.
”Itu bukan alasan yang tepat, Papah tau kamu hanya mencari-cari alasan.” Kali ini Rizal yang kaget dengan perkataan pria tua itu, pasalnya dia bingung harus memberi alasan apalagi agar pria tua itu bisa menerima keputusannya.
”Bagaimana, adakah syarat yang ingin kau
Raya menutup panggilan teleponnya, heran. ’Mas Dika gak salah, masa iya aku harus ke kantor sekarang!’ Dengan malas Raya menghentikan pekerjaan dan pergi meninggalkan hunian sang tuan. Setiba Raya di lobi utama gedung megah milik sang tuan, edaran pandangannya langsung disambut sosok yang sangat ia hafal dan kenal. Sosok yang selalu menjadi pusat perhatian siapa pun yang melihat raga dan wajahnya. Sosok bertubuh gagah, berwajah tampan. Sosok yang tampak mundar-mandir gelisah menunggu seseorang di muka sofa lobi utama. Jantung Raya berdegup kencang entah sejak kapan, senyumnya terkembang begitu manis mengartikan sebuah perasaan senang. Ya, tanpa ia sadari akhir-akhir ini sosok itu mulai ia rindu dan membuatnya menunggu ingin segera bertemu. Sosok itu mengarahkan pandangan ke mula lobi, seketika senyum terindah plus lesung pipit hadir begitu saja, ketika kedua mata elangnya menangkap sosok yang sangat dirindu menatap dengan tatapan senang. Tanpa
“Rosa!?” ucap Rizal kaget dan langsung melepas genggaman tangannya. “Ka-kalian ada hubungan apa? A-apa yang membuatmu begitu senang?” Rosa terlihat kebingungan mendapati Rizal berjalan begitu senang sambil menggenggam lengan Raya. BIP PIP Suara sensor mobil berbunyi, menandakan mobil gagah yang kini terparkir di sisi lobi sudah tak terkunci. “Raya, tunggu Dika,” ucap Rizal datar kemudian menghubungi Andika, meminta sahabatnya itu agar segera ke mobil kemudian mengantar Raya. Sedikit kecewa dengan sikap Rizal barusan, namun tak ada yang bisa Raya lakukan, ia hanya bisa meninggalkan tempat itu dan membiarkan pria yang baru saja meminta dirinya untuk dijadikan istri, kini menyuruhnya pergi. “Ada apa, Sa?” tanya Rizal datar. ’Dia menyuruh Dika untuk mengantar pembantu itu, dan dia tidak menjawab pertanyaanku.’ ”Rosa ... hei ….” Dengan lambaian tangannya Rizal coba mengembalikan kesadaran wanita itu. ”Sa … jika kau diam saja
Rizal melangkah cepat bersama Andika, para security dan dua orang pengelola gedung menyapa ramah namun hanya Andika yang membalas sapaan mereka, sedang Rizal masih sibuk dengan rasa khawatir dan rasa bersalahnya. Hampir memasuki lift tiba-tiba Rizal menghentikan langkah, memutar tubuh, kemudian kembali menuju lobi utama. ‘Jah, mau ke mana lagi neh orang!?’ Ingin tahu apa yang akan dilakukan sahabat sekaligus bosnya, Andika pun mengikuti Rizal berbalik arah dan kembali melangkah cepat. Dalam langkahnya Rizal mengeluarkan ponsel dari saku celana, menekan beberapa digit angka dan langsung membuka galeri foto. ”Sorry mengganggu waktu kalian, apa kalian sempat melihat gadis ini?” ucap Rizal ketika tiba di muka lobi, ia langsung menunjukkan foto Raya yang sedang menata hidangan. Para security dan pengelola gedung langsung memotong jarak, memajukan langkah merasa penasaran ingin melihat siapa yang ada di ponsel duda itu. ”Oh, saya ingat, Bos. Gadis i
’Aku tidak melihatmu di kampus hari ini,’ ucap Rizal dalam hati, serius menatap Raya. ”Apa kau baik-baik saja?” Raya kembali anggukan kepala. Kedua mata mereka saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Merasa tak nyaman dengan posisinya saat ini, Raya siap mendudukkan tubuh. Namun belum sempat Raya terduduk sempurna rasa nyerinya kembali terasa bersamaan dengan Rizal yang menarik tubuhnya. “AW!” teriak Raya refleks, Ketika Rizal tiba-tiba menarik tubuhnya. ”Kenapa, apa yang sakit?” tanya Rizal sedikit khawatir, takut sikapnya melukai gadis itu. Lagi-lagi dalam posisi berbaring menyamping Raya gelengkan kepala. “Menikahlah denganku,” ucap duda itu cepat. Dengan lengan Rizal dijadikan bantal, deru nafas saling terdengar, jarak yang begitu dekat dan pandangan mata yang saling menatap, Rizal mengikuti isi hatinya kembali mengajak gadis itu untuk menikah. “Tua_ “Berikan aku alasan yang masuk akal. Jangan beralasan Rosa l
Pandangan Rizal langsung mengarah pada partisi lebar di hadapannya. Tampak dua foto wanita berukuran besar, wanita cantik bertubuh mungil dan wanita cantik dewasa terlihat kaya. Kedua wanita yang pernah menghiasi harinya dan sempat menjadi pusatnya untuk meraih bahagia. ’29 tahun. Ambil hatinya. Baik, pemaksa, manja, berterima kasihlah sama dia! Kaya raya, gak pernah susah. Kamu kaya raya kalau nikah sama dia! Gak bisa suka! Pewaris seluruh aset Dewantara Grup. Cantik, menarik. Cinta banget sama kamu! wanita baik-baik, tapi aku tetap gak suka! lembut, mulai agresif. Dokter Hendra? Papah jahat! Gak bisa cinta. Harus hati-hati dengan keluarganya. Suka seenaknya. Suka merintah. Haruskah sama dia?’ ’28 tahun. Rindu, Ardila kembalilah, kamu cerdas, kamu cantik, aku cinta kamu, demi kamu aku bisa kaya! aku gak bisa melupakanmu! dasar tukang selingkuh! aku sayang kamu, gak tau diri, pelakor! Tapi aku cinta. Dia kembali. Aku ingin menciumnya. Dilema. Berusaha menunjukkan keb
“Tuan, kenapa bengong? Em … jika tuan tidak keberatan, boleh saya memberi saran?” ”APA?!” ’Dia marah lagi! Kerjanya marah mulu.’ Meski Raya berbicara dalam hati, dari raut wajahnya yang terlihat cemberut, Rizal mampu membaca sesuatu. ”Kenapa? Aku marah terus! Kamu yang selalu membuatku marah. Beberapa menit membuatku melambung tinggi, sedetik kemudian kau membantingku ke dasar bumi. Kau selalu mampu merusak moodku!” ”Maaf,” ucap Raya menunjukkan wajah memelas. ”Tak perlu tunjukan wajah memelasmu itu, moodku masih belum berubah! Apa, kau akan memberi saran apa?” Mobil masih dalam keadaan berhenti, Rizal menatap Raya serius. “Bagaimana jika tuan mencari tau tentang perasaan tuan, tuan lakukan pendekatan pada keduanya. Dinner bareng, jalan ke mall, ikuti kegiatan mereka, em … atau sekalian liburan. Mungkin dengan kedekatan itu tuan akan lebih mengenali mereka dan tuan akan menemukan sisi positif keduanya yang tuan belum tau.” ”Nga
Raya diam terpaku, menggigit pelan kulit jarinya sambil sesekali menatap Andika, menganggap pria di hadapannya saat ini bisa juga serius dalam berbicara. ”Ayo, ngomong!” seru Andika tak sabar. ”Aku beneran abis ke dokter, Mas.” “Bener kata Rizal, kadang loe ngeselin. Loe tuh udah ketangkep basah, masih aja ngeles. Jangan sampe gue mikir macem-macem tentang loe, ya!” Raya tundukan kepala menatap lantai rumah sakit mempertimbangkan keputusannya. “Tapi janji, jangan bilang tuan Rizal.” ”Hm, apaan!?” ”Janji yaa …” ”Iyaa … cerewet banget si neh bocah!” omel Andika tak sabar. ”Saya kemarin kecelakaan dan tadi habis ke dokter ortopedi.” ”Oh my GOD! Salah lagi ‘kan gue!” keluh Andika sambil menepuk keningnya. ”Terus, keadaan loe gimana? Apa yang luka!?” tanya Andika cepat sambil memperhatikan fisik Raya. ”Aman, rusuk saya hanya retak dan butuh waktu untuk pemulihan.” ”Terus, apa hubungannya sama Rizal, b
Merasa tidak ada etikat baik dari pihak Raya, beberapa wali murid menerobos masuk ke ruang guru. "Iya benar, harus bertanggung jawab! Pak Anderas, pokoknya kami tidak mau tau, Fayed harus dikeluarkan dari sekolah. Sikapnya itu akan memberi pengaruh buruk pada anak-anak kami, benar gak Ibu-ibu?" ucap salah seorang wali murid memprofokasi. "Benar!" "Benar!" "Betul banget!" Jawab para wali murid. "Belum lagi orang tuanya yang bawa laki-laki selalu beda, makin menambah kekhawatiran kami dengan citra sekolah ini," tambah seorang wali murid, sambil melihat Andika dari atas ke bawah. Andika yang diam sejak tadi kini di bawa-bawa, ia pun merasa tak terima. "Apa maksud omongan ibu tadi? Suka-suka Raya dong, mau bawa siapa! Gak ngegodain laki orang, gak ngaruh juga sama gaji laki loe, terus apa masalahnya!?" sewot Andika sambil membenarkan posisi gendongannya. "Saya tinggal gak jauh dari rumahnya, kerja apaan ampir tiap hari pulang