Berita pernikahan Rosa dan Rizal terdengar simpang siur, awak media menunggu konferensi pers namun sampai keesokan hari keluarga kaya raya itu belum juga mengumumkan berita kebenarannya.Sedang Bagus yang kini berada di rumah Rosa tampak begitu sibuk memberi instruksi pada seluruh anak buahnya.Bagus terlihat tidak tenang, berharap seluruh orang suruhannya mampu menyelesaikan tugas yang ia perintahkan. Melangkah memasuki sebuah kamar megah, tampak di sana Rosa tertidur pulas dan Dirga Dewantara berbaring tak sadarkan diri di ranjang yang berbeda.Ia melangkah kemudian dengan perlahan menjatuhkan bokongnya di kursi tepat di samping Dirga Dewantara berbaring. Menatap pria tua itu berharap ia segera sadar dan membantunya menyelesaikan seluruh masalah yang ada. ”Om, aku tidak akan membiarkan Rosa masuk penjara. Aku akan melindunginya, bila perlu aku yang akan menggantikannya sebagai rasa terima kasihku, karena selama ini Om telah merawatku dengan sangat baik. Aku sudah menghapus seluruh r
Pria tampan nan gagah itu memasuki ruang rapat, seluruh dewan direksi dan para pemegang saham sudah menunggunya dan Rizal datang di waktu yang tepat. Aroma maskulin dan aura kecerdasan sangat terpancar ketika Rizal melangkah menuju kursi utama yang telah di sediakan untuknya.Belum sempat ia terduduk Bagus diikuti beberapa orang kepercayaannya masuk dan langsung melangkah menuju kursi tepat di sisi kanan Rizal. Rizal sama sekali tidak hiraukan kehadiran Bagus, dengan gaya santai Rizal menarik kursinya kemudian menduduki kursi kebesaran yang biasa digunakan Dirga Dewantara.Setelah Bagus nyaman dengan kursinya ia memajukan tubuh ke arah Rizal dan berbisik. ”Zal, Tugas gue melindungi Om dan Rosa. Akan sangat berdosa kalau gue sampai membiarkan Rosa masuk penjara. Jadi gue harap loe paham posisi gue saat ini.”Rizal tidak menghiraukan apa yang Bagus ucapkan, justru ia mulai menyalakan mikrofon dan siap bersuara mengutarakan keputusannya.Sekilas Bagus melihat tanda merah yang ada di lehe
Pria tua itu langsung menginstruksikan sopir pribadinya menuju sebuah kawasan, setelah mendapatkan berita dari orang kepercayaannya.Tiba di lokasi, ia langsung mendapati sosok gadis yang sejak lama ingin sekali ia jumpai. Bermodalkan keberanian dan berharap sopir gadis itu tidak melihatnya ia pun melangkah menuju gadis yang kini duduk di pelataran sebuah kuburan.”Nona Raya,” panggil pria tua itu dari kejauhan.Raya menolehkan kepala, kelopak mata yang menyipit dan tangan kanannya yang menyentuh dahi seolah bekerja sama mengurangi sengatan mentari pagi dibalik tubuh pria tua yang memanggilnya. ”Maaf anda mengenal saya?” tanya Raya ketika pria tua itu berjarak kurang lebih tiga meter dari posisinya saat ini.Pria tua itu menghentikan langkah tepat di hadapan sebuah gundukan tanah, seolah ia sedang mengunjungi kerabatnya yang telah tiada entah itu kubur siapa. ”Bisakah anda meninggalkan Rizal?” Tidak menanggapi pertanyaan Raya, tidak membiarkan dirinya berbasa-basi demi efesiensi waktu
“Jangan seperti ini, kamu membuatku takut.” Raya mendorong pelan tubuh Rizal mengutarakan isi hatinya dengan jujur. Perkataan suaminya barusan menambah sebuah poin pada keputusan yang akan dia ambil. Ketakutan istrinya selalu berubah-ubah dan Rizal selalu mampu melihat perubahan itu. Terkadang hanya dengan menyentuh lehernya saja, gadis itu sudah ketakutan dan terkadang seperti apa yang kini Rizal lakukan ia bisa menikmatinya dan mereka mampu melakukan hal yang lebih intim dari ini, tapi mengapa siang ini istrinya terlihat berbeda. Sekelumit rasa coba Rizal urai penyebabnya, namun ia belum mendapatkan sebuah jawaban. Rizal menghentikan gerakan, nafasnya masih terengah sebagian mulutnya masih basah dan kenikmatan yang baru sebentar ia rasakan lagi-lagi terhenti karena sebuah penolakan. Masih dengan memeluk istrinya, perlahan dan hati-hati Rizal menaikkan resleting yang sempat ia turunkan. Mengatur nafas masih kemudian melepaskan pelukannya. ”Maafkan aku, aku tidak bisa menahan diri k
Setelah berjam-jam berada di mobil, tidak ingin bertemu di rumah dengan Raya yang mungkin saja sedang berada di sana, Rizal pun memutuskan untuk bermalam di kantornya.Para security yang melihat bos mereka datang, sedikit heran. Pasalnya saat ini telah larut malam dan pria itu masih menggunakan pakaian yang sama. satu persatu dari mereka mulai menyapa namun kali ini sapaan mereka tergantung di udara seolah pria itu tidak melihat dan mendengarnya.“Perasaan tadi pagi si Bos girang bener ketemu istrinya, pake acara muter-muter, kenapa sekarang kaya mayat hidup. Gak mungkin kantor ini bangkrut ’kan?”“Hus, ngaco! Jangan ngomong sembarangan, malaikat lewat berabe! Lagian urusan orang kaya kita gak perlu tau, mending sekarang kerja yang bener.” Saut security lainnya. ”Lagi punya muka kegantengan, pusing ’kan lo!” Lanjutnya lagi melangkah menyusuri lobi yang tampak sepi.Hingga hari berganti dan waktu larut kembali Rizal belum juga meninggalkan ruangannya.“Zal, kerjaan udah beres ‘kan, bal
Teriakan kedua resepsionis wanita seketika mengundang perhatian, membuat mereka yang berlalu-lalang atau sekedar duduk di kursi lobi merasa tertarik dan penasaran.Sadar Rizal masih memperlihatkan amarahnya, pria resepsionis itu mundur beberapa langkah sambil memegang wajah. Belum sempat ia membenarkan posisi tubuh Rizal sudah berada di depannya dan kembali memberi pukulan.DHUK!Rizal menghantamkan tinju ke arah perut pria itu membuatnya tersungkur kesakitan. Pria itu ketakutan hingga ia kembali memundurkan langkah. ”Maaf, Bos.”“Raya istri gue! Dia istri sah gue!” ucap Rizal memajukan langkah.“Maaf, Bos saya gak tau.” Berusaha memberi jarak dengan Rizal, namun langkah mundurnya belum sempat berjarak banyak Rizal sudah lebih dulu menendangnya dengan sangat kuat, membuat pria itu terjatuh dan Rizal kembali memukulinya. Pukulan yang membabi-buta, seolah ia sedang melampiaskan kekesalan yang sudah menumpuk sekian lama.BUGH! BUGH! BUGH!“Raya istri gue! Dia istri sah gue!” ucap Rizal b
”Pah bangun, sadar dong, Pah.” Rosa duduk di sisi ranjang sang papah, berharap pria tua itu sadarkan diri. ”Rizal keterlaluan, Rosa malu, Pah. Kasih tahu Rosa, apa yang harus Rosa lakukan. Bantu Rosa, Pah.”Terbiasa setiap masalahnya diselesaikan oleh sang papah, kali ini Rosa kebingungan, hampir putus asa.”Sekarang semua orang tau kalau Rizal sudah menikah, mau ditaruh di mana muka Rosa, Pah. Papah jahat kalau gak bantu Rosa, Papah kejam kalau biarkan Rosa terpuruk seperti ini. Kasih tau Rosa, Pah, apa yang harus Rosa lakukan.””Rosa seperti orang yang gak punya orang tua, Papah bangun … bantu Rosa …””Rosa takut, Rosa takut bertemu orang-orang. Mereka pasti mencemooh Rosa. Pah, Papah bangun dong …” Rosa mulai mengguncang tubuh sang papah, memaksa pria tua itu sadarkan diri kemudian membantunya seperti biasa.“Gara-gara Papah seperti ini Rizal menjauhi Rosa, gara-gara Papah diam saja semua jadi kacau begini. Bangun, Pah. Please bantu Rosa sekarang …”Kedua orang suster melihat kejad
Andika sudah berada dalam apartemen mewahnya, mencoba pejamkan mata, tetapi tidak bisa. Pikirannya terbagi dua, namun fokusnya tetap tertuju pada Rizal sang sahabat. Ia sangat yakin ketika Rizal mulai bergerak melakukan pencarian tak lama Nara pasti akan ditemukan.Andika sesekali masih terus menghubungi Rizal, berharap pria itu mengangkat panggilan dan menyuruhnya untuk mendatangi huniannya. Ternyata hingga waktu membelah malam Rizal baru mengangkat panggilan. ”Dik, ke sini ya.” Suara itu terdengar berat, ada nada keputusasaan di dalamnya.”Cantiik, aku haus. biasanya kamu yang selalu bangun dan menuangkan minum.”Terasa haus di tenggorokan, Rizal terbangun dari tidurnya. Malam yang gelap gulita, tanpa sedikit pun cahaya. Meraba sebelah kasur, lagi-lagi membuatnya tersadar akan ketiadaan istrinya. Merangkak ke arah nakas mencari gelas, namun sepertinya gelas itu tidak ada, yang ada hanya pantulan cahaya dari ponselnya yang tiba-tiba hadir, berakhir meminta bantuan Andika.’Cantik, ka
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la