Rencana haha-hihi Resta semalaman suntuk gagal total. Ujung-ujungnya minggunya terjebak bersama Gyan lagi. Sempit-sempitan di tempat tidur, bangun hampir siang bolong, sampai badan remuk redam. Belum lagi menghadapi kelakuan absurd Gyan yang tidak kebanyakan orang tahu. "Menjauh enggak?" ancam Resta saat Gyan masih saja menggesek-gesekkan 'anunya' yang menegang di balik celana ke bokong Resta. Di belakangnya Gyan manyun, lantas mundur dan bergeser ke sisi Resta. "Yang, kamu nggak kasian sama dia." Gyan mengarahkan matanya ke pangkal celana. "Nggak pernah kamu sentuh." Di tempatnya, Resta yang sedang menekan roti dengan spatula pura-pura tidak peduli. Mau tuh laki nangis sambil koprol Resta tidak mau menggubris. "Yang...." Tidak dipedulikan Resta pria itu merengek seperti anak kecil. Membuat Resta ingin memanggangnya bersama roti itu. "Mending kamu mandi deh, Gy. Dan please nggak usah drama lagi. Nggak cocok sama muka kamu," ujar Resta sadis, memutar bola mata. "Ini bukan drama.
Papi : [ Papi pasti tahu kalau kamu tidak datang. Jangan bikin malu papi.] Gyan berdecak kesal. Jika bukan karena pesan itu dia tidak akan mungkin berada di sini. Di rumah besar Surya Wiratama yang tengah mengadakan pesta bertajuk welcome home Amanda. Berlebihan. Bertahun-tahun Gyan di NYC dan Kanada, tidak pernah tuh dia bikin pesta begini. Pria itu mencibir. Sangat tidak berguna dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Oke, dia hanya perlu setor muka setelah itu balik. Jangan lupa selfie untuk dikirim ke papinya, bukti bahwa dia hadir di pesta Amanda. Dengan malas, Gyan menyambar blazer di kursi sebelah. Mendadak dia teringat Resta yang juga diundang ke pesta ini. Gyan membuang napas. Keduanya masih perang dingin. Jujur, dirinya merindukan wanita itu. Ingin memeluk dan menciumnya, tapi tiap kali ada dorongan ingin berbaikan ingatannya kembali ke pesan sialan Aaron itu. "Aku harap dia nggak nekat datang," gumamnya sembari mengenakan blazer. Setelahnya dia keluar dari mobil, dan sadar
Mau tahu rasanya terdampar di tempat asing sendirian? Atau rasanya berbeda sendiri sementara orang-orang sekitar kompak seragaman? Itulah yang dirasakan Resta sekarang. Dia tertegun di tempat begitu kakinya menginjak taman rumah keluarga Surya Wiratama. Tempat di mana pesta putri bungsu orang besar itu berlangsung. Resta sampai harus mengecek kembali pesan yang Amanda kirim beberapa hari lalu untuk memastikan dia tidak salah kostum. Berulang kali membaca, isinya tetap sama dan tidak ada perubahan atau bahkan ralat pesan dari Amanda. Resta menelan ludah melihat para tamu undangan. Dia bahkan sempat memastikan tidak salah alamat pada salah satu pelayan yang kebetulan lewat. Siapa tahu alih-alih pesta Amanda dia malah nyasar ke tempat prosesi pemakaman. Pasalnya dirinya saat ini mengenakan gaun warna merah menyala, tapi tamu yang hadir semuanya menggunakan outfit berwarna hitam. Coba bayangkan? Kesialan macam apa yang dia hadapi sekarang? Kalau bisa tenggelam ke dasar bumi saat ini jug
Gyan meremas gelas dengan pandangan lurus tertuju pada Resta yang tengah mengobrol dengan Aaron. Dia juga melihat bagaimana wanita itu tersenyum dan terkekeh. Giginya di dalam rongga mulut saling gemeretak menahan kesal. Dia mendengus kencang begitu melihat Aaron menggiring wanita itu ke stand-stand makanany yang tersedia. "Ada yang panas, tapi bukan api," celetuk Marsel. "Ada yang ngebul, tapi bukan asap," sambung Vino. Kedua manusia itu lalu tergelak melihat wajah Gyan yang makin suram. Vino menepuk-nepuk pundak Gyan. "Slow, Man. Aaron cuma menganggap Resta seperti adik sendiri kok. Resta kan sahabat Joana. Mungkin cuma sedikit iseng, tapi kan wajar namanya juga laki. Asal isengnya nggak kayak si kunyuk di samping lo itu." Vino melirik Marsel seraya cengengesan. "Bangsat, kayak lo nggak aja," timpal Marsel memutar bola mata. "Eh, tapi. Kalau kalian pacaran kenapa nggak datang barengan? Kalian lagi berantem?" Pertanyaan Marsel membuat Vino ikutan mikir. "Jangan bilang ini buntut
Sekilas Resta melihat sosok Gyan, tapi kemudian menghilang. Dia yakin 100 persen pria itu datang ke pesta Amanda. Hanya saja sudah beberapa lama di sana Resta belum juga melihat dengan jelas lelaki itu. Di depannya Aaron masih bercerita tentang hotel yang dia kelola di Nusa Penida. Hanya segelintir yang bisa Resta tangkap dengan jelas. Selebihnya seperti kerumunan suara lebah. "Halo," sapa seseorang membuat Resta menoleh. "Masih ingat aku?" Untuk sesaat Resta mengerutkan dahi. Dan tak berapa lama adegan ciumannya bersama Gyab di atas dek kapal berkelebat, secepat kilat kepalanya langsung mengingat pria yang tersenyum lebar di hadapannya ini. "Marsel?" tanya Resta memastikan. Marsel tersenyum sok cool seraya menyugar rambutnya yang cepak. "Ternyata kamu masih ingat meskipun aku dengan rambut baru." "Iya, kamu terlihat berbeda dari waktu itu." "Hei, sodara Vino. Jangan memonopoli gadis cantik. Lo seharusnya berbagi sama kita." Aaron terkekeh lantas menyeruput minumannya. "Dia buk
Belum sempat Gyan menemui Resta, dua orang pria dengan pakaian serba hitam menghampirinya. Dua pria itu bahkan mengenakan kacamata hitam saat malam begini. Selama beberapa saat keduanya terlihat memberitahu sesuatu kepada Gyan. Dan tidak lama dari itu seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Gyan mengikuti kedua langkah orang itu. Dia mengurungkan niatnya menemui Resta dan dibawa menjauhi area pesta. Langkahnya menuju bangunan utama yang bisa Gyan prediksi kediaman keluarga Wiratama. Gyan terus mengikuti dua orang itu hingga sampai di ruang keluarga rumah mewah tersebut. Di sofa panjang dengan hamparan mantel kulit macan, netra birunya menangkap sosok Surya Wiratama yang sedang menyesap sebuah cerutu. "Selamat malam, Pak Surya," sapa Gyan tersenyum tipis. "Selamat malam, Putra Daniel," sambut Surya. Dia menyerahkan cerutunya kepada salah seorang yang mengantar Gyan ke rumah ini tasi sebelum berdiri dan mempersilakan Gyan duduk dengan ramah. "Terima kasih karena sudah datang ke pesta
Resta menggigit bibir kuat-kuat. Tubuhnya menggigil padahal Gyan sengaja mematikan AC mobil. Selama perjalanan menuju apartemen sebelah tangan Gyan bahkan terus menggenggam tangannya. Tidak ada efek apa pun di tubuh Resta kecuali hatinya yang menghangat. Pria itu masih peduli padanya. Resta pikir selama beberapa hari ini Gyan benar-benar marah. Demi apa pun dia ingin berbaikan dengan lelaki itu, tapi jarak yang Gyan pasang membuat nyalinya menciut untuk mendekat. Sesampainya di unit, Gyan menggiring Resta ke kamarnya. "Duduk. Akan kusiapkan air hangat." "Enggak us—" Punggung Gyan sudah lebih dulu masuk kamar mandi tidak peduli ucapan Resta. Kembali Resta menggigit bibir, dia mengeratkan blazer yang menyampir di tubuhnya, dan memutuskan menurut saja. Namun setelah beberapa saat menunggu, tanpa alasan yang jelas Resta merasa gelisah. Dia beranjak berdiri, menatap pintu kamar mandi sejenak, sebelum memutuskan menyusul Gyan masuk ke sana. Kran air di bathtub menyala. Sementara itu Gya
+6283456xxx : [ Dasar cewek murahan, pecun tengik, gundik pelakor, gold digger! Mati saja sana!] Resta menelan ludah ketika lagi-lagi dia mendapat pesan yang isinya kata-kata hujatan tak bermoral. Sejak beberapa hari lalu nomor-nomor asing terus bermunculan dengan isi pesan serupa. Lebih parah ada yang sengaja telepon tapi keluarnya suara ambulan kalau enggak suara tangisan. Dan gara-gara itu hidup Resta menjadi tak tenang. Namun sampai detik ini dia belum memberitahu Gyan perihal teror yang menimpanya. Meski Resta bisa menebak dalang dibalik pesan-pesan kaleng itu, tapi tidak mungkin dia asal menuduh. Sejak kejadian malam itu, Amanda tidak pernah mengganggunya lagi. Biasanya wanita itu akan terus menghubunginya meminta Resta mengosongkan waktu Gyan. Tapi sebagai gantinya Resta mendapat teror terus-terusan. "Mau gofood atau masak?" tanya Gyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Resta yang masih memelototi layar ponsel mendongak. "Gofood aja. Kamu mau pesan apa?" Dia kembali me
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest