Delotta tersenyum melihat muka kecut suaminya. Dia lantas mengambil cangkir teh dan mengangsurkannya pada pria tua itu. "Minum dulu. Mungkin itu bisa bikin hati kamu membaik." Daniel menghela napas sebelum melirik cangkir teh dan senyum istrinya. "Thank you, Baby," katanya seraya menerima cangkir itu. Sebentar dirinya menyeruput isi cangkir itu mengabaikan empat pasang mata yang tengah memperhatikannya. Dia menyerahkan cangkir itu kembali kepada Delotta setelah merasa cukup. "I'm sorry, Son," ujarnya lagi yang kali ditujukan kepada Gyan. Bersama Resta, Gyan mengunjungi rumah orang tuanya itu. Meskipun awalnya Resta masih saja enggan. "Papi aku nggak mau loh dijodohin-jodohin kayak Mas Gyan." Ola ikut berkomentar. "Apalagi kalau dijodohin sama orang redflag begitu." Mendengar itu Daniel makin merasa bersalah. "Percayalah, Nak. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya." "Makanya papi jangan terlalu silau dong sama harta. Liat ada peluang sedikit buat ngembangin aset ma
"Bisa-bisanya gue nggak tau kalau kalian punya hubungan."Sella memegangi kepala seperti orang frustrasi. Sementara Resta di depannya tampak serba salah. Pasalnya Sella menolak penjelasan apa pun darinya. "Gue udah curiga waktu pintu ruangan si bos dikunci dan lo ada di dalam sana. Lo sama si bos... Astaga, Res. Lo waras nggak sih?" "Sell...." Sella mengangkat tangannya cepat. Menyuruh Resta diam. "Asal lo tau ya, gosip lo jalan sama si bos santer terdengar, tapi bisa-bisanya gue bantah mati-matian kalau hubungan kalian ini profesional. Ngapain coba gue?!" Resta hendak membuka mulut, tapi kata-kata Sella kembali meluncur. "Dan si Joana. Dia pasti tau kan? Tapi dia diam aja kayak orang bego, malah gue yang capek-capek klarifikasi tentang kalian. Astaga, Resta. Gue kesel banget sekarang tau nggak?!" "Gue minta maaf, Sell. Gue nggak bermaksud nyembunyiin ini dari lo." Akhirnya permintaan maaf itu berhasil Resta utarakan. Tapi—"Nggak bisa! Gue nggak mau maafin lo. Gue merasa tertip
Resta mengeratkan lingkaran lengannya pada lengan Gyan. Ini pertama kalinya dia datang ke Pisa, Italy. Tempat yang benar-benar asing. Dia tidak boleh jauh-jauh dari Gyan kalau tidak mau tersesat. Saat tiba di bandara Pisa, hari masih pagi. Matahari di kota ini lebih lambat sekitar lima jam dari Indonesia. Resta sudah lumayan kenyang tidur di pesawat lantaran sepanjang perjalanan dia terus melewati malam. "Kita akan ke mana?" tanya Resta sambil melihat sekeliling yang terasa asing. "La Spezia." Bukan Roma, Milan, Genoa atau kota-kota besar lainnya yang familiar, nama La Spezia masih terdengar asing bagi Resta. "Itu tempat bagus?" "Bagus. Papi pernah mengajakku ke sana lima tahun lalu. Semoga tempatnya masih sebagus dulu." Rasanya Resta ingin berkata ke mana pun pria itu pergi dia ikut saja. Dia benar-benar buta arah. Yang dia paham setelah keluar dari bandara yang berisi muka-muka khas Eropa, Gyan membawanya menaiki sebuah taksi berwarna putih. Hanya sekitar sepuluh menit mereka m
Malamnya Resta menangis karena kakinya pegal-pegal parah. Tangannya tak berhenti menekan betis dan telapak kakinya. Kalau bisa dilepas, dia ingin melepas kakinya sejenak. Gara-gara itu pun dia menolak makan malam di tempat yang Gyan incar. Herannya, saat Gyan menyarankan wanita itu pergi ke spa, Resta menolak. Resta sedang menekan-nekan betis ketika Gyan muncul membawa sebuah baki. Baki berisi air yang lelaki itu letakkan tepat di bawah Resta. "Apa itu? Air jampi-jampi?" Detik berikutnya Resta terpekik lantaran Gyan menyentil dahinya. Diusapnya bekas sentilan Gyan yang terasa sakit sambil manyun. "Rendam kakimu di sini," perintah Gyan. "Ini air garam. Kakimu akan lebih enakan setelah direndam air garam hangat." Resta tahu mitos itu. Eh, bukan mitos ya. Faktanya hal seperti ini biasanya menjadi step pertama saat melakukan spa. Resta menuruti perintah Gyan. Setelah menurunkan kaki ke dalam baki, dia memposisikan diri bersandar di sofa dengan mata terpejam. Namun belum ada satu meni
98Cuti lima hari seperti berlalu begitu saja. Tahu-tahu Resta dan Gyan sudah disibukan kembali dengan urusan pekerjaan yang makin rumit. Pagi ini saja ketika dirinya baru sampai kantor, Daniel sudah melobinya untuk ikut rapat. Siang nanti dirinya juga harus menemui klien yang sudah di-follow up orang kepercayaan Daniel. Belum lagi masalah di divisi keuangan. Meski ada wakil, Gyan harus tetap mengecek keadaan. Kesibukkan Gyan sama artinya dengan kesibukkan Resta. Mereka satu paket. Di mana ada Gyan, maka di situ ada Resta. Namun tidak seperti dulu saat mereka tidak terlibat hubungan asmara, pekerjaan Resta saat ini menjadi lebih manusiawi. Di waktu-waktu tertentu Gyan tidak segan menyuruhnya untuk istirahat. Pria itu juga jauh lebih peka, terutama di masa-masa sulit jika periode menstruasi Resta datang. Seperti sekarang. Gyan kekeh menyuruhnya diam ketika tahu Resta mendapat haid pertamanya. Padahal di meja kerja pria itu segunung kerjaan melambai-lambai. "Ini belum terlalu sakit b
Resta dikejutkan dengan wajah Gyan yang begitu dekat dengan wajahnya ketika dia membuka mata. Seingat Resta pria itu pulang setelah memberinya obat, tapi kenapa tiba-tiba ada di sampingnya sekarang? Kapan pria itu datang lagi dan menyusup ke bawah selimutnya? Gyan tertidur begitu pulas. Bahkan suara alarm dari ponsel Resta tidak mampu mengusik lelapnya. Membiarkan pria itu tetap tidur, Resta pun bangkit. Kantong kemihnya minta dikosongkan segera. Resta melangkah ke kamar mandi sembari membungkuk menahan nyeri. Menstruasi membuat bawah perutnya ikut berkontraksi. Dia sempatkan menggosok gigi dan cuci muka sebelum keluar dari kamar mandi. Lantas kembali mendekati tempat tidur. Baru juga dirinya merebah sambil berniat mengecek ponsel, lengan besar Gyan terulur dan memeluknya. Kepala pria itu mendusel mencari posisi nyaman. "Gy, kamu nggak ngantor?" tanya Resta. Biasanya jam segini Gyan sudah sibuk di kamar mandi. "Males," jawab Gyan sekenanya masih dengan mata terkatup rapat. "Kerja
Berita tentang kandasnya pertunangan May dan produser itu tengah gencar ditayangkan di beberapa stasiun TV swasta. Siang ini pun sama, berita gosip kembali memutar kabar itu ketika Gyan dan Resta tengah bersantap siang. Resta sengaja tidak memindah channel TV untuk mengetahui reaksi Gyan tentang berita itu. Namun, Gyan terlihat tidak terusik sama sekali. Pria itu malah makan dengan tenang tanpa peduli tentang berita heboh itu. "Kasihan," gumam Resta, seraya melirik Gyan dengan ujung matanya. Dia penasaran dengan sikap kekasihnya yang tampak biasa saja. "Gy!" sentak Resta gemas. "Apa, Sayang?" Daripada tayangan TV, pria itu malah sibuk makan sembari scroll layar ponsel. "Itu mantan kamu putus gara-gara mengalami kekerasan. Kamu nggak iba?" "Iba kok.""Terus kenapa diam aja?" Gyan menjeda kegiatan makan lalu menatap Resta sepenuhnya. "Terus aku kudu ngapain, Sayang?" "Seenggaknya tunjukin kek empati kamu. Dia mantan kamu loh, Gy." Perempuan ini kadang sulit ditebak. Nanti giliran
Joana menyelonong masuk dengan muka sepet ketika Resta baru saja membuka pintu apartemennya. Dengan wajah tertekuk dia langsung mengempaskan diri ke sofa. "Kesel banget gue!" ujarnya ketika Resta mendekat. Resta bingung dengan tingkah sahabatnya itu. "Ada masalah di kantor?" tanyanya mengingat Joana datang langsung dari kantor. Wanita itu masih mengenakan pakaian formal ngantoran lengkap sama blazernya. "Tepatnya sama orang-orang di grup kantor sih." Joana menoleh. "Juga sama lo yang cuma bisa diam aja!" "Kok gue?" Joana mengambil ponsel dan mengutak-atiknya sesaat sebelum menunjukkannya kepada Resta. "Ada yang ngirim foto ini di grup kantor. Sekarang kantor lagi heboh gosip soal Gyan balikan sama mantan." Pelan Resta mengambil alih ponsel Joana. Itu foto Gyan dan May di Star Cafe. Dia tidak terkejut sama sekali lantaran sudah melihatnya sendiri. Meski tidak tertarik dengan apa yang mereka lakukan selanjutnya. Semalam Resta langsung meninggalkan kafe tanpa Gyan tahu. Dan ketika
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest