Resta mengeratkan lingkaran lengannya pada lengan Gyan. Ini pertama kalinya dia datang ke Pisa, Italy. Tempat yang benar-benar asing. Dia tidak boleh jauh-jauh dari Gyan kalau tidak mau tersesat. Saat tiba di bandara Pisa, hari masih pagi. Matahari di kota ini lebih lambat sekitar lima jam dari Indonesia. Resta sudah lumayan kenyang tidur di pesawat lantaran sepanjang perjalanan dia terus melewati malam. "Kita akan ke mana?" tanya Resta sambil melihat sekeliling yang terasa asing. "La Spezia." Bukan Roma, Milan, Genoa atau kota-kota besar lainnya yang familiar, nama La Spezia masih terdengar asing bagi Resta. "Itu tempat bagus?" "Bagus. Papi pernah mengajakku ke sana lima tahun lalu. Semoga tempatnya masih sebagus dulu." Rasanya Resta ingin berkata ke mana pun pria itu pergi dia ikut saja. Dia benar-benar buta arah. Yang dia paham setelah keluar dari bandara yang berisi muka-muka khas Eropa, Gyan membawanya menaiki sebuah taksi berwarna putih. Hanya sekitar sepuluh menit mereka m
Malamnya Resta menangis karena kakinya pegal-pegal parah. Tangannya tak berhenti menekan betis dan telapak kakinya. Kalau bisa dilepas, dia ingin melepas kakinya sejenak. Gara-gara itu pun dia menolak makan malam di tempat yang Gyan incar. Herannya, saat Gyan menyarankan wanita itu pergi ke spa, Resta menolak. Resta sedang menekan-nekan betis ketika Gyan muncul membawa sebuah baki. Baki berisi air yang lelaki itu letakkan tepat di bawah Resta. "Apa itu? Air jampi-jampi?" Detik berikutnya Resta terpekik lantaran Gyan menyentil dahinya. Diusapnya bekas sentilan Gyan yang terasa sakit sambil manyun. "Rendam kakimu di sini," perintah Gyan. "Ini air garam. Kakimu akan lebih enakan setelah direndam air garam hangat." Resta tahu mitos itu. Eh, bukan mitos ya. Faktanya hal seperti ini biasanya menjadi step pertama saat melakukan spa. Resta menuruti perintah Gyan. Setelah menurunkan kaki ke dalam baki, dia memposisikan diri bersandar di sofa dengan mata terpejam. Namun belum ada satu meni
98Cuti lima hari seperti berlalu begitu saja. Tahu-tahu Resta dan Gyan sudah disibukan kembali dengan urusan pekerjaan yang makin rumit. Pagi ini saja ketika dirinya baru sampai kantor, Daniel sudah melobinya untuk ikut rapat. Siang nanti dirinya juga harus menemui klien yang sudah di-follow up orang kepercayaan Daniel. Belum lagi masalah di divisi keuangan. Meski ada wakil, Gyan harus tetap mengecek keadaan. Kesibukkan Gyan sama artinya dengan kesibukkan Resta. Mereka satu paket. Di mana ada Gyan, maka di situ ada Resta. Namun tidak seperti dulu saat mereka tidak terlibat hubungan asmara, pekerjaan Resta saat ini menjadi lebih manusiawi. Di waktu-waktu tertentu Gyan tidak segan menyuruhnya untuk istirahat. Pria itu juga jauh lebih peka, terutama di masa-masa sulit jika periode menstruasi Resta datang. Seperti sekarang. Gyan kekeh menyuruhnya diam ketika tahu Resta mendapat haid pertamanya. Padahal di meja kerja pria itu segunung kerjaan melambai-lambai. "Ini belum terlalu sakit b
Resta dikejutkan dengan wajah Gyan yang begitu dekat dengan wajahnya ketika dia membuka mata. Seingat Resta pria itu pulang setelah memberinya obat, tapi kenapa tiba-tiba ada di sampingnya sekarang? Kapan pria itu datang lagi dan menyusup ke bawah selimutnya? Gyan tertidur begitu pulas. Bahkan suara alarm dari ponsel Resta tidak mampu mengusik lelapnya. Membiarkan pria itu tetap tidur, Resta pun bangkit. Kantong kemihnya minta dikosongkan segera. Resta melangkah ke kamar mandi sembari membungkuk menahan nyeri. Menstruasi membuat bawah perutnya ikut berkontraksi. Dia sempatkan menggosok gigi dan cuci muka sebelum keluar dari kamar mandi. Lantas kembali mendekati tempat tidur. Baru juga dirinya merebah sambil berniat mengecek ponsel, lengan besar Gyan terulur dan memeluknya. Kepala pria itu mendusel mencari posisi nyaman. "Gy, kamu nggak ngantor?" tanya Resta. Biasanya jam segini Gyan sudah sibuk di kamar mandi. "Males," jawab Gyan sekenanya masih dengan mata terkatup rapat. "Kerja
Berita tentang kandasnya pertunangan May dan produser itu tengah gencar ditayangkan di beberapa stasiun TV swasta. Siang ini pun sama, berita gosip kembali memutar kabar itu ketika Gyan dan Resta tengah bersantap siang. Resta sengaja tidak memindah channel TV untuk mengetahui reaksi Gyan tentang berita itu. Namun, Gyan terlihat tidak terusik sama sekali. Pria itu malah makan dengan tenang tanpa peduli tentang berita heboh itu. "Kasihan," gumam Resta, seraya melirik Gyan dengan ujung matanya. Dia penasaran dengan sikap kekasihnya yang tampak biasa saja. "Gy!" sentak Resta gemas. "Apa, Sayang?" Daripada tayangan TV, pria itu malah sibuk makan sembari scroll layar ponsel. "Itu mantan kamu putus gara-gara mengalami kekerasan. Kamu nggak iba?" "Iba kok.""Terus kenapa diam aja?" Gyan menjeda kegiatan makan lalu menatap Resta sepenuhnya. "Terus aku kudu ngapain, Sayang?" "Seenggaknya tunjukin kek empati kamu. Dia mantan kamu loh, Gy." Perempuan ini kadang sulit ditebak. Nanti giliran
Joana menyelonong masuk dengan muka sepet ketika Resta baru saja membuka pintu apartemennya. Dengan wajah tertekuk dia langsung mengempaskan diri ke sofa. "Kesel banget gue!" ujarnya ketika Resta mendekat. Resta bingung dengan tingkah sahabatnya itu. "Ada masalah di kantor?" tanyanya mengingat Joana datang langsung dari kantor. Wanita itu masih mengenakan pakaian formal ngantoran lengkap sama blazernya. "Tepatnya sama orang-orang di grup kantor sih." Joana menoleh. "Juga sama lo yang cuma bisa diam aja!" "Kok gue?" Joana mengambil ponsel dan mengutak-atiknya sesaat sebelum menunjukkannya kepada Resta. "Ada yang ngirim foto ini di grup kantor. Sekarang kantor lagi heboh gosip soal Gyan balikan sama mantan." Pelan Resta mengambil alih ponsel Joana. Itu foto Gyan dan May di Star Cafe. Dia tidak terkejut sama sekali lantaran sudah melihatnya sendiri. Meski tidak tertarik dengan apa yang mereka lakukan selanjutnya. Semalam Resta langsung meninggalkan kafe tanpa Gyan tahu. Dan ketika
"Kak Aaron bilang bisa sih. Tapi lo serius?" Itu sudah ketiga kalinya Joana menanyakan keseriusan Resta. Kalau benar, itu keputusan besar bagi sahabatnya itu. Berulangkali juga Joana meyakinkan Resta agar tidak gegabah dalam mengambil sikap. "Ini sikap yang paling benar," tegas Resta sekali lagi. "Gue masih nggak percaya deh kalau Pak Gyan gitu. Kenapa nggak coba lo tanya langsung sih?" "Dia nggak bakal jujur. Di depan gue dia pura-pura nggak peduli pada apa yang menimpa wanita itu. Tapi di belakang gue, mereka diam-diam bertemu. Itu artinya dia sengaja nggak mau aku tau kan? Gue nggak butuh apa-apa, Jo selain kejujuran dia. Gue nggak akan begini kalau dia berani jujur." Joana menatap Resta dengan prihatin lalu mengangguk pelan sembari mendekat. Dua tangannya terulur lantas meraih Resta ke dalam pelukannya. "I feel you. Gue cuma bisa support semua keputusan lo." "Gue bakal baik-baik aja tanpa dia kan, Jo?" tanya Resta, kembali sesenggukan di pelukan Joana. "Bisa, lo pasti bisa.
Dua tangan Resta bergerak ke belakang menopang tubuhnya agar tidak terjatuh ketika Gyan mengangkat salah satu kakinya. Dia menahan napas saat Gyan mulai mencium dari ujung kaki, merambat ke tumit sampai betis. Dari betis ciuman itu masih terus menjalar ke area paha. Setiap sentuhan yang Gyan berikan, Resta hanya bisa menggigit bibir menahan erangan. Terlalu memabukkan. Mungkin dirinya sekarang gila membiarkan Gyan melakukan segalanya. Dia hanya ingin Gyan tahu bahwa dirinya milik pria itu seutuhnya. "Gy...." Mata Resta terpejam sejenak ketika Gyan berlama-lama mencium area pahanya. Sekarang ini pria itu berada tepat di antara kedua pahanya, memegangi dua paha itu seraya menciumnya berganti. Gyan menggulirkan pandangan ke wajah Resta yang penuh gairah. Dia bisa melihat dada wanita itu naik turun meningkahi napasnya yang memburu. Dia mendekat, bersamaan Resta yang juga mendekat. Kembali keduanya mempertemukan bibir satu sama lain. Melumatnya penuh hasrat seolah tidak akan pernah ada