Suara kekehen di ujung telepon terdengar menyebalkan. Sama sekali tidak ada rasa khawatir sedikit pun tentang apa yang Gyan sampaikan. Beruntung orang itu tidak ada di depannya. Jika iya, satu pukulan saja rasanya belum cukup untuk memberi pelajaran manusia seperti Pram. "Kamu urus sajalah. Bukankah kalian sama-sama masih punya perasaan?" Sialan kan? "Cewek yang lagi koma itu tunangan lo, Bangsat," maki Gyan sudah tidak peduli dengan kesopanan lagi. Pria menjijikan di seberang sana itu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Tawa Pram kembali terdengar. Secuil pun tidak ada rasa simpati. "Mantan," koreksinya. "Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi, kalau kamu mau kembali padanya silakan. Aku tidak peduli." Gyan mengetatkan rahang. Tangannya mengepal, gatal ingin memukul muka orang itu. Dia memejamkan mata sesaat sembari menarik napas panjang. Berharap dengan itu emosinya berkurang. Benarkah tidak ada yang peduli pada May? Bahkan ayah orang tua itu sampai sekarang m
Gyan : Sent pictureGyan : Papi beneran sengaja bikin aku sibuk. Gyan : Kangen ;'( Ini lebih dari apa yang Gyan pikir. Setelah urusan dengan klien di Kuala Lumpur selesai, Daniel tidak membiarkannya langsung pulang ke Indonesia. Dia ditugaskan untuk mengurus masalah pembangunan proyek di Penang yang tersendat. Rencana untuk segera pulang dan cepat ke Semarang gagal total. "Papi harus membayar lebih untuk urusan ini," ujar Gyan agak kesal. Kangennya pada Resta sudah menumpuk lantaran lima hari tidak bertemu."Apa yang kamu mau, Son? Apa yang nggak Papi beri sama kamu?" Gyan berdecak. Faktanya setiap apa yang lelaki itu inginkan, tidak ada yang gratis. Dia harus melakukan sesuatu dulu agar bisa mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan sejak masih kecil "Setelah aku pulang nanti berjanjilah papi sama mami meluangkan waktu pergi ke Semarang untuk melamar Resta." "Begitu?" "Pi, aku serius. Ini sudah lama aku rencanakan tapi belum juga terealisasi." "Urusan itu bisa kita bicarakan nant
Derap langkah terdengar keras di wilayah lobi gedung perkantoran Blue Jagland. Ketukan sepatu yang mengentak dan cepat saling bersahutan. Tidak ada yang tidak memperhatikan pria berwajah keras yang tengah berjalan gegas di lobi mewah itu. Pakaiannya serapi biasanya dengan model potongan tiga setel yang sangat apik melekat di tubuhnya. Hanya saja auranya begitu dingin dan mencekam. "Pak Gyan, Anda ditunggu Pak Daniel sekarang." Suara Rendy mengingatkan ketika telunjuk Gyan menekan angka lantai tempat divisinya berada. Gyan menoleh. "Pak Rendy saja yang menghadap presdir. Saya masih ada urusan lain," ujar Gyan lantas memasuki lift, meninggalkan Rendy yang mematung di tempat. Embusan napas pendek terdengar begitu pintu lift tertutup. Rendy berharap bisa beristirahat sejenak di KL sebelum pulang ke Indonesia. Tapi harapannya sirna ketika Gyan meminta langsung pulang siang itu juga begitu misinya selesai. Bagaimana tidak? Nyaris sepuluh hari mereka benar-benar berkutat dengan masalah in
Pintu berpelitur cokelat itu terbuka ketika Gyan mendorongnya perlahan. Saat langkahnya masuk, dada Gyan mendadak bergetar. Kecemasan kembali melingkupi pria itu. Perasaannya benar-benar tidak nyaman. Unit tipe studio ini sama persis saat dia dan Resta melihatnya untuk pertama kali. Meski perabotnya sudah terisi, tapi terasa hampa. Kaki Gyan terayun menuju ke lemari pakaian. Tangannya ragu ketika akan membuka pintu lemari tersebut. Pikiran buruknya terus berjejalan di kepalanya. Lalu perasaan gelisahnya kontan terjawab ketika tidak menemukan apa pun di dalam lemari tersebut. Refleks, Gyan melangkah mundur. Ada sesuatu yang terasa mencubit hatinya. Tidak ingin pikiran buruk kembali menguasai, dia bergegas meninggalkan apartemen Resta untuk menuju ke unitnya sendiri satu lantai di atasnya. Dalam hati Gyan terus meyakinkan diri bahwa Resta ada di sana. Mungkin Resta sedang tidur di bawah selimutnya. Bisa jadi wanita itu memutuskan tinggal satu atap dengannya seperti permintaannya wakt
Dengan alasan lagi ada di dekat kantor nyokapnya Joana, Vino berhasil menggandeng Joana makan siang bersama. Sesuai apa yang pria itu rencanakan. Sudut bibirnya terulas ketika melihat sosok Joana memasuki restoran. Wanita yang memiliki rambut sebatas leher itu mengenakan rok krim selutut dengan atasan dark blue yang kerahnya berpita besar. Heelsnya tidak terlalu tinggi. Vino melambaikan tangannya saat wanita itu melihat ke arahnya. "Tumben banget sih lo ngajakin gue makan. Ketempelan setan mana?" sapa Joana seraya menarik kursi di depan Vino. Pria yang masih kerabat dekat Joana itu terkekeh. "Kebetulan gue abis meeting di daerah sekitar sini. Terus inget gue punya sodara yang punya usaha deketan sini." Joana mencibir. Tanpa malu-malu dia memesan banyak makanan saat waiter datang. "Mumpung ditraktir. Uang lo pasti udah banyak. Kan udah jadi bos sekarang." "Aamin deh kalau gue beneran jadi bos. Eh by the way, Aaron beneran nggak mau kerja di sini? Lo aja akhirnya gabung sama perusah
Kerumunan itu langsung bubar ketika suara ciri khas langkah kaki Gyan terdengar. Semua staf kontan kembali ke tempatnya masing-masing. Tidak ada yang berani bersuara. Sejak Resta pergi, divisi keuangan kembali mencekam setiap harinya. Sidak, evaluasi, audit, hampir tiap minggu ada. Tidak ada yang bisa santai. Tersenyum saja diawasi. Pagi ini pun suasana tampak tegang. Semua pura-pura sibuk di depan layar ketika Gyan memasuki workstation. Dehaman keras pria itu langsung mendapat perhatian. Kursi-kursi yang ada di sana kontan memutar menghadapnya. "Raisa, Candra. Kalian berdua ke ruangan saya," ucap Gyan, lalu bergerak meninggalkan workstation. Begitu sosoknya hilang ditelan tikungan koridor, semua staf mengembuskan napas lega kecuali nama yang disebutkan tadi. "Mampus, gue punya salah apa lagi ini?" keluh Raisa ingin menangis. "Gue juga bingung. Perasaan, gue selalu cek ulang kerjaan gue sebelum dikirim dan nggak ada komplenan juga," timpal Candra lesu."Iya, gue juga. Gue juga
1 TAHUN KEMUDIAN==================Sudah dua belas bulan lebih berada di pulau ini, tapi Resta baru berani turun ke garis pantai Kelingking Beach. Ini pun karena Aaron terus memaksanya. Demi apa pun! Resta tidak suka dengan track menuju ke sana. Bolak baliknya bikin kaki pegal luar biasa. "Kamu bisa spa di resort nanti kalau pegal. Yang penting bisa nikmati pantainya dulu." Itu yang Aaron bilang. Padahal menurut Resta pantai di Bali sama saja. View menakjubkan, pasir putih, laut biru. Memang apa lagi? Resort mereka juga dekat dengan pantai dan sama eksotiknya dengan Kelingking Beach. "Aku nggak percaya bisa nurutin kamu ke sini, Kak," kesahnya seraya menjatuhkan diri ke pasir putih yang menghampar indah di garis pantai. "Kapan lagi? Mumpung kita berdua lagi libur kerja," sahut Aaron yang sudah melepas kausnya saja. Resta menengok ke atas bukit lalu menangis. "Tapi butuh usaha kuat lagi buat balik. Kamu beneran nyiksa aku! Ujung-ujungnya pantainya sama juga kayak di hotel!" seruny
Seorang wanita berseragam serba putih dengan celemek di pinggang menyajikan dua cangkir cafelatte ke hadapan Ridge dan Resta. Wanita itu tersenyum sopan, lantas berpamitan setelah memastikan semua pesanan sudah tersedia di meja. "Fancy running into you here. Oh my Godness." Ridge menggelengkan kepala dengan senyum yang masih terus melekat di bibirnya yang merah. "Kamu udah bilang gini berapa kali?" Resta terkekeh. "Better kita minum latte-nya dulu." Tangan Resta terulur meraih cangkir berwarna putih di meja. "Your soulmate will find you." Ridge ikut meraih cangkir. Sore yang indah dengan pemandangan Gunung Agung sebagai background, keduanya menikmati kopi bersama. Lengkap dengan berbagai macam kudapan yang disajikan begitu unik di sebuah tempat berbentuk setengah sangkar burung tiga tingkat. "Aku merasa sangat beruntung. Gyan pasti sangat iri denganku kalau dengar ini."Hanya satu sesapan, lantas Resta kembali meletakkan cangkir. Dia menatap Ridge selama beberapa saat. "Kamu bisa