Heh? “Gak bisa lah, Pak. Yang ada tuh lelaki boncengin perempuan. Bukan sebaliknya.”Dia pasti mau modus. Kalau bisa naik mobil, kenapa mesti naik motor? Paling dia mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. “Pasti kamu mikir kotor, dasar omes!” “Bapak tuh yang omes, pasti Bapak mau grayang-grayangin aku dari belakang, ’kan?”“Tuh ‘kan suuzon. Memangnya kamu mau aku yang di depan? Nanti kita sama-sama nyemplung ke got.”Benar juga katanya. Kalau masuk got malah tambah parah. “Ya sudah aku antar, tetapi jangan pegang-pegang!” Mendengar jawabanku, dia tersenyum semringah.Kemudian kami menikmati segelas es teh masing-masing hingga tandas. Sudah tidak ada obrolan lagi di antara kami, benar-benar canggung.Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki memakai baju lusuh, banyak oli di bajunya. Nampaknya orang dari bengkel. “Kuncinya mana, Fan?”Pak Arfan memberikan kunci dan uang yang didapatkan dari Nia tadi. “Sekalian servis ya. Nanti antar ke rumah kalau sudah jadi.”“Tumben kas
“Mama?” ucapku pelan.Pak Arfan nampak terkejut, dia membelalakkan matanya. Aku penasaran dengan nama ‘mama’ di ponsel ini. Sebenarnya ini ibu atau istrinya. Jangan-jangan dia sudah beristri, dan bunga-bunga itu milik istrinya.Angkat tidak, ya? Angkat aja lah, daripada penasaran. Kugeser tombol warna hijau dan panggilan terhubung.“Arfan, kamu pulang ke mana? Buruan balik ke rumah! Mama khawatir denger kabar kamu kecelakaan.” Aku segera menjauhkan ponsel dari telingaku. Kencang sekali suaranya. Khas emak-emak yang sedang memarahi anaknya.Aku harus jawab apa ini? Aku bingung. Bukankah Pak Arfan sudah sampai di rumah?“Maaf, Pak Arfan sudah sampai rumah. Saya yang—“ Ah sial, belum selesai aku berbicara dan ponselnya direbut Pak Arfan.“Aku pulang ke rumahku, Ma. Lebih dekat pulang ke sini daripada ke rumah mama.”Rumahku? Berarti ini rumah Pak Arfan sendiri? Hebat sekali dia, eh tapi bisa jadi dia dibuatkan rumah orang tuanya. Anak zaman now gak mungkin bisa bikin rumah sendiri di usi
Duh, ‘kan aku keceplosan. Bagaimana ini? Semoga Nindi tidak curiga. Ah, kenapa aku jadi gugup begini. “Aku juga melihatnya tadi.”“Oh, ya?” tanya Nindi sembari penatapku penuh selidik.Aku harus segera menyembunyikan gamisku. Kalau dia memang melihatku, dia pasti akan mengenali gamis yang kupakai tadi. Di mana pula jilbabnya? Menyebalkan, kenapa bisa sampai tercecer seperti ini?Aku melihat ke arah kakiku. Baru saja aku berganti baju. Gamis warna ungu pemberian Pak Arfan masih tergeletak di dekat almari. Aku melempar asal gamisku ke bawah dipan. Untung saja Nindi membelakangiku.“Iya, aku ketemu di jalan sama Faiha.”Duh, mulut! Lincah amat bohongnya. Aku harus bilang apalagi ini? Faktanya memang akulah yang menantarkan Pak Arfan sampai ke rumahnya. Aku menyusul Nindi dan berbaring di sampingnya. Dipan dengan ukuran 200x180 cm ini cukup luas untuk kami berdua. Kami menghadap ke atas melihat genteng dan kayu. Sejenak kami termenung.“Fa, aku tuh ngefans ama Pak Arfan. Jadi, aku mau k
Pagi ini langit nampak indah, secerah wajahku yang sedang berbahagia. Aku sudah berada di toko sembako milik Pak Herman. Toko buka mulai pukul 06.00-17.00. Aku selalu masuk shift pagi, sehingga sudah bisa pulang setelah Zuhur kemudian membantu ayah berjualan. “Mbak, telurnya 2 kilogram sama terigu 3 kilogram.” Seorang ibu-ibu muda penjual kue selalu menjadi langgananku setiap hari. “Enggak sekalian sama margarin, Bu?” Biasanya dia akan membeli berbagai bahan pengembang makanan dan pelengkapnya. Toko ini selalu rame setiap hari. Pak Herman bahkan memperkerjakan 4 orang karyawan di tokonya. Aku masuk shift pagi bersama Udin. Dia yang membantu menata belanjaan dan aku yang melayani serta menulis catatan belanjaan. Sedangkan di kasir sudah ada Pak Herman yang setia menunggu recehan.“Margarinnya masih, Neng. Kemarin sudah beli satu dus.”Seperti halnya toko grosir, harga barang akan semakin murah jika membeli lebih dari 3 pcs. Aku memberikan nota di kertas kemudian Udin yang menata da
Wanita yang kutemui tadi pagi adalah wanita yang pernah berjumpa di makam waktu itu. Ternyata dia sengaja meminta ayahnya untuk melamar Pak Arfan. Dunia sudah terbalik. Namun, tidak satupun pesannya yang dibalas Pak Arfan. Benar-benar lelaki cuek bebek. Dia tidak mau memberikan harapan palsu, tetapi sepertinya wanita itu tidak terima.“Syifa, jangan kelamaan melamun! Nanti kesambet.” Ucapan ayah membuyarkan lamunanku. Duh, kenapa aku jadi bengong begini? Sebaiknya aku menanyakannya langsung kepada Pak Arfan. Aku berdiri dan hendak masuk ke rumah. Malam Jum'at biasanya sepi pembeli.Aku mengambil ponsel di kamar, ada sebuah pesan dari ‘cewek barbar'. [Otewe.]What? Dia udah di jalan. Aku segera berdiri di depan cermin melihat penampilanku. Dia bilang ingin melihatku memakai baju sexy, enak saja! Aku mengenakan celana jeans hitam dan jaket abu-abu gambar kelinci di punggung. Lumayan longgar dan tidak ketat. Aku keluar saat mendengar bunyi motor gede. “Siapa, sih, malam-malam begini
Aku sangat penasaran dengan kado yang diberikan Pak Arfan. Perlahan kubuka kotak berwarna pink itu, dan ternyata isinya .... Benar-benar keterlaluan! Baru saja dia terbangkanku ke awan, kini sudah dia hempaskan. Ingin rasanya aku memakinya. Dasar cowok nackal! Belum juga jadi suami, dia sudah memberikanku baju tidur seperti ini. Aku menenteng sebuah gaun tipis warna violet. Kemudian berdiri di depan kaca. Begitu mengerikan, tipis seperti saringan teh. Tidak ada lengannya pula. Ayah pasti akan mengira anaknya menjadi gembel jika memakai pakaian kurang bahan seperti ini.Aku melipat kembali gaun itu. Tanpa sengaja aku melihat label harganya. Ya Allah, mahal banget baju beginian. Kalau beli daster udah dapat 5 biji. Pemborosan sekali. Kemudian kuambil gamis warna mocca di bawahnya. Sangat manis dan elegan. Banyak payet berbentuk bunga dan manik-manik yang bling-bling. Ternyata bajunya berat, ada nih kalau satu kilogram. Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba. Kulihat pantulan d
Sinar mentari pagi menghangatkan tubuhku. Bukan berjemur, aku hanya menjemur cucian. Aku takut hitam jika lama-lama kepanasan. Nanti enggak imbang sama kulit putihnya Pak Arfan. Hari ini aku berangkat kuliah bersama Nindi. Aku memintanya menjemputku karena ada hal yang harus aku ceritakan. Seharusnya ini menjadi hari bahagiaku karena nanti malam aku akan dilamar. Namun, seperti ada yang mengganggu hati ini. Wanita itu menyebalkan sekali. Bisa-bisanya dia meminta Pak Arfan mengaji di rumahnya. Bukankah ada banyak ustaz di sini? Kenapa mesti calon suamiku? Dan aku tidak diizinkan ikut pula. Huf, aku membuang napas lelah.“Fa, Nindi udah datang!” teriak ayah. Ayah sedang sarapan di dapur bersama Faiha dan Ilham. Aku sudah sarapan lebih dahulu kemudian menjemur baju. Usai berjemur, aku langsung menemui Nindi. “Tunggu sebentar, aku ambil tas dulu.”Aku mengambil tas dan pergi. Sesampainya di kampus, aku mengajak Nindi langsung ke kelas. “Ayo kita masuk, mumpung belum ada anak-anak.”“
Malam ini aku sangat bahagia. Langit nampak cerah diterangi cahaya rembulan, beribu bintang di langit bersinar terang. Mereka seolah tersenyum kepadaku. Dengan gaun yang indah aku bersiap menyambut keluarga Pak Arfan, tetapi yang datang malah keluarga Pak Shaka. Mereka tersenyum dari kejauhan kemudian mengucapkan salam setelah sampai di depan rumah.“Wa’alaikum salam, Bapak mau cari ayah saya? Mau beli bubur lagi, ya? Maaf hari ini kami tidak berjualan.”Mereka pasti mau membeli bubur kacang ijo. “Em, iya, kami–““Sebentar, saya panggilkan ayah dulu.”Aku tidak akan membiarkan mereka masuk. Bisa kacau acara malam ini kalau sampai mereka lama berbincang dengan ayah. Padahal setengah jam lagi keluarga dari Pak Arfan akan datang.“Yah, ayah!” Aku mencari ayah hingga ke dapur, ternyata ayah sedang ada di kamar mandi. “Buruan, Yah. Ada Pak Shaka!”Setelah menyampaikan kedatangan Pak Shaka kepada ayah, aku kembali ke depan mempersilakan mereka duduk. “Silakan duduk, Pak.”“Terima kasih, N
Kehidupan berumah tangga di awal pernikahan memang selalu manis. Apalagi bagi kami yang selama ini tidak pernah pacaran. Namun, semuanya berubah saat negara api menyerang. Tidak hanya orang tua, tetangga, bahkan mahasiswa di kampus menggunjing karena aku tidak hamil-hamil. Padahal kami sudah berusaha semaksimal mungkin sampai Ayah membelikan ramuan Jawa yang katanya sangat ampuh. Bukannya manjur, aku dan suamiku malah masuk rumah sakit. Kami mengalami diare sampai dehidrasi. Katanya suami dan istri harus sama-sama meminum jamu supaya subur. Kami sudah cek ke dokter dan tidak ada masalah serius padaku maupun suamiku. Kami sama-sama sehat, mungkin memang belum rezekinya. “Maafin Ayah, ya, Fa. Tidak ada niat sedikit pun untuk mencelakai kalian,” ujar Ayah sambil menciumi tanganku. “Tidak apa-apa, Pak. Namanya juga usaha,” jawab Mas Arfan dengan senyuman yang setengah dipaksakan. Sudah lima bulan kami menikah dan belum ada tanda-tanda hamil. Mungkin benar kata Mas Arfan jika aku harus
Satu minggu setelah menikah, aku menemukan fakta baru. Ternyata suamiku orang kaya raya. Ayah hampir jantungan mengetahui semua fakta yang Pak Arfan ungkapkan. “Kenapa kamu nggak jujur dari awal, Nak?” tanya Ayah setelah kami pulang dari hotel. Baru dua hari kami menikah, aku kedatangan tamu bulanan. Pak Arfan kecewa karena kami gagal bulan madu ke Yogyakarta. Akhirnya dia memintaku tinggal di hotel selama satu minggu sebelum pulang ke rumah Pak Shaka, orang tuanya. “Kalau saya jujur dari awal, Syifa pasti langsung mau nikah sama saya,” jawabnya penuh percaya diri. Dengan kesal kucubit pinggangnya. Semenjak kami menikah, aku semakin dekat dengannya, tetapi tetap saja tidak bisa berhenti memanggilnya “Pak”.Ternyata dia lelaki yang sangat baik. Dia mau menerimaku apa adanya meski aku bukanlah wanita yang sempurna. Dia mau membimbing dan mengajarkan banyak hal yang selama ini tidak aku ketahui. Namun, sampai sekarang aku belum tahu apa alasannya merahasiakan identitasnya dari
Aku kembali ke kamar setelah tidak ada seorang pun tamu. Lelah sekali rasanya berdiri seharian. Pak Shaka dan Mama sudah pulang setelah Ayah pergi. Gedung untuk acara resepsi pun sudah dibersihkan. “Fa, aku mandi dulu. Kamu mau ikut?” tanya Pak Arfan sambil mengerlingkan mata.Pak Arfan benar-benar meresahkan. belum apa-apa saja sudah membuat jantungku ingin lepas dari tempatnya.“Enggak, nanti yang ada enggak jadi mandi.” “Nggak jadi mandi? Terus ngapain?” tanya suamiku sambil berjalan mendekat ke arahku. Aku harus jawab apa? Duh, nih mulut kenapa asal jawab. “Ngapain, ya? Aku enggak tahu. Masih polos.”“Sini aku ajarin!” Heh? Aku melotot dibuatnya. Sejak kapan Pak Arfan jadi sevulgar itu?“Aku bercanda. Kamu jangan omes!” Dia tertawa hingga tubuhnya terguncang. Dengan kesal aku melempar bantal ke arahnya. Namun dia kabur, menyebalkan sekali.Kulepaskan hijab dan aksesorisnya yang terasa berat di kepala. Aku membersihkan sisa make up dengan milk cleanser dan face tonic. Wajahku t
Kami berjalan bergandengan menuju kamar, rasanya lututku lemas. Kuremas kuat tangan suamiku untuk mengurangi rasa gugup. “Mau kugendong?”Aku membelalakkan mata. Tidak menyangka dia tahu isi hatiku. Aku mengangguk pasrah, daripada pingsan. Dia membopongku ala bridal style. Bukan seperti mengangkat karung beras. Aku menenggelamkan muka ke dadanya. Pipiku pasti sudah sangat merah. “Ternyata kamu tambah berat.”What?Setelah sampai di kamar, Pak Arfan merebahkanku di kasur. Dia menatapku cukup lama hingga membuatku berpaling. Ya Allah, kami sudah halal, beginikah rasanya berduaan dengan laki-laki di dalam kamar? Jantungku berdebar tidak karuan, ada rasa yang menggelitik di hati. Ingin rasanya aku—“Kamu mikirin apa sampai senyum-senyum begitu?” Aku tersadar dari lamunan. “Enggak, aku cuma—“Suamiku masih dengan posisi yang sama, masih menatapku dalam. Kemudian semakin mengikis jarak di antara kami. “Bolehkan aku melakukannya lagi?”“Melakukan apa?” Pertanyaannya sangat ambigu. “Kiss,”
Terdengar berisik suara gedoran pintu kamarku. Siapa, sih, pagi buta begini gangguin orang saja. Aku menarik selimut hingga menutup kepala. Kulihat Faiha masih tertidur pulas. Namun, beberapa saat kemudian suara Bulik terdengar melengking dari luar jendela. “Syifa! Kamu jadi nikah apa enggak, sih? Periasnya sudah datang,” teriak bulik sambil menggedor-gedor jendela kamar. Astaga, aku terperanjat dan segera mengecek ponsel. Tanggal 10 Oktober 2021. Ya Allah, hari ini aku akan melepas masa remaja. Waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Gasik sekali datangnya. Aku harus segera mandi dan salat Subuh. “Iya Bulek, aku keluar.” Aku segera bangun dan turun dari tempat tidur. Namun nahas, kakiku semutan sehingga membuatku jatuh terjungkal. Aku tergeletak di lantai. Kakiku mati rasa, aku harus menunggunya hingga kembali pulih. Ya Allah, gini amat punya adik syemok. Kaki Faiha menindih kakiku hingga membuatnya kesemutan.Aku segera membangunkan Faiha dan mengajaknya salat, tetapi dia tid
Setelah kepergian kedua adikku, aku pergi ke dapur untuk membuat kopi. Biasanya aku menyiapkan kopi untuk ayah. Namun, langkahku terhenti kala melihat pakde dan paklik menghadangku di depan pintu dapur.Mau apa mereka? Ayah tidak ada di rumah, bude dan bulik belum juga datang. Ya Allah, selamatkanlah aku. “Kamu mau ke mana, Fa?” tanya Paklik sambil tersenyum. Sedangkan pakde berbisik di samping telinga paklik. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu. Aku harus waspada. Jangan sampai kejadian di novel online itu terjadi padaku. Mengerikan sekali ketika ada seorang gadis yang dinodai 30 pria, dan orang yang menjebaknya adalah pamannya sendiri. “Aku mau bikin kopi buat ayah,” jawabku gugup. Mereka tersenyum menyeringai. Ayah, cepatlah pulang, anakmu sedang ketakutan. “Kebetulan sekali, Fa. Kami mau bikin kopi, tapi enggak tahu gulanya di mana,” jawab pakde sambil menggaruk kepala. Aku menepuk jidatku, separah inikah pengaruh novel online terhadapku? Aku menjadi orang yang sela
Aku penasaran, sedang apa mereka di kamarku? Kuputar knop pintu dan mereka langsung duduk terdiam. “Syifa, kamu sudah pulang?” tanya ayah gugup. “Kalian sedang apa?” Mereka menyembunyikan tangan ke belakang. Sangat mencurigakan. “Kami lagi buka oleh-oleh dari Mas Arfan. Bagus enggak, Kak?” tanya Faiha. Dia membawa tunik panjang dengan motif batik. Sangat cocok untuk anak muda sepertinya. “Sepertinya Nak Arfan sudah mempersiapkan semuanya, Fa. Dia membelikan baju batik untuk kita. Lihatlah, semuanya seragam. Sangat cocok untuk resepsi nanti,” ujar ayah.Akad nikah akan dilangsungkan secara sederhana dan resepsi di gedung yang sudah disewakan Pak Shaka. Tadinya ayah tidak mau karena ingin menggelar resepsi di rumah, tetapi Pak Shaka menolak karena rumah kami terlalu sempit. “Keluarga kami sangat banyak, Pak. Pernikahan Arfan sangat dinanti-nantikan karena dia adalah cucu pertama di keluarga kami.”Akhirnya ayah menyetujuinya. Ayah sudah menyebar undangan ke semua sanak saudara. Aku
Kulihat penampilanku di cermin sudah oke. Namun saat aku menggeser tombol warna hijau, panggilan sudah berakhir. Hah? Ambyar sudah.Aku mencoba menghubunginya kembali, tetapi sedang sibuk. Dia sedang menghubungi siapa? Ah menyebalkan sekali. Lebih baik aku menunggunya. Mungkin saja dia sedang menghubungi orang tuanya, atu jangan-jangan dia sedang menghubungi mantan? Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dia menelepon lagi. Aku segera mengangkatnya sebelum dimatikan lagi. “Assalamu’alaikum, Syifa.”“Wa’alaikum salam, Mas.” Duh keceplosan. Aku menutup mulutku. Aku segera mengganti video dengan kamera belakang. “Barusan kamu bilang apa?”“Aku cuma menjawab salam.”Kulihat dia terkekeh menatap ke kamera. “Mengapa kameranya diganti? Aku enggak bisa lihat wajah kamu, nih.”“Biarin! Bapak nyebelin.” “Kok Bapak lagi? Enakan dipanggil ‘Mas’ loh.” Benar ‘kan dia itu menyebalkan. “Maaf, tadi khilaf. Sekarang aku udah sadar.” Aku sedang menahan tawa. Rasanya aku ingin bilang jika aku mer
“Sebut namaku jika kau rindukan aku ...” Lagu terakhir yang masih kuingat hingga sekarang. Baru sehari dia pergi, mengapa aku sudah kelimpungan seperti ini?Dari tadi pagi aku tidak konsen bekerja. Berkali-kali kulihat ponsel, namun tidak ada satupun pesan darinya. Aku bisa gila jika tidak mendapat kabar darinya. Pak Arfan berangkat ke Yogyakarta tadi pagi sehabis Subuh. Dia hanya mengirimkan pesan jika dia sudah otewe. Aku sudah membalasnya, tetapi hingga sekarang tidak ada balasan. Padahal sudah centang dua warna abu. "Ehem, jangan main hape terus, Fa! Dilihatin Pak Herman tuh." Udin melirik ke arah kasir. Aku segera menyimpan ponselku kembali. "Lagi sepi, Din. Gapapa kali.""Kamu 'kan disuruh cek barang, buruan, gih!" Udin baik sekali kepadaku, dia selalu mengingatkan jika aku melakukan kesalahan. Aku segera berdiri mengambil buku serta bolpoin. Setiap hari, aku harus mengecek barang-barang yang sudah habis. Setelah itu, aku akan memberikan catatan kepada Pak Herman. Dia yang