Pagi hari seperti biasa, Laras sudah menyiapkan sarapan dan sudah rapi bersiap kuliah. Gadis itu menatap dirinya sendiri di depan cermin dalam kamarnya.
"Semangat Laras. Kamu bisa menjalani ini semua. Aku yakin semua akan indah pada waktunya," ucapnya menyemangati dirinya sendiri."Laras, kamu sudah rapi, Nak?" Soya masuk dan mendekati Laras."Iya, Tante. Hari ini aku harus berangkat lebih pagi. Ada tugas yang harus segera diserahkan ke dosen pembimbingku. O ya, Tante, aku sudah siapkan sarapan." Laras mengalihkan diri."Tante sudah lihat. Ayo kita keluar dan sarapan bersama! Mereka sudah menunggu di meja makan."Laras dan Soya keluar untuk bergabung dengan yang lain di meja makan. Belum ada Bram di sana. Pria itu masih di dalam kamarnya.Beberapa saat kemudian, pria itu keluar dengan pakaian rapi dan berjalan menuju meja makan di mana semua sudah menunggunya."Sayang, kamu rapi sekali," puji Rere. Rere berusaha mencari perhatian Bram. Dia juga bersikap sLangkah berwibawa dan percaya diri. Itulah yang saat ini menarik perhatian setiap mata yang melihatnya. Bukan hanya karena ketampanan dan bentuk tubuhnya yang membuat mata wanita mengidolakannya.Rasa tidak percaya dan kekaguman pada sebuah keajaiban yang membuat mereka menatapnya tidak henti. Senyum mengembang dan sapa ramah dari bibirnya semakin membuat kepercayaan mereka menjadi bulat."Selamat pagi, Pak. Nama saya, Toni. Bagian keuangan.""Selamat pagi, Pak. Nama saya, Siska.""Pagi, Pak. Saya Novi.""Pagi, Pak."Dan bla ... bla ... bla ... masih banyak lagi sapaan mereka sembari memperkenalkan diri pada pria yang berjalan melintasi mereka.Saat sudah mendekati ruangannya, pria itu menghentikan langkahnya dan memutar tubuh menghadap kerumunan karyawan yang berbaris rapi."Sudah! Kalian tidak perlu memperkenalkan diri seperti ini. Aku malah semakin pusing melihat kalian berbaris seperti anak SD mau masuk kelas. Mulailah bekerja!"Bram meneruska
Tangan Rere masih saja senang bergelayut pada lengan Bram. Pria itu pun tidak menolaknya. Tentu saja hal itu membuat hati Laras menjadi sakit.Gadis itu berusaha menahan sekuat hatinya. Mencoba untuk tetap tersenyum. Menyesal rasanya mengikuti kemauan Bram untuk datang ke kantornya.Berbeda dengan Joy. Asisten sekaligus teman Bram selalu mengedarkan matanya. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang diciptakan oleh orang-orang yang ada di depannya.Pria itu merasakan kasihan pada Laras. Dia tahu bagaimana sakitnya hati gadis itu saat melihat Bram dan Rere."Laras, apa kamu lapar?" tanya Joy mencoba menghiburnya."Tidak, Kak. Aku tidak lapar.""Ayolah, aku tahu kamu lapar. Bagiamana kalau aku ajak kamu makan di restauran dekat sini? Aku tahu makanan yang enak.""Aku sudah kenyang, Kak.""Ayolah! Jangan malu-malu."Joy menarik tangan Laras dan memaksanya."Joy. Dia bilang tidak mau. Kenapa kamu memaksanya?" Bram tidak suka dengan sikap asistennya.
Siapa yang tidak akan tertarik melihat tubuh lelaki yang gagah dan berotot namun tidak berlebihan. Tubuh altelis dengan perut rata dan membentuk kotak-kotak yang menggairahkan.Tubuh yang sehat dibalut dengan kain handuk putih sebatas pinggang. Aroma harum yang dihasilkan dari sabun mandi membuat Rere semakin bergairah.Bukan hanya Rere yang akan bergairah. Setiap wanita yang melihatnya pun pasti akan merasakan hal yang sama. Ingin memeluknya dengan erat.Wanita itu perlahan mendekati Bram yang baru keluar dari kamar mandi dan langsung melingkarkan tangannya pada pinggang suaminya.Sempat terkejut. Ya, itulah yang Bram rasakan. Pria itu terkejut saat merasakan usapan menggoda yang diberikan tangan wanita itu pada tubuhnya."Lepaskan tanganmu, aku mau memakai pakaian!" ucap Bram santai."Sayang, tidakkah kamu mau melakukan kewajiban kita sebagai suami istri malam ini?" ucap wanita itu dengan memberinya sebuah sentuhan lembut pada leher prianya.Beberapa se
"Aku akan menunggumu, Kak."Bram tersenyum mendapat jawaban dari Laras.Kembali lagi pria itu menautkan bibirnya, tapi kali ini hanya sekedar sentuhan kilat."Istirahatlah! Aku tidak mau kamu tidur terlalu malam. Selalu jaga dirimu untukku! Semoga mimpimu indah.""Kakak juga harus istirahat. Jangan terlalu banyak bekerja.""Pasti."Bram mengantar Laras sampai pintu. Pria itu membuka kembali kunci pintu dan membukanya untuk Laras."Kak Joy?" ucap Laras terkejut saat melihat Joy berdiri di depan pintu yang baru Bram buka.Bukan hanya Laras yang terkejut, Joy juga ikut terkejut. Senyum dan tatapan curiga nampak jelas di wajah pria itu."Bram?"Bram langsung menarik tangan Joy untuk masuk dan tidak memberinya kesempatan untuk bertanya."Kenapa kamu menyuruhku datang ke sini? Kamu gila! Lihat derasnya hujan di luar sana!""Aku tahu. Temani aku tidur malam ini!""Kamu gila! Aku pria normal, Bram.""Jangan berisik!""Kamu punya is
Tatapan tajam membunuh menyerang Joy. Tatapan penuh amarah dan cemburu. Deru napasnya pun ikut menderu dengan otot dada naik turun memperhatikan orang yang menjadi tersangka utama yang sudah membuat hatinya panas dan cemburu."Kak Bram.""Bram!" ucap Joy dengan senyum menyeringai gugup.Joy melepaskan tangan Laras dan mulai salah tingkah. Bram berjalan duduk di kursi masih dengan tatapan tajam ke arah Joy.Joy bersungut-sungut duduk di depannya. Rambutnya yang tidak gatal pun menjadi sasaran rasa gugupnya, Joy menggaruk kulit kepalanya. Sedangkan Laras, gadis itu kembali melanjutkan memasaknya."Aku menyuruhmu ke sini bukan untuk menggodanya," sindir Bram penuh penekanan."Aku tidak menggodanya. Aku hanya memberi ucapan selamat pagi.""Sama saja. Aku tidak suka kamu menyentuhnya." Bram semakin menunjukkan rasa tidak suka atas apa yang Joy lakukan pada Laras."Hey, aku hanya menyentuh tangannya. Tidak lebih. Lagi pula tidak ada salahnya kalau aku suka
"Aku hanya bercanda, Mico." Joy menarik kata-katanya. Dia merasa tidak enak hati karena mereka belum saling mengenal."No! Bram saja mengakui kalau kamu asisten yang terbaik." Mico malah semakin memuji Joy."Kenapa dia tidak pernah bilang padaku begitu?" Joy mengarahkan mata pada Bram dengan lirikan sombong."Nanti kamu besar kepala," ucap Bram. Melengos."O ya, Mico. Bagaimana perkembangan kasusnya?" lanjut Bram pada Mico."Dugaan besar memang mantan istrimu yang melakukannya." Mico mengimbangi sikap serius Bram."Tunggu! Sebenarnya ada masalah apa ini? Kasus apa?" Joy bingung dengan arah pembicaraan mereka. Bola matanya beredar dan terbagi antara Bram dan Mico."Kasus kecelakaan yang aku alami." Bram menjawabnya dengan suara santai."Tunggu! Bram, apa kamu mengingat semuanya?" Ini pertanyaan yang telah lama ingin Joy tanyakan pada Bram."Ya, aku mengingat semuanya. Aku tidak amnesia." Bram menyenderkan punggung dan menyilangkan kaki saling bertu
Seorang gadis berdiri sendirian di depan pintu gerbang kampus. Dengan rasa gelisah gadis itu melihat ke arah jalanan. Sesekali matanya melirik jam di tangannya."Kok kak Rere belum datang, sih? Katanya mau menjemput aku." Tangan Laras meraih ponsel yang ada di dalam tas gendongnya."Kak, sampai mana?" Laras menghubungi kakak tirinya."Aku sudah hampir sampai. Tunggu saja sebentar lagi!"Rere mematikan sambungannya.Benar saja, tidak lama dari sambungan teleponnya mati, sebuah mobil milik Rere berhenti tepat di depannya.Kaca mobil turun dan nampak Rere duduk di belakang kemudi. Wanita itu tersenyum pada Laras. Senyum yang berbeda. Senyum ramah mengembang dari bibirnya yang berwarna merah cabe."Ayo!" ajaknya pada Laras.Dengan membalas senyuman dari kakak tirinya, Laras masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Rere."Kok tumben Kakak yang menjemput aku?""Iya, Bram sibuk. Katanya ada rapat dadakan siang ini, makanya dia menyuruhku menjemput k
Dengan terkulai lemas, tubuh Laras dibawa oleh pria bertubuh kekar. Dua pria lainnya berjalan mengikutinya di belakang dengan mata mengarah ke seluruh arah.Mereka memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka. Setelah merasa aman, mereka membawa masuk Laras ke dalam sebuah rumah yang sederhana.Pria bertubuh kekar membaringkan tubuh Laras di atas tempat tidur beralaskan sprei berwarna merah cerah. Tubuh gadis itu sama sekali tidak berdaya.Mata keranjang menatapnya dengan penuh gairah. Salah satu di antara mereka mengusap-usap tangannya dengan senyum menyeringai senang.Pria yang membawa tubuh Laras mulai mendekatinya dan menaikkan kakinya ke tempat tidur."Gadis malang. Kamu cantik dan terlihat sangat polos, tapi sayang, ada orang yang menginginkanmu hancur.""Siapa yang menyuruhmu mendekati gadis itu?" ucap salah satu temannya.Temannya menarik pundak pria yang mendekati Laras. Mereka saling beradu tatap."Aku yang berhak mendekatinya terlebih d
Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu
Kehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak
Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian."Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka. Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."K
Hampir dua minggu sejak kejadian itu. Dua minggu sejak kematian Rere. Kini Laras telah menjalani kehidupan normalnya. Istri kecil Bram sudah menjalani kuliah kembali. Dengan setia dan sabar Bram mendampingi Laras menghilangkan rasa traumanya."Kak, nanti aku pulang agak siang karena hari ini hanya ada satu mata kuliah saja," ucap Laras sebelum turun dari mobilnya."Nanti aku akan menjemputmu.""Ga usah, Kak. Biar aku naik taksi saja. Bukankah hari ini Kakak ada rapat?""Astaga! Aku lupa Sayang. Bagaimana kalau sopir kantor saja yang menjemputmu? Setelah itu kamu ke kantor dan kita bisa pulang bareng.""Apa tidak masalah aku ke kantor Kakak?" Laras ragu."Sayang, kamu itu istriku sekarang. Siapa yang akan melarangmu datang ke kantor suamimu ini?" Bram membelai rambut Laras lembut.Wajah Laras merona karena malu dengan perhatian suaminya. Senyum Bram terasa lebih menyentuh lubuk rasa yang terdalam. Entahlah, saat itu Laras merasakan kebahagiaan yang tak ter
"Kak, ini rumah siapa?"Laras heran melihat rumah besar dan mewah di depan matanya.Laras bingung kenapa Bram tidak membawanya pulang ke rumah yang biasa mereka tempati sebelum mereka menikah. Rumah itu bukan rumah biasanya dan juga bukan rumah mertuanya. Rumah yang asing dan bisa dibilang lebih bagus dari rumah yang biasa mereka tempati."Kemarilah!" Bram menarik tangan Laras dan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Laras. Senyumnya mengembang simpul, namun wajah Bram terlihat lebih tampan dan sejuk."Ish, kenapa pinggangmu menjadi sangat kecil?" Bram menggoda Laras. Dia memperhatikan istrinya dengan memeriksa pinggang ramping Laras. Tubuh Laras memang sedikit menyusut setelah dirawat di rumah sakit."Kakak, jangan mengejekku!" Laras tersenyum malu-malu. Pipinya semu memerah bak tomat buah ranum membuat Bram semakin gemas."Jangan tersenyum seperti itu! Aku jadi gemas ingin memakan wajahmu." Bram mencubit pipi Laras dengan cubitan kecil dan mesra.
Bram menutup matanya sampai suara teriakan Laras menghilang. Pria itu terdiam terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Hati dan hidupnya hancur. Dunia seakan berubah gelap gulita seketika itu juga.Suara isak tangis memaksa pria itu berlahan memberanikan diri membuka matanya."Laras!" Bram kembali berlari mendekati gadis yang tersungkur memeluk erat tubuh Rere.Dia pikir Laras yang tumbang karena ulah Rere, tapi nyatanya Rere yang tertembus timah panas dari anak buah Mico. Laras membawa kepala kakak tirinya ke atas pangkuannya. Gadis itu mendekap erat Rere."Laras," panggilnya tersungkur langsung memeluk erat tubuh gadis itu."Kak, bangunlah!" ucap Laras dalam isak tangisnya.Laras mencoba membangunkan kakak tirinya.Pria yang sedari tadi hanya berdiri terpaku menyaksikan putrinya tumbang perlahan berjalan mendekat dan terjatuh dengan lutut sebagai tumpuannya."Ayah," panggil Rere di sisa napasnya."Sayang." Perlahan pria itu mengusap lembut wajah putr
"Jangan bergerak!" Teriakan Mico membuat dua pria yang sedang menggagahi Laras terkejut dan langsung memutar tubuhnya.Dua pria kekar itu menciut nyalinya. Dengan patuh mereka mengangkat tangan dan menyerah. Anak buah Mico langsung meringkus dia pria kekar itu. Berbeda dengan Rere, saat mengetahui ada polisi datang, wanita itu langsung beranjak dan menyahut tubuh Laras.Rere menjadikan Laras sebagai sandera untuk melindungi dirinya. Mata wanita itu sudah gelap dengan napsu pembunuh. Napasnya terdengar kasar dan panas mengenai kulit Laras."Jangan mendekat!" ancamnya pada Mico dan yang lainnya.Satu tangan wanita itu mencengkeram leher Laras dengan lengannya, sedangkan satu tangannya lagi menodongkan senjata tajam pada leher Laras dan siap menggores kulit mulus yang membalut leher jenjang adik tirinya."Rere, aku mohon jangan sakiti Laras!" ucap Bram saat tiba di tempat itu dengan napas tersengal.Bukannya melepaskan Laras saat Bram datang, Rere semakin t
"Cepat bawa gadis itu masuk!" teriak seseorang dari arah berlawanan."Baik, Bos."Dua pria kekar yang membawa tubuh Laras masuk ke dalam sebuah gudang yang berantakan. Banyak tumpukan barang bekas dan kotak-kotak besar yang telah usang di sana. Udaranya sangat pengap dan bau debu menusuk hidung.Dengan sangat kasar pria itu membanting tubuh Laras yang terkulai lemah di atas sebuah tumpukan kardus. Tawa keras dan puas terdengar menggelegar dari ketiga orang yang berdiri di dekat Laras."Kalau aku tidak bisa memiliki Bram lagi, kamu juga tidak akan bisa memilikinya gadis kampung."Lagi-lagi tawa menakutkan terdengar dari bibir merah merekah wanita yang menyimpan dendam terhadap gadis itu. Dendam yang akan terbayarkan ketika melihat gadis itu sengsara dan memohon di kakinya."Ikat tangan dan kakinya, jangan sampai gadis ini terlepas!""Baik, Bos."Dengan sangat cepat dua pria kekar itu melaksanakan perintah dari bosnya. Dengan cepat pula mereka sudah mel
Suasana tempat ruang pesta telah dipadati para tamu undangan baik dari rekan bisnis Bram maupun rekan bisnis orang tuanya. Meskipun ini pernikahan kedua bagi Bram, tapi ini merupakan resepsi pertama dan akan menjadi pernikahan yang terakhir baginya dan Laras.Malam ini Laras mengenakan gaun putih dengan jumbai tidak terlalu panjang. Gadis sederhana itu tidak memilih gaun yang terlalu ribet dan mewah. Laras lebih suka mengenakan gaun yang simpel tapi tidak terkesan murahan dan tetap terlihat elegan dan mengundang decak kagum.Kecantikannya mengalahkan kecantikan ratu sejagad, apalagi bagi Bram. Kecantikan wanita yang baru menjadi istrinya beberapa jam yang lalu merupakan kecantikan yang sempurna dan tiada tandingnya. Bukan hanya kecantikan luar saja, tapi Bram lebih terpesona dengan kecantikan hati istrinya.Bram menuntun Laras memasuki ruang pesta dengan langkah bak pangeran dan putri kerajaan. Semua mata tertuju pada mereka, semua bibir mengucapkan kekaguman akan kecant