BAGIAN 86
DIA MERELAKAN SEGALANYA
“Kedatangan kami ke sini, murni untuk silaturahmi dan meminta maaf atas kejadian yang telah membuat hubungan keluarga ini renggang.”
Perkataan Chris sungguh membuat kedua pipiku panas sebab merasa malu. Aku hanya bisa tertunduk di hadapan Bu Laras dan Ridwan yang masih saja terlihat angkuh. Tangis penyesalah Pak Bidin yang sudah meledak sejak awal kedatangan kami ke sini pun, seolah tiada artinya buat mereka.
“Sebaiknya kalian tidak perlu repot-repot begini. Kami tahu apa yang harus kami lakukan!” seru Ridwan dengan suara yang sengak.
Pak Bidin yang duduk di sampingku hanya bisa tergugu. Beliau masih menangkupi wajah tuanya dengan telapak tangan. Sungguh, aku ta
BAGIAN 87PERTEMUAN DENGAN MAMI “Riri! Ini kamu?” Eva bersorak heboh. Matanya membelalak lebar saat menjumpaiku di depan ambang pintu rumahnya. Cewek 31 tahun yang tubuhnya makin tambun itu menatapku dengan ekspresi yang tak percaya. “Lebay, ih!” ucapku sambil menerobos masuk. Buru-buru aku duduk di sofa ruang tamunya. Celingak-celinguk mencari keberadaan Tante Rina, mamanya Eva. Beliau paling heboh kalau aku bertandang ke sini. Baru di depan pintu saja biasanya sudah menawarkan brownies atau bolu kukus buatannya. Tumben sekali keadaan rumah Eva yang cukup besar ini lengang. “Mana Tante?” tanyaku seraya melempar pandang ke Eva.&
BAGIAN 88MENCEKAM “Selamat datang.” Senyum pria gemuk dengan kepala depan yang semakin terlihat botak itu terulas lebar. Wajahnya tenang. Pembawaannya kalem. Dia sendiri yang membukakan kami pintu. Tak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan menyeringai garang sebab marah. Namun, aku masih saja deg-degan luar biasa. “M-maaf, kami terlambat, Pak.” Suara Eva terdengar gemetar. Wanita itu yang maju menjadi tameng. Sementara itu, aku hanya bisa mematung di sampingnya. Sedikit bersembunyi di balik tubuh tambun milik Eva yang sekilas terlihat gemetar. Jangan bilang kalau aku tak takut sepertinya. Sama! Bahkan degupan jantung ini sudah seperti tabuhan genderang perang yang bertalu-talu. Semoga aku tak pingsan di sini, benakku. “Santai saja. Silakan masuk. Lang
BAGIAN 89TETES AIR MATA Salat Magrib kali ini begitu berkesan bagiku. Untuk kali pertamanya, aku melaksanakan salat berjamaah dengan Pak Dayu sebagai imam. Keteganganku perlahan luruh tatkala suara merdu duda dengan satu anak itu melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Bacaannya bukan sekadar surat-surat pendek seperti Alikhlas, Alfalaq, atau Annas. Beliau membaca surat Albaqarah ayat 1-10 di rakaat pertama dan surat Almulk ayat 1-30 di rakaat kedua. Yang membuatku semakin tenang di sini adalah kehadiran Mami Yani yang turut salat berjamaah meskipun harus duduk di atas kursi rodanya. Beliau terlihat sangat saleh sekaligus baik hati. Rasa-rasanya, seperti tak mungkin apabila lansia ini memiliki sebuah niat jahat kepadaku. Selesai salat, Pak Dayu lagi yang memimpin doa. Pria yang semp
BAGIAN 90KEJUJURAN ITU MENYAKITKAN “Jangan hanya diam saja, Dayu. Cepat katakan semuanya kepada Riri. Akui semua yang telah kamu rencanakan diam-diam selama ini!” Mami Yani memukul lengan Pak Dayu, membuat pria itu tersentak dari lamunannya. Atasanku itu terlihat gelagapan. Tampak takut-takut memperhatikan ke arahku. “Riri … aku minta maaf,” ujar Pak Dayu pelan. “Untuk?” sahutku kebingungan. “Sebenarnya … selama ini ….” “Jangan bertele-tele! Cepat katakan saja, Dayu! Kamu harus jujur dan mau mengakui niat jahatmu!” Perkataan Mami telak membuatku semakin kaget. Syok bercampur de
BAGIAN91MAMI, PAKDIR, DAN SEGALA MISTERI “Dayu, jangan teriak-teriak begitu! Bikin Mami kaget aja!” Mami Yani menatap anaknya dengan galak. Beliau lalu mengusap-usap dada, kemudian melempar pandangan lagi ke arahku. Matanya mengerjap penuh harap. “Gimana, Ri?” Mami bertanya lagi. Kali ini dia genggam erat jemariku. Senyumnya mengembang seperti seorang yang sedang menggantungkan asa. Aku tersenyum kecil. Tangan kiriku langsung mengusap pundak Mami. “Berproses, Mi,” ujarku lirih. Padahal, dalam hati aku rasanya ingin menjerit. No way! Aku benci pada Pak Dayu. Kalau bisa memilih, aku ingin menjauh dari pria licik itu. Jangankan menikah dengannya, untuk menatap wajahnya berlama-lama pun aku sudah ogah.&n
BAGIAN 92MAAF DARINYA “Ri … aku minta maaf. Beneran minta maaf,” ucap Eva dengan suara yang gemetar sekaligus serak. Aku hanya diam. Fokus menyetir meski hatiku terasa begitu pilu. Tak kusangka, Eva begitu orangnya. Seharusnya, jika ada apa-apa baiknya dia bicara langsung padaku. Mengapa harus menyembunyikannya? Jadi, maksudnya dia bekerjasama untuk mencelakaiku, begitu? “Pak Dayu mengancamku ….” “Oh, jadi kamu pengen menyelamatkan diri sendiri? Dengan cara menumbalkanku?” “Nggak, Ri. Demi Tuhan, aku nggak bermaksud begitu. Pak Dayu minta kepadaku supaya kamu bisa semakin dekat dengannya. Minta aku sup
BAGIAN93MUNCUL LAGI DAN LAGI Pukul 22.35 malam aku tiba di rumah Mama dalam kondisi yang lumayan ngantuk. Saat masuk ke kamar pun, ternyata Mama dan anakku sudah terlelap pulas di peraduan. Kini, tinggal aku sendirian dengan kagalauan yang masih bercokol di dada. Kuputuskan untuk rehat sejenak di ruang televisi. Duduk selonjoran di atas karpet seraya bersandar di dinding. Kubuka pasmina yang kukenakan dan seketika aku merasa lega luar biasa. Ternyata, aku masih belum terbiasa memakai hijab dalam waktu yang lama. Aku masih harus membiasakan diri, pikirku. Saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas, aku setengah kaget melihat pesan masuk di layar. Ponsel memang tadinya kuatur ke mode senyap. Tak ada getar maupun dering sebagai tanda bahwa ada notifikasi.&nbs
BAGIAN94KEHADIRAN YANG TAK DISANGKA “Pertanyaanku konyol, ya?” Ungkapan itu malah membuatku semakin merasa geli pada Pak Dayu. Laki-laki tua ini kenapa, sih? “Eh, nggak, Pak. Aku nggak suka sama Chris,” jawabku to the point. Daripada jadi terlalu panjang pembahasannya. “Oke kalau begitu. Ya, sudah. Istirahat sana. Sudah terlalu larut.” Aku lega. Akhirnya, tiba juga waktu itu. Aku sudah tak sabaran lagi menanti kapan Pak Dayu memutuskan sambungan telepon. “Baik, Pak. Terima kasih,” ucapku lega. “Sama-sama. Besok Minggu mau ke mana?”
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu