Flashback Setahun Lalu
“Mas Wahyu! Jangan tinggalkan aku!” Pekik jerit Nadia terdengar melengking. Membuat seisi ruangan ini menjadi ikut pilu. Aku sebagai sahabat terdekatnya, hanya bisa memeluk wanita yang mengenakan gamis hitam dan selendang warna senada sebagai penutup kepalanya.
Nadia begitu hancur dengan kematian sang suami yang sangat mendadak. Tak ada tanda-tanda atau firasat sedikit pun. Bahkan, dua hari sebelum kepergian Wahyu, kami sempat tamasya bersama-sama di pantai yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari rumah. Aku, Mas Hendra, dan Carissa naik mobil pribadi, sedang Nadia, Wahyu, dan Alexa, anak mereka yang seusia dengan anakku, menyewa sebuah mobil LCGC. Kami sudah menawarkan untuk naik mobil Mas Hendra saja, tetapi Nadia menolak mentah-mentah dan tahu-tahu sudah sewa mobil segala.
Masih melekat di ingatanku betapa sehat wal afiatnya Wahyu. Pria 29 tahun itu terlihat baik-baik saja. Dia masih kuat mengangkat kardus-kardus berisi air mineral, buah-buahan, dan bahan makanan untuk kami makan di pantai. Tak ada keluhan yang keluar dari mulutnya tentang sakit atau tak enak badan.
Aku tahu benar, Wahyu memang seorang pekerja keras dan memiliki fisik yang kuat. Sejak lulus SMA, dia tak melanjutkan kuliah. Kursus otomotif enam bulan, kemudian bekerja sebagai montir di sebuah bengkel resmi kendaraan bermotor. Belasan tahun dia berkutat dengan mesin dan oli hingga tangan serta kuku-kukunya tak ayal kerap berwarna hitam. Nadia memang pernah mengeluhkan sang suami yang tidak sesukses Mas Hendra. Meskipun begitu, kutahu pasti bahwa pasangan suami istri itu sangat saling mencintai dan jarang sekali bertengkar. Harmonis, begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan mereka.
Betapa tidak, tak sekali pun terdengar di kupingku bahwa mereka bertengkar. Bahkan, Wahyu selalu mengantar jemput Nadia ke mall tempatnya bekerja sebagai beauty advisor sebuah produk kecantikan terkenal. Beda sekali dengan Mas Hendra yang super sibuk. Manager HRD perusahaan finance tersebut berangkat sangat pagi dan pulang ketika matahari terbenam. Mana sempat untuk mengantar-jemput diriku yang bekerja sebagai call center perusahaan telekomunikasi milik BUMN.
Pernah terbesit sedikit iri kala melihat rumah tangga Wahyu-Nadia. Tak punya harta yang sangat berlimpah ruah seperti kami, tetapi mereka punya banyak waktu untuk bersama-sama. Weekend masih sempat jalan-jalan. Beda dengan kami. Kalau Mas Hendra ada pekerjaan mendadak, dia bisa saja berangkat ke kantor meski hari Sabtu atau Minggu. Bukan hal baru bagiku. Untuk main bersama Carissa atau piknik saja aku harus merengek dulu.
Namun, saat melihat isak tangis Nadia di depan tubuh kaku Wahyu yang telah dibalut dengan kafan, sirna sudah rasa iri tersebut. Di balik rumah tangganya yang adem ayem, ternyata ada sebuah takdir yang begitu miris untuk dijalani. Harus menjadi janda di usia 29 tahun dan harus menghidupi balita berumur 4 tahun pasti sebuah cobaan yang begitu berat. Aku saja tak bisa membayangkan bagaimana pilunya menjalani takdir seperti Nadia.
Mas Hendra, walaupun kamu sering cuek dan sibuk di kantor, tetaplah hidup, Mas. Aku takut jika kamu pergi lebih dahulu seperti apa yang terjadi pada Wahyu. Aku tidak ingin menjadi seorang janda, karena itu pastilah hal yang sangat berat. Ah, aku rasanya begitu takut sekarang.
***
Wahyu telah dikuburkan. Kini, rumah sederhana milik Nadia telah sepi. Hanya ada orangtua Wahyu, adik ipar Nadia bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil, Nadia, Alexa, dan diriku. Hari ini aku sengaja mengambil izin untuk tidak masuk kantor demi menemani sahabatku tercinta.
Sejak Subuh aku sudah standby di sini, tepatnya ketika Nadia menelepon bahwa Wahyu tidak sadarkan diri dalam tidur. Carissa kupasrahkan kepada Mas Hendra untuk dia antar ke daycare. Mas Hendra yang biasanya cemberut kalau disuruh mengurus anak sendirian, hari ini tumben-tumbennya dengan tidak keberatan menjalankan tugas. Mas Hendra malah berpesan agar aku membantu Nadia selama masa berkabungnya ini. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur memiliki suami yang begitu baik sekaligus pengertian, meskipun terkadang sikapnya sering dingin plus acuh tak acuh.
“Nad, kamu makan, ya?” bujukku kepada Nadia dengan suara yang lembut.
Wanita yang tengah memangku anak semata wayangnya tersebut hanya menggeleng lemah. Matanya masih sembab dan menatap nanar. Kasihan sekali temanku. Wajah cantiknya yang selalu terpoles make up, kini menjadi pucat tak bercahaya.
“Nad, kamu dari pagi belum makan, lho,” kataku lagi.
Perempuan itu masih menggelengkan kepala. Dia memeluk erat anaknya yang sedang memainkan boneka panda, sambil menangis sesegukan. “Mas Wahyu …,” panggilnya lemah.
“Nadia! Jangan menangis terus. Bukan hanya kamu yang kehilangan di sini! Kami juga sama. Tangisanmu hanya akan membuat Alexa sedih. Coba kamu istighfar. Doakan yang terbaik untuk suamimu!”
Betapa kagetnya aku mendengarkan gertakan dari ibu mertua Nadia yang kebetulan juga duduk di ruang keluarga bersama kami. Perempuan paruh baya dengan gamis berwarna cokelat tua dan hijab warna senada tersebut menatap tajam ke arah kami. Tak ada sedikit pun air mata yang melinang di sana. Seakan dia tak merasa kehilangan. Wajar, karena ibu itu adalah ibu tiri dari Wahyu. Aku kenal benar dengannya. Namanya Bu Laras. Galak dan tidak pernah akur dengan Wahyu maupun Nadia.
“Sudah, Bu. Jangan begitu kepada anak mantu kita. Dia sedang berduka,” ucap lelaki tua yang memakai baju koko putih dan celana hitam tersebut. Itu adalah ayah dari Wahyu.
“Ah, Bapak! Selalu saja ngebelain. Udahlah! Ayo, kita pulang! Bosan aku di sini hanya untuk lihat orang cengeng.” Bu Laras langsung menyambar tas tangan berwarna merahnya, lalu bangkit dari karpet yang semula dia duduki. Wanita itu buru-buru berjalan melewati kami begitu saja tanpa kata permisi. Dia pergi dengan diikuti oleh anaknya yang bernama Ridwan, adik tiri dari Wahyu. Ridwan bersama anak-anak dan istrinya juga pergi tanpa pamit. Sangat tidak sopan, pikirku.
“Nadia, Bapak pulang ya, Nduk. Jangan sedih berlarut-larut. Jaga Alexa baik-baik,” kata Pak Bidin, bapak mertua Nadia. Pria bermata sendu dengan wajah tirus dan badan yang kurus tersebut menggenggam tangan sang menantu. Dia juga mengusap-usap kepala Alexa dengan penuh kelembutan.
“Makasih, Pak,” jawab Nadia lesu. Perempuan itu langsung kurangkul. Kuusap-usap pundaknya, demi melegakan beban yang tengah dia tanggung.
Pak Bidin pun berlalu dan meninggalkan rumah anaknya begitu saja. Aku benar-benar tak habis pikir dengan keluarga besar Wahyu. Walaupun dia memiliki ibu dan saudara tiri, bukankah di tengah suasana duka seperti ini harusnya mereka turut berbela sungkawa? Di mana hati Bu Laras dan Ridwan? Astaghfirullah! Benar-benar manusia tak punya nurani!
“Riri … jangan tinggalkan aku ….” Nadia menangis di hadapanku. Bibirnya sangat gemetar ketika mengucapkan kalimat tadi.
Aku yang ikut meneteskan air mata, langsung mengangguk. Kutatap wanita itu dalam-dalam sambil mengusap air mata di pipi mulusnya. “Iya, Nad. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji,” kataku mantap.
“Aku … udah nggak punya siapa-siapa lagi, Ri.”
Kupeluk tubuh Nadia erat-erat. Mengingat dia adalah seorang yatim piatu sejak kecil dan hanya diurus oleh sang nenek yang kini telah wafat, aku jadi bertambah sedih dengan nasib yang menimpa Nadia. Perempuan cantik ini harus bergulat dnegan kerasnya kehidupan. Ya Allah, tolong kuatkan dan mampukan aku untuk menolong saudaraku ini. Aku sangat sayang kepada Nadia.
“Aku nggak sanggup tidur di sini, Ri …,” lirihnya lemah.
“Kamu tinggal di rumahku, Nad. Rumahku terbuka lebar untuk kamu dan Alexa. Bertahanlah di sana sampai kamu sanggup untuk kembali ke sini lagi.”
(Bersambung)
“Mas, aku ajak Nadia dan anaknya untuk tinggal di sini. Nggak apa-apa, kan?” Takut-takut aku meminta izin kepada Mas Hendra. Lelaki yang baru saja pulang dari kantor tersebut langsung menatapku. Aku deg-degan. Ya ampun, jangan-jangan … dia akan marah. “Iya, Ri. Silakan,” katanya lembut sambil tersenyum. Fiuh, betapa leganya aku. Langsung kupeluk Mas Hendra yang berdiri di ambang pintu. “Makasih, Sayang,” ucapku penuh syukur. “Sama-sama. Di mana mereka? Sudah di rumah kita atau masih di rumahnya?” tan
Flashback Setahun Lalu “Ri, teman si Nadia itu tinggal di rumahmu sekarang?” Eva, rekan kantorku sesama customer service yang bekerja di line call center, tiba-tiba saja bertanya saat kami hendak keluar ruangan. Aku sontak menoleh ke arah cewek berbadan subur yang belum juga menikah di usianya yang ke 31 tahun tersebut. “Iya, Va. Kok, tahu?” tanyaku heran. “Lihat story WhatsApp-mu. Sering banget posting lagi masak sama dia.” Muka bulat Eva terlihat penuh penasaran. Perempuan yang sedang membawa tote bag berisi bekal makanan tersebut tak berkedip menatapku.&nb
Flashback Setahun Lalu Buru-buru aku menuruni anak tangga dengan hati yang sangat gelisah. Tanpa kusadari, keringat mulai membasahi pelipis dan rambut lurus pendek seleherku. Sepanjang perjalanan menuju kamar utama yang berada di depan, hanya ketakutan saja yang kentara menyelimuti jiwa. Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai rumah tanggaku bubar. Apalagi bila Nadia yang menjadi dalangnya. Aku tak ikhlas dunia akhirat! Sampai di depan pintu kayu bercat abu-abu gelap tersebut, aku pun langsung membuka kenop stainless. Kaget sekali, ternyata terkunci dari dalam. Siapa yang tak mencelos dadanya bila mendapati keadaan seperti ini? “
Flashback Setahun Lalu Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang. Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa. Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa tel
##BAGIAN 7POV NADIA “Kamu harus segera bertindak.” Ucapan setajam silet itu telah membuat sekujur tubuh ini gemetar. Meskipun hanya via telepon, tetapi aku bisa merasakan betul betapa menyeramkannya perintah tersebut. Hati nuraniku belum sepenuhnya mati. Otak ini masih bisa berpikir jernih, walaupun hanya 20% saja. Dan celakanya, 20% tersebut adalah rasa keberatan akan perintah yang benar-benar di luar batas wajar barusan. “T-tapi—” “Oh, kamu menolak? Ya, sudah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini.” Napasku ter
POV NADIA “Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya. “Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku. Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang. “Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di
HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal
RACUN UNTUK GUNDIK “Ah, Bunda lebay banget, Ca. Kita ke kamar yuk, Ca. Bundamu lagi drama.” Mas Hendra meraup beberapa kukis dari dalam toples, kemudian membiarkan tutupnya tergeletak begitu saja. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Karena diajak sang ayah ke kamar, anak semata wayangku langsung beringsut dan mengejar Mas Hendra. Syukurlah mereka menyingkir dari dapur. Dengan begitu, aku bisa leluasa memasak tanpa harus mendengar celotehan Mas Hendra yang tiba-tiba saja membuatku sangat muak. Sayuran berupa terong ungu, bunga kol putih, buncis, dan wortel yang sempat terabaikan di bak wastafel, kini kucuci kembali di bawah air mengalir. Sambil menggosok pelan terong panjang nan gemuk tersebut, kubay
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu