Flashback Setahun Lalu
“Ri, teman si Nadia itu tinggal di rumahmu sekarang?”
Eva, rekan kantorku sesama customer service yang bekerja di line call center, tiba-tiba saja bertanya saat kami hendak keluar ruangan. Aku sontak menoleh ke arah cewek berbadan subur yang belum juga menikah di usianya yang ke 31 tahun tersebut.
“Iya, Va. Kok, tahu?” tanyaku heran.
“Lihat story W******p-mu. Sering banget posting lagi masak sama dia.” Muka bulat Eva terlihat penuh penasaran. Perempuan yang sedang membawa tote bag berisi bekal makanan tersebut tak berkedip menatapku.
“Oh, iya. Dia udah seminggu ini nginap di rumahku sama anaknya. Dia takut di rumahnya. Masih trauma sama kematian mendiang suami.”
“What? Seminggu?!” Eva terlonjak kaget. Cewek yang mengenakan jilbab warna merah terang yang senada dengan baju korsa perusahaan tersebut menghentikan langkahnya sambil menarik pelan tanganku.
“Kenapa emangnya, Va?” Alisku naik sebelah. Heran juga dengan tanggapan Eva yang merupakan salah satu kawan akrab di kantor.
“Ri, dia itu cantik banget. Badannya seksi semlehoy. Apalagi sekarang udah janda. Apa kamu nggak takut ngebawa dia ke rumah?”
Aku luar biasa kaget dengan tanggapan Eva. Tak kusangka bahwa reaksi wanita berkulit sawo matang itu bakal sehisteris barusan.
“Nadia itu udah kaya saudaraku, Va. Dia sahabat akrabku sejak SMA. Nggak mungkinlah dia berkhianat!” sanggahku. Aku langsung menepis tangan Eva. Berjalan terus sambil menjepit tas dompet di ketiak. Ucapan Eva secara tak langsung telah membuatku mendadak gelisah.
“Ri, jangan salah! Zaman sekarang, banyak pelakor yang bergentayangan! Sialnya, mereka itu kebanyakan dari orang terdekat si istri sah. Duh, si Riri. Kok, kamu jadi secerobih ini, sih?” Eva nyolot. Di sela ucapannya, terdengar bunyi napas yang terengah akibat mengejar langkahku yang setengah berlari ini.
“Va, jangan bikin aku parno, deh!” bentakku sebal. Orang-orang yang kebetulan juga hendak menuju kantin yang berada di lantai satu, mendadak menoleh ke arah kami. Si Eva, bikin malu aja!
“Ri, jangan keras kepala. Kamu harus dengar kata-kataku ini,” kata Eva sambil lagi-lagi menarik tanganku.
“Alah, Va! Kamu nikah aja belum. Jangan nasihati orang yang udah jauh lebih berpengalaman, deh!”
Aku pun buru-buru menuruni anak tangga menuju lantai satu. Kutinggalkan Eva yang entah dia marah atau tidak dengan ucapanku tadi. Dia pantas mendapatkan bentakan itu, sebab kunilai Eva sudah terlalu sok tahu dan ikut campur. Dia tidak mengenal Nadia dengan baik, jadi bukan ranahnya untuk memberikan pendapat apalagi bernada negatif seperti tadi.
Akhirnya, aku makan di kantin tanpa ditemani oleh Eva. Cewek 31 tahun itu adalah satu-satunya teman wanita yang bekerja sebagai customer service di call center. Total staf yang menangani call center ada empat orang. Aku, Eva, Bima, dan Pak Indra. Jadi, kepada Evalah aku sering curhat dan membagi cerita selama berada di kantor. Eva jugalah yang selalu menemaniku bila makan di kantin saat jam istirahat. Dia memang orangnya rame dan humble, tapi yang bikin aku kurang sreg adalahh sifat suka ikut campurnya.
Saat aku tengah makan nasi rames di bangku paling belakang dekat etalase dan meja kasir, tiba-tiba saja si Eva datang dan menghampiriku. Kukira, dia bakal tersinggung. Ternyata tidak. Dia cuek saja duduk dan membuka kotak bekalnya di depanku.
“Maaf,” kataku pelan kepadanya.
“Santai aja.” Eva cuek bebek. Wanita yang mengenakan lipstik warna nude itu terlihat bersemangat untuk menyantap nasi dan lauk rendang sapinya.
“Lagian sih, kamu. Bikin aku parno aja!”
“Ya, ngapain parno? Kan, kamu percaya banget sama sahabatmu yang satu itu. Sorry, deh, kalau aku kelewat suuzan sama orang,” katanya sambil mengunyah.
Aku yang masih dirundung galau, mau tak mau kembali menyuap makanan di piring. Nasi, orek tempe, telur dadar, dan sepotong gereh balado ini jadi tak begitu nikmat di lidah. Ya Allah, ucapan Eva benar-benar membuat mood-ku seketika hancur.
Kulepaskan sendok yang sedang kupegang. Buru-buru aku merogoh ponsel yang berada di dalam dompet warna hitam dengan corak sebuah brand tas ternama di seluruh permukaannya tersebut. Ragu-ragu aku menekan nomor Mas Hendra. Memastikan bahwa pria yang sedang demam itu baik-baik saja di rumah.
“Halo, Mas,” sapaku sambil menahan deg-degan.
“Iya, Ri.” Suara suamiku kedengaran parau. Sebelum berangkat, keningnya memang panas. Dia berkata kalau tenggorokannya sakit dan agak meriang. Jadi, lelaki itu izin tak masuk kerja hari ini dan beristirahat di rumah.
“Gimana kondisinya? Udah enakan?” tanyaku khawatir. Kulirik sekilas, Eva langsung menatapku sesaat, tapi kemudian ketika mata kami saling bersirobok, gadis itu cepat membuang muka.
“Masih meriang. Udah minum obat. Ini dibuatin bubur sama jahe merah hangat sama Nadia.”
Satu sisi aku merasa lega, tapi di sisi lain … ada ketakutan tersendiri yang menyelinap di dada. Aku benar-benar terusik dengan ucapan Eva. Mungkinkah Mas Hendra bakal kepincut janda itu? Ah, tidak mungkin!
“Kamu di mana sekarang?”
“Di kamar. Tiduran. Kamu udah makan?”
Hatiku langsung leleh saat Mas Hendra bertanya tentang diriku. Tumben sekali, pikirku. “Udah, Sayang. Kamu mau dibelikan apa nanti?”
“Nggak usah, Ri. Ngerepotin nanti. Kamu baik-baik di kantor, ya.” Meskipun suaranya serak, lelaki itu tetap memaksakan diri untuk tetap berbicara.
“Iya, Sayang. Lekas sembuh, ya. Aku nanti pulang cepat, kok.”
“Nggak usah. Fokus aja sama kerjaanmu. Aku tidur dulu, ya. Bye.”
“Bye, Sayang.”
Sambungan telepon pun terputus. Aku mengembuskan napas lega sambil memasukan kembali ponsel ke dalam tas dompetku.
“Kenapa suamimu, Ri?” tanya si Eva penasaran sambil menutup kotak bekalnya. Di luar pertanyaannya yang super kepo itu, aku agak terperanjat dengan makanan Eva yang sudah tandas dalam waktu singkat. Buset si Eva, kelihaiannya dalam menelan ternyata semakin terasah saja.
“Sakit. Dia nggak ngantor hari ini,” jawabku.
“What?” Mata si Eva membeliak lagi. Mulai deh, dia lagi-lagi histeris menanggapi bicaraku.
“Sama siapa dia di rumah? Jangan bilang—”
“Si Nadia masih cuti berkabung sampai hari ini. Jadi, dia besok baru berangkat kerja.”
Eva mendecak sambil geleng-geleng kepala. “Ri, benar-benar kamu! Pulang sana! Pastikan suami dan sahabatmu tidak lagi main gila di kamar berduaan!”
“Eva, jaga bicaramu!” bentakku geram. Tak peduli lagi aku dengan tatapan heran dari pengunjung kantin lainnya. Biar saja. Sikap Eva sudah kelewat batas!
“Jangan bodoh, Ri! Cepat pulang. Perasaanku sudah tak enak. Aku yang akan handle kerjaanmu. Ayo, buruan!” Eva membuatku tergopoh dan panik luar biasa. Kurang ajar anak ini. Apa dia tidak memikirkan mentalku yang mulai kacau karena pikiran buruknya itu?
“Cepat! Aku yang bayarkan makananmu. Tidak usah risau. Yang penting kamu pulang dulu. Cek apakah suamimu masih utuh atau tidak!” Eva langsung menarik badanku. Wanita gembul itu menyeretku sambil membawakan dompet ini hingga keluar pintu kantin.
“Pulang sekarang sebelum semuanya terlambat!”
Aku tercengang sendiri. Kupikir, sikap Eva memang sangat berlebihan. Namun, hati kecilku mengatakan bahwa aku harus mengikuti saran Eva, kalau tak mau menyesal.
Akhirnya, buru-buru aku melesat berjalan keluar bangunan kantin yang bersebelahan dengan bangunan utama kantor. Kaki ini langsung berlari menuju halaman parkir. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun naik ke atas motor matik sport hitamku dan mengenakan helm. Dengan kecepatan tinggi, kupacu motor sambil menahan degupan di dada. Ya Allah, semoga apa yang tengah kupikirkan hanyalah sebagain dari prasangka buruk belaka.
***
Suasana rumah dua lantai dengan cat depan warna oranye-putih itu terlihat sangat lengang. Mobil hitam Mas Hendra terparkir di halaman. Menandakan bahwa dia memang tak ke mana-mana.
Entah mengapa, darahku berdesir laju. Serasa panas di ubun-ubun. Aku benar-benar berdebar saat membuka kunci pintu depan.
Mata ini langsung menelusuri ruang tamu. Sepi sekali. Tak ada siapa pun.
Sebelum masuk kamar, aku mencari keberadaan Nadia. Biasanya, jam segini wanita itu tengah menonton televisi di ruang keluarga atau berada di kamar atas. Ketika tiba di ruang keluarga, nihil. Dia tak ada di sana. Kususul ke dapur, wanita itu juga tak ada.
Jantungku mulai bekerja lebih cepat. Ah, mungkin dia ada di kamar atas pikirku. Seketika aku pun balik arah dan beranjak menuju tangga yang berada di dekat ruang makan. Berdegup keras dadaku. Satu per satu anak tangga yang kutiti terasa begitu berat. Bagaimana kalau Nadia tak ada di kamarnya? Sedangkan anaknya kini berada di daycare bersama Carissa. Aku yang menyuruh demikian, agarr Alexa tak kesepian saat Carissa harus masuk daycare.
Kakiku lemas saat berada di depan pintu kamar tempat Nadia tinggal selama seminggu ini. kuberanikan diri untuk membuka kenop pintu. Mataku membelalak besar saat pintu tak terkunci dan tiada Nadia di dalam sini. Hatiku langsung mencelos. Jika memang dia tak ada di mana-mana … itu artinya ….
(Bersambung)
Flashback Setahun Lalu Buru-buru aku menuruni anak tangga dengan hati yang sangat gelisah. Tanpa kusadari, keringat mulai membasahi pelipis dan rambut lurus pendek seleherku. Sepanjang perjalanan menuju kamar utama yang berada di depan, hanya ketakutan saja yang kentara menyelimuti jiwa. Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai rumah tanggaku bubar. Apalagi bila Nadia yang menjadi dalangnya. Aku tak ikhlas dunia akhirat! Sampai di depan pintu kayu bercat abu-abu gelap tersebut, aku pun langsung membuka kenop stainless. Kaget sekali, ternyata terkunci dari dalam. Siapa yang tak mencelos dadanya bila mendapati keadaan seperti ini? “
Flashback Setahun Lalu Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang. Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa. Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa tel
##BAGIAN 7POV NADIA “Kamu harus segera bertindak.” Ucapan setajam silet itu telah membuat sekujur tubuh ini gemetar. Meskipun hanya via telepon, tetapi aku bisa merasakan betul betapa menyeramkannya perintah tersebut. Hati nuraniku belum sepenuhnya mati. Otak ini masih bisa berpikir jernih, walaupun hanya 20% saja. Dan celakanya, 20% tersebut adalah rasa keberatan akan perintah yang benar-benar di luar batas wajar barusan. “T-tapi—” “Oh, kamu menolak? Ya, sudah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini.” Napasku ter
POV NADIA “Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya. “Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku. Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang. “Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di
HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal
RACUN UNTUK GUNDIK “Ah, Bunda lebay banget, Ca. Kita ke kamar yuk, Ca. Bundamu lagi drama.” Mas Hendra meraup beberapa kukis dari dalam toples, kemudian membiarkan tutupnya tergeletak begitu saja. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Karena diajak sang ayah ke kamar, anak semata wayangku langsung beringsut dan mengejar Mas Hendra. Syukurlah mereka menyingkir dari dapur. Dengan begitu, aku bisa leluasa memasak tanpa harus mendengar celotehan Mas Hendra yang tiba-tiba saja membuatku sangat muak. Sayuran berupa terong ungu, bunga kol putih, buncis, dan wortel yang sempat terabaikan di bak wastafel, kini kucuci kembali di bawah air mengalir. Sambil menggosok pelan terong panjang nan gemuk tersebut, kubay
KAMU HARUS MENDERITA “Ih, Riri. Ngomongnya berat banget, sih? Alexa itu masih kecil. Masa udah diomongin kaya gitu?” Nadia protes. Suaranya manja. Wanita bertubuh langsing dengan dada yang menyembul bulat itu langsung melendot di lenganku. Sementara itu, Mas Hendra berhasil menggendong Alexa keluar. Mungkin mereka akan jalan-jalan naik mobil. Terserah saja, aku ogah peduli. “Nggak usah nempel-nempel! Aku bau bawang. Masih kucel, masih dasteran. Nggak kaya kamu. Udah necis dan kinclong kaya ubin masjid.” Kutepis Nadia. Perempuan itu terlihat bingung menatap. Dia pun tampak mau tak mau melepaskan gamitannya. “Kamu kenapa, sih, Ri? Hari ini tumben galak banget?” tanyanya dengan suara
KUREKAM BARANG BUKTI “Mas, santai! Kamu tidak perlu memburu-buruku!” Aku membentak sambil membeliakkan mata. Merasa jengkel sebab dia dengan seenaknya memerintahku. Enak saja! Kalau perlu, si gundik tak perlu diantar ke rumah sakit agar mati saja sekalian. “Riri! Apa yang ada di otakmu!” Mas Hendra yang mukanya merah dan bersimbah keringat langsut bangkit sambil menggendong tubuh Nadia. Tampak perempuan dengan wajah yang membengkak dan kemerahan tersebut mengeluarkan liur dari mulutnya. Semoga kau mati, Nad! Agar puas hatiku. “Dasar tak punya hati!” Mas Hendra marah. Dia tergopoh-gopoh dan merampas kunci mobil dari genggamanku.&nbs
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu