Share

3

last update Last Updated: 2021-12-28 10:12:35

              “Mas, aku ajak Nadia dan anaknya untuk tinggal di sini. Nggak apa-apa, kan?”

              Takut-takut aku meminta izin kepada Mas Hendra. Lelaki yang baru saja pulang dari kantor tersebut langsung menatapku. Aku deg-degan. Ya ampun, jangan-jangan … dia akan marah.

              “Iya, Ri. Silakan,” katanya lembut sambil tersenyum.

              Fiuh, betapa leganya aku. Langsung kupeluk Mas Hendra yang berdiri di ambang pintu. “Makasih, Sayang,” ucapku penuh syukur.

              “Sama-sama. Di mana mereka? Sudah di rumah kita atau masih di rumahnya?” tanya Mas Hendra buru-buru melepaskan pelukan.

              “Sudah di kamar atas, Mas. Aku suruh istirahat dulu. Kasihan banget mereka,” kataku memasang wajah melas.

              Mas Hendra mengangguk-angguk. Lelaki itu lalu merangkulku sambil berjalan menuju kamar. “Apa mereka nggak ngadain tahlilan?” tanya suamiku.

              “Katanya di rumah orangtuanya Wahyu. Nadia ogah ke sana. Tadi siang habis pemakaman saja, Nadia bertengkar dengan ibu tirinya Wahyu. Gila itu nenek-nenek. Jahat banget mulutnya.”

              Mas Hendra langsung mendecak. Lelaki itu kini membukakan pintu kamar kami yang berada di depan dekat ruang tamu, lalu mempersilakanku masuk duluan. “Kamu romantis banget hari ini,” kataku memuji.

              Mas Hendra yang biasanya sepulang bekerja menampakkan muka capek dan kerap cemberut, hari ini memang sangat berbeda. Wajah tampannya mengulaskan senyuman sejak aku meminta izin tadi. Bahkan hingga dia duduk bersamaku di bibir kasur pun, lengkung senyum itu masih tersungging.

              “Udahlah, suruh si Nadia menjauh aja dari keluarga Wahyu kalau mereka jahat. Aku setuju kalau dia tinggal di sini. Biar Carissa punya teman main dan nggak kesepian.”

              “Biar kamu bebas tugas main sama dia, ya?” godaku sambil menepuk lengannya.

              “Ah, nggak gitu. Biar rame,” elaknya. Lelaki itu tertawa. Senyum di bibirnya bahkan kelihatan sangat semringah. Entah mengapa, aku jadi merasa bahagia melihat perubahan sikap Mas Hendra.

              “Eh, kamu masak apa buat makan malam?” tanya Mas Hendra tiba-tiba.

              “Oh, tadi aku bikin sop. Dibantuin sama Nadia.”

              “Ri, si Nadia jangan disuruh bantu-bantuin dululah. Kasihan. Suruh dia istirahat aja.”

              Aku jadi tak enak hati dengan suamiku. Merasa bersalah juga sebab telah membiarkan Nadia ikut ke dapur. “Orangnya maksa, Mas,” kataku membela diri.

              “Ya, walaupun dia maksa, tapi seharusnya kamu paham. Dia itu nggak enakan orangnya. Pastilah dia nggak tenang kalau tuan rumahnya masak. Besok-besok, beli masakan jadi aja di luar.”

              Satu alisku mencelat. “Lho, bukannya kamu nggak suka kalau aku beli makanan di luar? Kan, rasanya sering nggak sesuai di lidahmu,” kataku heran.

              “Aku ngalah buat sementara waktu. Nggak apa-apa,” ujarnya tersenyum. Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru laut dengan dasi satin garis-garis biru-putih tersebut lalu mengecup keningku.

              Seketika aku lemas rasanya. Mas Hendra, sudah lama sekali dia tidak spontan mengecup keningku begini. Ya, ampun. Betapa senangnya aku!

              “Mas, kamu baik banget.” Kupeluk pinggangnya dan kulabuhkan kepala ini ke lengan kokoh milik Mas Hendra. Pria yang memiliki tinggi 173 sentimeter dengan rambut lurus yang selalu dipotong rapi itu pun membalas pelukanku.

              “Ah, perasaanmu aja, Ri.”

              “Aku beruntung punya kamu, Mas. Jangan tinggalin aku, ya,” pintaku manja.

              “Yah, asal kamu pinter-pinter mengambil hatiku, Ri.”

              Aku mendadak tegang mendengarnya. Buru-buru kulepas pelukanku dan menatap Mas Hendra agak kesal. “Jadi, kamu punya niatan buat ninggalin aku? Begitu?”

              “Bercanda!” Mas Hendra tertawa sambil mencubit pelan kedua pipiku. Wajahnya gemas menatapku sambil didaratkannya lagi sebuah kecupan di hidung.

              “Aku bakalan setia kepadamu, Ri. Sampai mati pun, aku tidak akan meninggalkanmu.”

              Aku begitu tersentuh mendengarnya. Mas Hendra, kamu adalah suami impian banyak wanita. Kamu baik, pengertian, dan sukses. Kamu juga setia pastinya. Semoga saja Nadia kelak bisa mendapatkan jodoh lagi. Kalau bisa yang sebaik dan sesukses Mas Hendra. Agar dia bisa hidup jauh lebih bahagia ketimbang saat ini.

***

              “Nad, aku turut berduka cita. Maaf, tadi aku sibuk sekali di kantor dan tidak bisa izin buat keluar.” Mas Hendra menjabat tangan Nadia saat kami berkumpul di ruang makan.

              Nadia yang matanya masih sembab tersebut mengangguk dan mengulas senyum kecil. “Makasih, Mas Hen,” jawabnya pelan.

              “Alexa, betah-betah di sini, ya? Main sama Carissa,” timpal Mas Hendra lagi kepada Alexa yang duduk di seberang kami, bersebelahan dengan sang mama.

              “Iya, Om.” Alexa yang sangat ceriwis dan ceria itu mengangguk. Gadis kecil yang memiliki rambut ikal sebahu itu pun langsung ngobrol asyik lagi dengan Carissa yang duduk di sebelahnya.

              “Ayo, makan. Silakan Nad, makan sebanyak-banyaknya. Biar dukamu lekas sembuh.” Mas Hendra yang semula berdiri untuk berjabatan tangan dengan sahabatku, kini duduk tepat di sampingku.

              Lekas kukaut nasi ke piring untuk Mas Hendra. Kutambahkan pula kuah dan sayuran dari sop yang kami masak sore tadi. Mas Hendra paling suka makan buncis dan wortel. Sop ayam dengan ragam sayuran ini adalah menu favoritnya sejak awal kami menikah.

              “Wah, baunya harum sekali. Tumben, Ri, sopmu seharum ini,” kata Mas Hendra saat menghadap ke piring makannya.

              “Ini pasti karena Nadia yang bantuin,” timpal suamiku lagi.

              Deg! Dadaku seperti menanggung sedikit sesak. Terlebih saat kutoleh ke arah sebelah. Suamiku kini tengah tersenyum menatap ke arah Nadia yang ikut semringah.

              “Ih, bisa-bisanya! Aku yang masak tahu!” kataku tak terima sambil menepuk pundak Mas Hendra.

              “Auw! Ada yang marah. Iya, deh. Aku percaya.” Mas Hendra tertawa lebar. Dia menggelengkan kepalanya sambil menyuap banyak nasi dan lauk pauknya.

              Mas Hendra, aku tahu itu hanya bercanda. Aku juga senang melihat responmu yang sangat positif akan kedatangan Nadia di sini. Namun, mengapa terselip sedikit cemburu? Ah, dasar aku. Sepertinya aku terlalu sensitif karena sebentar lagi akan datang bulan. Hal-hal sepele pun malah bikin aku terpancing. Memalukan!

              “Mas, dicicip tempe bacemnya. Ini buatanku.” Nadia tiba-tiba menyorongkan piring berisi tempe bacem ke hadapan Mas Hendra.

              “Makasih, Nad. Kamu jangan repot-repot masak ya, besok. Kamu di sini untuk menenangkan diri, bukan buat jadi pembantu. Ingat itu.”

              Kulihat, Nadia yang duduk di hadapan suamiku langsung tersenyum manis. Perempuan berambut lurus sebahu itu langsung menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Wajah Nadia tampak merona merah, seperti tengah kemalu-maluan.

              Nadia sedang bahagia ternyata. Syukurlah, pikirku. Dukanya kini tak terlalu kentara. Aku jadi semakin tenang sebab tak lagi melihat air mata bersimbah di wajah ayunya. Semoga kehadirannya di sini bisa menyembuhkan trauma kehilangan itu.

(Bersambung)

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ririn Khalimi
iya istrinya g peka..aneh kayaknya ada sesuatu yang mencurigakan. affair sebelumnya.jangan jangan kematian suaminya rekayasa?
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Istrinya ga peka sih ini. Udh jelas suami ada affair sm sohibnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   4

    Flashback Setahun Lalu “Ri, teman si Nadia itu tinggal di rumahmu sekarang?” Eva, rekan kantorku sesama customer service yang bekerja di line call center, tiba-tiba saja bertanya saat kami hendak keluar ruangan. Aku sontak menoleh ke arah cewek berbadan subur yang belum juga menikah di usianya yang ke 31 tahun tersebut. “Iya, Va. Kok, tahu?” tanyaku heran. “Lihat story WhatsApp-mu. Sering banget posting lagi masak sama dia.” Muka bulat Eva terlihat penuh penasaran. Perempuan yang sedang membawa tote bag berisi bekal makanan tersebut tak berkedip menatapku.&nb

    Last Updated : 2021-12-28
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   5

    Flashback Setahun Lalu Buru-buru aku menuruni anak tangga dengan hati yang sangat gelisah. Tanpa kusadari, keringat mulai membasahi pelipis dan rambut lurus pendek seleherku. Sepanjang perjalanan menuju kamar utama yang berada di depan, hanya ketakutan saja yang kentara menyelimuti jiwa. Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai rumah tanggaku bubar. Apalagi bila Nadia yang menjadi dalangnya. Aku tak ikhlas dunia akhirat! Sampai di depan pintu kayu bercat abu-abu gelap tersebut, aku pun langsung membuka kenop stainless. Kaget sekali, ternyata terkunci dari dalam. Siapa yang tak mencelos dadanya bila mendapati keadaan seperti ini? “

    Last Updated : 2021-12-28
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   6

    Flashback Setahun Lalu Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang. Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa. Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa tel

    Last Updated : 2021-12-28
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   7

    ##BAGIAN 7POV NADIA “Kamu harus segera bertindak.” Ucapan setajam silet itu telah membuat sekujur tubuh ini gemetar. Meskipun hanya via telepon, tetapi aku bisa merasakan betul betapa menyeramkannya perintah tersebut. Hati nuraniku belum sepenuhnya mati. Otak ini masih bisa berpikir jernih, walaupun hanya 20% saja. Dan celakanya, 20% tersebut adalah rasa keberatan akan perintah yang benar-benar di luar batas wajar barusan. “T-tapi—” “Oh, kamu menolak? Ya, sudah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini.” Napasku ter

    Last Updated : 2021-12-29
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   8

    POV NADIA “Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya. “Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku. Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang. “Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di

    Last Updated : 2021-12-29
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   9

    HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal

    Last Updated : 2021-12-31
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   10

    RACUN UNTUK GUNDIK “Ah, Bunda lebay banget, Ca. Kita ke kamar yuk, Ca. Bundamu lagi drama.” Mas Hendra meraup beberapa kukis dari dalam toples, kemudian membiarkan tutupnya tergeletak begitu saja. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Karena diajak sang ayah ke kamar, anak semata wayangku langsung beringsut dan mengejar Mas Hendra. Syukurlah mereka menyingkir dari dapur. Dengan begitu, aku bisa leluasa memasak tanpa harus mendengar celotehan Mas Hendra yang tiba-tiba saja membuatku sangat muak. Sayuran berupa terong ungu, bunga kol putih, buncis, dan wortel yang sempat terabaikan di bak wastafel, kini kucuci kembali di bawah air mengalir. Sambil menggosok pelan terong panjang nan gemuk tersebut, kubay

    Last Updated : 2022-01-03
  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   11

    KAMU HARUS MENDERITA “Ih, Riri. Ngomongnya berat banget, sih? Alexa itu masih kecil. Masa udah diomongin kaya gitu?” Nadia protes. Suaranya manja. Wanita bertubuh langsing dengan dada yang menyembul bulat itu langsung melendot di lenganku. Sementara itu, Mas Hendra berhasil menggendong Alexa keluar. Mungkin mereka akan jalan-jalan naik mobil. Terserah saja, aku ogah peduli. “Nggak usah nempel-nempel! Aku bau bawang. Masih kucel, masih dasteran. Nggak kaya kamu. Udah necis dan kinclong kaya ubin masjid.” Kutepis Nadia. Perempuan itu terlihat bingung menatap. Dia pun tampak mau tak mau melepaskan gamitannya. “Kamu kenapa, sih, Ri? Hari ini tumben galak banget?” tanyanya dengan suara

    Last Updated : 2022-01-03

Latest chapter

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   119

    BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   118

    BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   117

    BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   116

    BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   115

    BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   114

    BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   113

    BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   112

    BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga

  • Pesan Nyasar Dari Sahabatku   111

    BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu

DMCA.com Protection Status