CCTV
“Ri.” Panggilan dari Mas Hendra membuatku yang baru saja memasukan ponsel ke saku daster, sontak menoleh.
Pria itu kelihatan lelah. Pelipisnya basah karena keringat. Napasnya juga tampak terengah.
“Gimana keadaan Nadia?” tanya suamiku sambil mendekat.
“Dia udah mulai sadar. Manggil-manggil mas. Aku nggak tahu mas siapa yang dia maksud,” jawabku tenang. Muka Mas Hendra seketika pucat pasi. Pandangannya langsung tertuju ke tubuh Nadia yang diselimuti hingga bagian atas dada tersebut.
“Mungkin … d
PIN ATM “Permisi,” sapaku kepada seorang gadis pelayan toko. Perempuan muda dengan rambut panjang sebahu dan wajah cantik itu tersenyum ramah. “Silakan, Bu. Mau cari apa?” tanya gadis berkaus merah dengan ujung lengan berlis biru tersebut. Aku sibuk menatap ke sekeliling etalase di belakang perempuan tersebut berdiri. Ragam macam kamera CCTV dijajakan. Aku mendadak bingung, sebab ini adalah kali pertamaku berbelanja kamera pengintai. “Mbak, saya cari CCTV yang bisa dipasang setersembunyi mungkin. Yang tidak bikin orang curiga dan bisa diakses ke ponsel saya. Bisa, Mbak?”&n
KURAS HABIS Hari mulai beranjak gelap. Aku buru-buru membereskan barang apa saja yang harus dibawa ke rumah sakit untuk Nadia. Baju, pakaian dalam, handuk, dan selimut semua kukemaskan. Walaupun malas, aku juga tetap mengemasi pakaian milik Alexa. Anak cerewet nan cengeng itu harus pakai bajunya sendiri saat menginap di rumahku. Aku sudah tak rela bila dia terus-terusan memakai baju milik Carissa. Tidak sudi! Bukannya aku jahat atau kejam, tapi sabarku sepertinya juga ada batas. Aku hanya wanita biasa. Punya perasaan yang kadang meledak-ledak. Saking lamanya aku baik kepada orang, kebaikan itu malah menjadi bumerang bagiku. Sekarang, saatnya menerapkan kata tega. Ya, walaupun si Alexa masih kecil dna tidak berdosa. Namun, dia harus belajar untuk tidak ngelunjak seperti ibunya. Memangnya, mainan dan b
BAGIAN 16KUGERTAK DIA TANPA GENTAR Langit menggelap. Semburat benang jingga di ufuk barat perlahan tenggelam ditelan kelam. Waktu-waktu beginilah yang membuatku tak tenang saat berada di luar rumah. Tidak biasa. Seharusnya di waktu Magrib, aku di dalam rumah bersama si cantik Carissa. Bukan malah keluyuran berdaster begini. Dasar Nadia manusia kurang ajar. Bikin beban saja hidupnya! Ditolong pun nyatanya diam-diam menjadi pagar yang makan tanaman. Dengan perasaan dongkol, aku cepat melangkah masuk ke mobil SUV hitam milik Mas Hendra. Mobil dengan CC besar yang agak boros bahan bakar ini, memang memiliki body yang lebar dan tinggi. Untung saja, meski aku jarang menyopir sendiri, kemahiranku masih bisa diadu. Parkir di tempat yang agak padat pun, aku masih bisa meng-handle.&
BAGIAN 17SERANG SI KARPET! “Kamu benar-benar aneh, Ri!” Mas Hendra menatapku jengkel. Pria bertubuh proporsional dengan wajah rupawan tersebut hanya bisa menggelengkan kepala. Aku tak menjawab. Malas mendebat. Segera saja aku melangkah menuju tempat tidur Nadia dan duduk di kursi samping kiri tubuhnya. “Nadia,” kataku. Kusentuh lengannya yang tertutup oleh selimut tebal warna cokelat. Perempuan itu merespon. Perlahan dia mulai membuka kelopak matanya yang masih bengkak. Aku terkesiap. Ternyata, dia sudah sadar. Dia pasti mendengarkan pertengkaran kami barusan. Dasar perempuan licik!&nbs
BAGIAN 18HANCURKAN MENTALNYA Langkah kakiku menapak ubin dengan penuh percaya diri. Bunyi sandal yang beradu dengan lantai, membuat ruangan yang sunyi sepi ini jadi mencekam. Aku yakin, diam-diam Nadia merasa tak aman saat hanya berduaan begini denganku. Apalagi, sikapku telah berubah sedrastis sekarang. Kutarik kursi bersi dengan alas dan sandaran empuk berwarna biru tersebut. Terdengar bunyi deritan yang membikin tubuh Nadia bergerak sedikit. Ah, jangan pura-pura kaget kamu, Nad. Aku tahu, kamu tidak tidur sungguhan! Duduk diriku di atas kursi. Kumajukan kembali letak kursi tersebut. Agar bisa semakin dekat dengan si gundik. Napas kuhidu perlahan. Tenang, Riri Mustika. Kamu tak boleh kasar maupun gegabah. Bermainlah
BAGIAN 19NAJIS BANGET! “Candaanmu nggak lucu, Ri!” Nadia mendorong pundakku dengan tangannya yang masih penuh bentol. Mata bengkaknya pun mengeluarkan air lagi. Dia menangis. Dih, sok keras jadi pelakor. Giliran digertak sedikit, sudah nangis. Kamu mau cari simpatiku? Cuih! “Yee, jangan nangis, dong. Cewek cantik kaya kamu masa nangis, sih? Alis udah cetar, rambut udah badai, masa nangisan. Cup-cup, udah. Nggak usah nangis. Sekarang, kamu mau ngemil? Mau minum susu?” tanyaku membujuknya. Aku duduk di kursi dan menopang dagu memperhatikan si Nadia. Semoga rupamu ini permanen, Nad. Coba, kita lihat nanti. Apakah suamiku mau bertahan atau tidak? “Nggak usah!” Nadia ketus. Dia sok jual
BAGIAN 20SOBAT, MAAFKAN AKU Kakiku gontai menapaki lorong paviliun Cendana. Kubuka pintu yang menghubungkan paviliun dengan jalan menuju tangga. Pintu kaca dengan gorden tebal berwarna hijau itu jadi terasa begitu berat di genggaman. Ah, entah mengapa, setelah marah-marah tadi, aku jadi lemas sendiri. Mungkin, karena memang aku ini bukan tipikal perempuan pemarah. Jarang sekali meledak-ledak. Di tangga, beberapa orang ramai berlimpasan denganku. Sekarang memang sudah waktunya jam besuk. Wajar saja bila banyak yang datang untuk berkunjung. Melihat banyaknya orang, aku tiba-tiba jadi merasa insecure. Betapa tidak, penampilanku sudah awut-awut tak keruan. Rambut ini lepek. Badan juga berkeringat. Belum lagi muka yang sudah kucel. Ya Tuhan, sudah seperti gembel penampilanku. Kok, re
BAGIAN21POV NADIAAPAKAH DIA TAHU? “Uhh ….” Aku mengerang lemah. Seluruh tubuhku rasanya nyeri plus gatal. Kulit ini seperti menebal. Alergi yang tak biasa, pikirku. Bahkan, aku hampir saja meregang nyawa sebab kesulitan bernapas. Kukira, aku hampir tewas. Nyatanya, kini mataku telah membuka sempurna meskipun masih terasa lemah. “Nadia! Kamu sudah sadar?!” Suara yang sangat kukenal berseru. Aku menggeliat. Menatap ke arah samping kiri tubuhku. Tampak sosok yang begitu kucinta, tengah berdiri dengan memasang wajah senang. “Mas,” panggilku lirih. Tangan yang terpasang infus mencoba menggapai-gapai wajah teduhnya. Oh, kekasihku. Kamu ternyata menjagaku terus. Aku padahal sudah sempat ketakutan kala bertandang ke rumahnya saat makan
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu